Oleh: Prof. Dr. Slameto, M.Pd
Bendahara Umum ISPI Daerah Jawa Tengah dan Dosen FKIP UKSW Salatiga
Jika kita perhatikan indikator Human Development Index (HDI), Indonesia masih sangat memprihatinkan, pada tahun 2002 nilainya 0,684 berada pada rangking 110. Pada tahun 2003 HDI Indoneia semakin memburuk menduduki peringkat 112 di bawah Vietnam (109), Thailand (74) dan Brunei Darusalam (31), Korea (30), dan Singapura (28). Selanjutnya pada tahun 2004 dan 2005 HDI Indonesia secara berturut-turut berada pada peringkat 111 dan 110. Menurut “The 2006 Global Economic Forum of Global Competiveness Index (GCI)” yang di-release World Economic Forum (WEF), daya saing global Indonesia kini berada pada poisi yang terpuruk.
Masalah SDM di Indonesia sangat komplek. Hal ini dicirikan oleh beberapa indikator berikut:
Jumlah penduduk 219,20 juta (BPS, 2006); Pertumbuhan angkatan kerja lebih besar ketimbang ketersediaan lapangan kerja; Ditribusi penduduk antar daerah tidak merata; Ketidaksesuaian kompetensi SDM dengan pasar kerja; Ketidak-seimbangan kebutuhan layanan publik dengan jumlah petugas; Distribui informasi tentang pasar kerja yang lambat atau timpang; Demand yang belum terpetakan dengan baik; Tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan secara simultan menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan, dan pada akhirnya menyebabkan rendah kualitas SDM Indonesia.
Keinginan untuk membangun daya saing bangsa melalui SDM yang berkelanjutan nampak cukup merata untuk semua bangsa, baik bangsa maju maupun yang kurang maju. Daya saing diartikan sebagai akumulasi berbagai faktor, kebijakan dan kelembagaan yang mempengaruhi produktivitas suatu negara sehingga akan menentukan tercapainya kesejahteraan rakyat dalam sistem perekonomian nasional. Dengan demikian, semakin kompetitif daya saing sebuah sistem perekonomian, maka pembangunan akan tumbuh lebih cepat dalam waktu menengah dan panjang.
Persoalannya adalah apa yang dimaksud dengan daya saing bangsa, apa pula indikatorindikatornya, bagaimana upaya-upaya peningkatan daya saing bangsa, apa peran Perguruan Tinggi dan bagaimana perkuliahan di PT yang mampu meningkatkan daya saing bangsa?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dibahas lebih lanjut dalam urian berikut.
Konsep daya saing bangsa dan faktor-faktor yang mempengaruhinya
Istilah daya saing (competitiveness), “diawali” dengan konsep keunggulan komparatif (comparative advantage), mendapat perhatian semakin besar terutama tiga dekade belakangan ini. Daya saing, satu dari sekian jargon yang sangat populer, tetapi tetap tak sederhana untuk dipahami. Sebagai konsep yang multidimensi, daya saing sangat memungkinkan beragam definisi dan pengukuran.
Pemaknaan daya saing juga tergantung pada konteks; Daya saing perusahaan merupakan elemen pembentuk daya saing pada tingkat industri, daerah atau negara. Sementara di pihak lain, berbagai kondisi dan faktor yang ada dalam suatu industri dan di suatu daerah atau negara membentuk konteks bagi perkembangan daya saing perusahaan dalam industri dan di wilayah yang bersangkutan. Oleh karena itu, daya saing juga dapat dilihat dari kebijakan makro ekonomi.
Dalam literatur, bahasan konsep daya saing dapat ditinjau pada tingkat: perusahaan, industri atau sehimpunan/sekelompok industri, dan negara atau daerah (sebagai suatu entitas ekonomi). Pada aras perusahaan (mikro) diperoleh difinisi daya saing yang paling jelas; Pada aras industri (meso), walau beragam, pada umumnya dapat difahami akan pergeseran perfektif pendekatan dari sektoral menuju pendekatan ’klaster industri’; Pada aras makro dipandang daya saing sangat penting walaupun masih sarat perdebatan dan kritik terutama menyangkut latar belakang teorinya. Definisi daya saing sesuai arasnya adalah sepereti berikut ini.
PT1
Daya saing bangsa tergantung pada pengetahuan, values dan ketrampilan tenaga kerjanya. Faktor – faktor lain sebagai penentu daya saing diantaranya: kesempatan berusaha, sistem peradilan yang fair, pajak yang bermanfaat, birokrasi, inovasi teknologi dan pendidikan, hubungan internasional dan hak cipta.
PT2
Pilar utama daya saing bangsa adalah human capital atau sumber daya manusia, modal manusia, yang kedua adalah inovasi teknologi. Ketika Indonesia mengalami krisis 1997, 1998, ekonomi kita kolaps. Ternyata setelah dilakukan analisis dari berbagai faktor yang paling mendasar adalah karena pertumbuhan ekonomi kita waktu itu lebih banyak ditopang oleh kapital atau modal non-manusia. Masalah SDM yang rendah menyebabkan proses pembangunan yang selama berjalan kurang didukung oleh produktivitas dan kualitas tenaga kerja yang memadai. Kita memerlukan kader-kader terbaik bangsa yang memiliki kecerdasan tinggi, sikap mental prima, unggul dan berdaya saing tinggi, kemampuan handal dengan nasionalisme sejati karena kemajuan ekonomi, kemajuan bangsa, itu disebabkan oleh kualitas dari human capitalnya. Tingkat produktivitas SDM merupakan salah satu tolok ukur kualitas SDM, faktanya dalam 4 tahun terakhir makin menurun. Krisis ekonomi yang berkepanjangan telah mengakibatkan menurunnya produktivitas tenaga kerja. Peringkat produktivitas Indonesia menurut IMD World Competition Yearbook 2006 adalah 59, sedangkan Thailand 27, Malaysia 28, Korea 29, Cina 31, India 39 dan Philipina berada di peringkat 49.
Kualitas SDM dapat dilihat dari kemampuannya untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia. Kondisi pasar kerja dalam negeri tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah lowongan kerja hanya tersedia sebesar 28%; dari jumlah tersebut, yang dapat diisi oleh pendaftar pencari kerja hanya 60% saja. Lemahnya penguasaan iptek SDM Indonesia ditunjukka oleh sejumah indikator, antara lai: (1) Indeks Pencapaian Teknologi (IPT) dalam laporan UNDP Tahun 2001 menunjukkan tingkat pencapaian teknlogi Indonesia masih berada pada urutan 60 dari 72 negara; (2) Menurut WEF, Indeks Daya Saing Pertumbuhan (IDSP) Indonesia pada tahun 2004 berada pada urutan 69 dari 104 negara (RPJMN, Perpres No. 7 Tahun 2005). Selanjutnya menurut hasil studi WEF 2006 peringkat indeks daya saing pertumbuhan Indoensia berada di peringkat 59.
PT3
Inovasi teknologi masalah lingkungan, masalah energi, yang banyak sekali, itu ternyata bisa dipecahkan melalui: 1) kebijakan yang tepat, correct policy, domestik ataupun internasional; 2) kesadaran manusia, kultur, habit. 3) technological innovation yang ternyata menjadi faktor yang ikut menyukseskan upaya-upaya pilar yang lainnya. Oleh karena itu, para teknolog, ilmuwan, peneliti perlu untuk betul-betul mengembangkan inovasi teknologi di negara kita. Teknologi merupakan salah satu parameter selain parameter ekonomi makro dan institusi publik. Rendahnya penguasaan iptek nasional selain dapat dilihat dari: IPT dan IDSP juga dapat dilihat dari: 1) jumlah paten penemuan baru dalam negeri yang didaftar di Indonesia, hanya 246 buah pada tahun 2002, jauh lebih rendah dari paten luar negeri yang didaftar di Indoesia yang berjumlah 3.497 buah; 2) Rendahnya kontribusi iptek nasional di sektor produksi; 3) Belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek; 4) Lemahnya sinergi kebijakan iptek; 5) Masih terbatasnya sumber daya iptek; 6) Belum berkembangnya budaya iptek di kalangan masyarakat; dan 7) belum optimalnya peran iptek dalam mengantisipasi bencana alam dan degradasi lingkungan hidup.
Ada tiga indikator penyebab daya saing bangsa Indonesia, rendah; (1) faktor ekonomi makro, seperti ekspektasi resesi dan kondisi surplus atau defisitnya suatu negara yang masih memperihatinkan. Tingkat pertumbuhan ekonomi relatif masih lambat, tingkat penyerapan tenaga kerja masih rendah, investasi berjalan lambat dan kemiskinan diduga semakin tinggi; (2) institusi publik dan kebijakan yang diambil dalam melayani kebutuhan masyarakat masih jauh dari optimum. Masyarakat masih dihadapkan pada kesulitan memperoleh pelayanan maksimum; (3) teknologi yang digunakan dalam proses prorduksi di pasar lokal dan global.
PT4
Upaya Peningkatan Daya Saing Bangsa
Peningkatan daya saing SDM masih dihadapkan pada besarnya jumlah angkatan kerja, jumlah pengangguran (setengah pengangguran atau sementara tidak bekerja), rendahnya budaya unggul, tingkat pendidikan, kemiskinan, komitmen pemerintah, administrasi pemerintahan, segmentasi layanan pendidikan yang kurang berkeadilan serta ragam dan luasnya wilayah yang harus dilayani. Untuk membuat tenaga kerja berpengetahuan, memiliki values dan berketrampilan, akan sangat bergantung pada kualitas pendidikan dan pelatihan yang dimilikinya. Secara nasional kita telah memiliki 82 PTN dengan 3051 program studi; dan 2561 PTS dengan 10287 program studi.
Seharusnya tenaga kerja lulusan perguruan tinggi sebanyak itu akan dapat meningkatkan nilai tambah produk dan layanan yang dihasilkan. Hal itu ditandai dengan peningkatan kualitas hasil kerja, peningkatan produktivitasnya baik secara total dan/parsiil, pengurangan biaya produksi, waktu kerja yang lebih cepat, dan lebih efisien. Hal itu sangat mungkin jika para lulusan PT memang bermutu: telah terlatih, terampil dan produktif. Produktivitas adalah penentu utama tingkat ROI (Return on Invesment) dan agregasi pertumbuhan ekonomi. Kondisi permasalahan di Indonesia yang multikompleks bukanya tidak ada jalan keluar; Daya saing bangsa dapat kita capai dengan meningkatkan kualitas SDM, menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai, perbaikan kondisi ekonomi mikro dan makro serta perbaikan kualitas lembaga publik.
Nasib suatu bangsa tidak akan berubah, kecuali bangsa itu sendiri mau mengubahnya. Jika kita mau merubahnya, perubahan harus mendasar dengan skala prioritas. Salah satu prioritas utama adalah pembangunan kualitas SDM melalui pendidikan. Di sinilah diharapkan peran dan kontribusi pendidikan dalam melakukan regenerasi dan modernisasi industri serta mendorong mengembangkan ekonomi dan pertumbuhan masyarakat. Untuk mengejar ketertinggalan daya saing global, kebijakan di bidang pendidikan harus dipayungi komitmen yang tinggi, konsisten dan berkelanjutan.
Sekalipun secara nasional kita memiliki 82 PTN dengan 3051 program studi; dan 2561 PTS dengan 10287 program studi (di luar Stain dan IAIN, Jateng memiliki 6 PTN dengan 307 program studi dan sejumlah 222 PTS yang menaungi 979 program studi) ternyata sangat sedikit program studi yang bermutu, dalam arti mampu mencetak sarjana yang benar-benar kualified dan mampu menjadi pioneer di bidangnya. Semua itu terjadi lantaran perguruan tinggi telah mengabaikan tugas utamanya sebagai institusi yang mengajarkan kebanaran, menemukan kebenaran dan membangun nilai-nilai baru.
Menurut hasil Studi Political and Economical Risk Consultancy (PERC) tahun 2005, mencerminkan betapa rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia saat ini. Derajat pendidikan di Indoensia di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Indonesia berada pada posisi paling buncit. Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand, dan Filipina, berada di atas Indonesia.
PT5
Tujuh belas indikator yang digunakan oleh PERC terdiri dari: impresi keseluruhan tentang sistem pendidikan di suatu negara; proporsi penduduk yang memiliki pendidikan dasar; proporsi penduduk yang memiliki pendidikan menengah; proporsi peduduk yang memiliki pendidikan perguruan tinggi; jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja produktif; ketersediaan tenaga kerja produktif berkualitas tinggi; jumlah biaya untuk mendidik tenaga kerja; ketersediaan staf manajemen; tingkat ketrampilan tenaga kerja; semangat kerja (work ethic) tenaga kerja; kemampuan berbahasa Inggris; kemampuan berbahasa asing selain bahasa Inggris; kemampuan penggunaan teknologi tinggi; tingkat keaktifan tenaga kerja; frekuensi perpindahan atau pergantian tenaga kerja (labor turnover).
Secara umum dari indikator-indikator tersebut di atas dapat diamati dan dirasakan bahwa Indonesia sangat lamban dalam mengambil langkah-langkah antisipatif menghadapi perkembangan baru globalisasi. Ada kesan birokrat pemerintah sekarang ini sedang glagapan, kalang kabut menghadapi berbagai ujian dan permasalahan yang datang silih berganti. Semakin banyak pemimpin yang latah politik, menjanjikan program pendidikan dalam kampanyenya, namun dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Di masa mendatang akan semakin banyak kepala sekolah yang terhimpit kesulitan akibat kebijakan pimpinan daerahnya, melakukan terobosan program dengan dalih peningatan mutu. Namun jika tidak hati-hati program yang tadinya diarahkan untuk membatu rakyat akan sebaliknya menjadi menyengsarakan rakyat. Saat ini dunia bergerak cepat menuju terbentuknya suatu masyarakat berbasis sains (science-based society), kegiatan bisnis berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based business enterprises), dan terwujudnya suatu budaya baru berlandaskan Ipteks. Oleh karena itu apabila kita tidak segera bertindak, maka era mendatang akan tetap didominasi oleh pihak-pihak lain, negara dan bangsa-bangsa yang secara konsisten mengandalkan pembangunannya pada kemampuan SDM yang menguasai ipteks, serta memelihara keberlanjutan kegiatan-kegiatan riset, pengembangan dan perekayasaan.
Ketika dunia memauki millenium ketiga, semua bangsa maju sepakat untuk menyatakan bahwa penguasaan Ipteks merupakan prasyarat dalam meraih kemakmuran. Teknologi, dalam kancah perekonomian global sudah dianggap sebagai investasi dominan dalam pembangunan ekonomi. Kekayaan sumber daya alam bukan lagi penentu keberhailan ekomi suatu bangsa. Bangsa yang menguasai teknologi akan mampu menguasai bangsa yang walaupun sumber daya alam yang besar tetapi tidak menguaai teknologi, Oleh karena itu, membangun masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge-based society) sangat diperlukan dalam mendorong terciptanya kemampuan teknologi suatu bangsa.
Peran PT Supaya Pendidikan Punya Daya Saing
Tersedianya SDM yang menguasai ipteks dalam jumlah, mutu dan memiliki daya beli yang memadai hasil dari lembaga-lembaga pendidikan akan mendorong tumbuhnya lembaga, dunia dan industri berbasis ilmu pengetahuan yang dapat menyerap tenaga kerja produktif, yang dapat menghailkan barang, jasa dan produk-produk yang berdaya saing tinggi. Asumsinya adalah untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas harus dilihat dari kualitas sistem pendidikan yang ada di suatu negara. Artinya, jika suatu negara memiliki sistem pendidikan yang baik, maka sistem itu akan mampu melahirkan tenaga kerja yang baik.
Nugroho (2005) membagi Perguruan tinggi menjadi 3 kategori berdasarkan perilakunya, yaitu: Pertama, Perguruan Tinggi yang menampilkan perilaku seperti perilaku pedagang kaki lima yang hanya melayani selera pasar tanpa mempedulikan tugas utamanya sebagai institusi yang bertanggungjawab untuk mengajarkan kebenaran, menemukan kebenaran, membangun nilai-nilai baru. Tiga tugas luhur itu sudah lama ditinggalkan perguruan tinggi kita. Mereka kini menampilkan sosok sebagai insitusi pedagang kaki lima yang terus membuka jursan baru, program studi baru sesuai dengan flutuasi kebutuhan pasar. Dalam membuka program studi baru ataupun jurusan baru sering tidak dibarengi dengan daya dukung sarana prasarana, kualifikasi dan keahlian dosen, kelengkapan laboratorium dan perpustakaan serta minim dukungan jaringan kerjasama. Modal nekat dengan estimasi kebutuhan pasar; Namun karena spiritnya adalah pedagang kaki lima yang asal laku meskipun hanya semusim maka berbagai kondisi semacam itu diabaikan. Akibatnya jelas fatal, dari 82 PTN dengan 3051 program studi dan 2561 PTS dengan 10287 program studi yang benar-benar eksis dan bermutu sangat minim, sangat sedikit program studi yang bermutu, dalam arti mampu mencetak sarjana yang benar-benar kualified dan mampu menjadi pioneer di bidangnya. Semua itu terjadi lantaran perguruan tinggi telah mengabaikan tugas utamanya sebagai institusi yang mengajarkan kebanaran, menemukan kebenaran dan membangun nilai-nilai baru.
Dalam kondisi demikian, manajemen perguruan tinggi tidak bicara mutu dan keahlian, maka jangan heran jika masyarakat tertipu hanya sekedar mendapat pepesan kosong dari judul prodi atau jurusan yang ditawarkan pihak perguruan tinggi. Kedua, Perguruan Tinggi yang berpraktek sebagai perguruan tinggi kelas asongan yang dicirikan dengan mendekati konsumen di lokasi-lokasi potensial dengan modus secara diam-diam membuka kelas jauh. Hal ini meskipun sering dilarang Dikti tapi prakteknya masih sering terjadi.
Model perguruan tinggi kelas pengasong ini disamping membuka kelas jauh di kabupaten bahkan sampai kecamatan mereka juga membuka kelas weekend, kuliah eksekutif sabtu minggu dan berbagai sebutan lain yang prakteknya tidak lebih dari sekedar ”pemudahan pendidikan” yang mengobral ijazah. Belum lagi jika peserta kuliahnya adalah para birokrat dan petinggi birokrat yang bisa memberikan imbalan proyek riset pada para dosennya maka mental asongan perguruan tinggi semakin subur. Dalam kondisi semacam itu kita tidak akan lagi bisa bicara tentang daya saing perguruan tinggi.
Ketiga, Perguruan Tinggi yang tugas utamanya sebagai institusi yang bertanggungjawab untuk mengajarkan kebenaran, menemukan kebenaran, membangun nilai-nilai baru sehingga berani menanggalkan kredonya sebagai teaching learning university menjadi research university. Pada tahap research university ini aktivitas utama dosen dan mahasiswa tidak lagi sekedar proses belajar mengajar di kelas melainkan sudah masuk kancah lapangan atau laboratorium riset untuk penemuan, pengembangan dan produksi ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan kemampuannya menjalin kerjasama dalam konteks global. Dari aktivitas research inilah PT mendapatkan sumber dana dari paten yang dihasilkan para dosennya. Semakin bagus riset dilakukan dan semakin banyak paten yang dihasilkan maka akan semakin kaya dosen dan Perguruan Tingginya. Kalaupun belum mampu menghasilkan paten, riset-riset yang datang dari pihak rekanan (user) sesungguhnya sudah cukup untuk meningkatkan kesejahteraan dosen dan staff. Inilah Perguruan Tinggi yang semestinya dapat melakukan peran untuk mencapai daya saing bangsa yang kuat. Perlu dilakukan penataan sistem pendidikan dengan paradigma baru, perlu penataan diri yang terintegrasi, terus menerus mengupayakan kreativitas dan inovasi, peningkatan relevansi pendidikan, perlu penyusunan renstra dan renop untuk memacu target yang sesuai indikator kinerja yang dinyatakan dalam kuantitas dan kualitas serta relevansi lulusan, bahkan prinsip link & match supaya dapat diimplementasikan, dengan harapan pemerintah konsisten melakukan investasi dibidang pendidikan, peningkatan kualitas staf pengajar, sarana dan prasarana, meningkatkan keterlibatan seluruh civitas akademika melalui penataan organisasi, program, penggunaan dana yang efektif/efesien, saling tukar menukar pengalaman untuk mencapai kriteria Badan Akreditasi Nasional dalam peningkatan kemampuan pembelajaran supaya menghasilkan peningkatan kompetensi lulusan.
Mengapa kita semua harus menumbuhkan kreativitas dan inovasi dalam meningkatkan mutu pendidikan! karena pendidikan itu merupakan masalah bangsa, jika lulusan tak bermutu maka selain waktu dan biaya yang terbuang juga. Sumber Daya Manusia tidak akan mampu bersaing jika tidak berkualitas. Disinilah diperlukan adanya kepedulian yang tinggi terhadap Quality control dan Qualiti assurance.
Dengan sistem inovasi antara lain kita akan: Menciptakan pengetahuan baru; Memandu arah proses pencarian penyedia dan pengguna teknologi, yaitu mempengaruhi arah agar para pelaku mengelola dan memanfaatkan sumber dayanya; Memasok/menyediakan sumber daya, yaitu modal, kompetensi dan sumber daya lainnya; Memfasilitasi penciptaan ekonomi eksternal yang positif (dalam bentuk pertukaran informasi, pengetahuan dan visi); Memfasilitasi formasi pasar.
Tentu banyak “fungsi” penting inovasi selain yang disebutkan di atas. Banyak negara, mendorong pemajuan sistem inovasi antara lain dengan memperkuat kelembagaan dan infrastruktur khusus iptek, serta “keterkaitan” (linkages) antara pihak “penyedia solusi” dengan pihak “pengguna solusi.” Instrumen kebijakan ini diharapkan dapat efektif dalam: meningkatkan sinergi [peran intermediasi] antarpihak dalam berinovasi, aktivitas difusi, dan proses pembelajaran; menjadi tempat/area bagi aktivitas penelitian, pengembangan, dan rekayasa [litbangyasa] produktif; menginkubasikan bisnis sehingga lahir perusahaan pemula atau baru yang inovatif; meningkatkan pertukaran informasi pengetahuan/teknologi; memberikan jasa layanan berbasis pengetahuan/teknologi dengan baik; memberikan bantuan teknis.
Bagi Indonesia, ini bukan hal yang baru. Upaya penguatan kelembagaan iptek telah dimulai sejak masa Kabinet Pembangunan II (1973 – 1978). Saat itu, Menristek memulai adanya Program Riset Nasional. Tahun 1976, dibangun PUSPIPTEK di Serpong. Upaya pengembangan inkubator di Indonesia juga telah dimulai sekitar awal 1990an. Sayangnya, perkembangannya relatif lambat jika dibandingkan dengan ”kebutuhan” nasional. Di sisi lain, tentu saja kelembagaan iptek [beserta infrastruktur pendukungnya] perlu terus dibenahi agar semakin efektif dan efisien serta sesuai dengan perkembangan tantangan yang dihadapi.
Pengembangan kelembagan dan infrastruktur iptek dalam implementasinya bukan hal yang mudah. Membangun keterkaitan, jejaring, dan sinergi dengan pemangku kepentingan kunci, termasuk masyarakat sekitar, merupakan hal yang sangat penting. Karena itu agenda peningkatan daya saing harus seiring sejalan dengan penguatan kohesi sosial. Hal lain adalah semakin mendesaknya kebutuhan akan terintegrasinya informasi dan komunikasi pengetahuan/ teknologi yang memudahkan baik pihak penyedia maupun pengguna. Ini yang sering disebut dengan peran technology clearing house [TCH]. Dengan THC, diharapkan aset intelektual yang berkembang dapat dikelola dengan lebih baik, diakses oleh masyarakat yang membutuhkan [termasuk kemungkinan komersialisasi] dan didifusikan dengan lebih efektif dan efisien. THC berpotensi menjadi salah satu “simpul” peningkatan sinergi banyak pihak. Bagaimana arah dan pengelolaan implementasi TCH pada tataran ”Pusat” dan ”Daerah” tentu perlu dirumuskan dengan baik agar benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Kreativitas menjadi sangat penting, oleh karena itu misi Perguruan Tinggi adalah mendidik mahasiswa kelak menjadi manusia-manusia yang kreatif, yang inovatif. PT menggunakan metodologi yang menggugah pikiran-pikiran mahasiswa menjadi berani men-challenge para dosen, para guru besar secara konstruktif, agar semuanya berkembang. Pendidikan harus membangun yang disebut dengan intellectual curiousity, rasa ingin tahu, mengapa bisa begitu, energi bagaimana, pangan bagaimana, climate change bagaimana, dan seterusnya. Kemudian mesti memiliki rasa bersaing yang tinggi. Thinking outside the box. Kalau cara ini mentok, cari cara, masih mentok, cari yang lain, sampai bisa. Kemudian peran research and development, penelitian dan pengembangan. Pada akhirnya peran Perguruan Tinggi adalah mencetak putera-puteri bangsa yang cerdas dan berkarakter tangguh.
Daya saing bangsa dapat dibangun dengan baik bila ditopang perguruan tinggi (PT) yang bagus dan kuat, yang mampu melahirkan orang terdidik, mahir, dan berkeahlian. Dalam konteks globalisasi, pendidikan tinggi memainkan peran sentral dalam membangun masyarakat berpengetahuan, tercermin pada munculnya lapisan kelas menengah terdidik dan kaum profesional yang menjadi kekuatan penentu kemajuan ekonomi. Mereka merupakan elemen pokok dalam menyokong ekonomi berbasis pengetahuan. Ilmu pengetahuan menjadi investasi modal yang amat penting, sekaligus faktor determinan dalam proses produksi. Sebab, aktivitas ekonomi lebih bersifat padat pengetahuan sehingga dukungan sumber daya alam menjadi berkurang (Latham 2001). Selain itu, teknologi komunikasi dan informasi berperan dominant mendukung aktivitas bisnis dan perdagangan global.
Dengan demikian, peran PT menjadi penting sebagai basis produksi, diseminasi, dan aplikasi ilmu pengetahuan serta inovasi teknologi. PT berperan strategis dalam konteks pembangunan kapasitas dan peningkatan keahlian, kompetensi profesional, dan kemahiran teknikal. Bangsa yang mempunyai banyak manusia terdidik, berpengetahuan, dan menguasai teknologi pasti memiliki daya saing kuat dalam kompetisi ekonomi global. Daya saing nasional amat ditentukan oleh kemampuan bangsa bersangkutan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan inovasi teknologi, dan mendorong program riset dan pengembangan untuk melahirkan berbagai penemuan baru.
Untuk itu, hubungan segi tiga antara ilmu pengetahuan, dunia industri, dan universitas (triple helix of knowledge-industry-university) menjadi tak terelakkan. Selain menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi, PT menyediakan tenaga profesional yang diperlukan dunia industri. PT juga dapat melakukan kegiatan litbang yang memberi manfaat bagi perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dunia industri dapat mengalokasikan dana untuk menopang kegiatan litbang di universitas. Sangat jelas, dinamika hubungan segi tiga ini akan memberi sumbangan besar pada peningkatan produktivitas nasional yang pada gilirannya meningkatkan daya saing bangsa.
Dalam konteks demikian, dukungan finansial pemerintah amat vital guna mengembangkan PT menjadi institusi yang kuat. Ada empat pertimbangan sosial ekonomi yang penting dicatat. Pertama, investasi untuk pendidikan tinggi akan melahirkan manfaat eksternal jangka panjang yang menjadi faktor krusial pembangunan ekonomi yang bertumpu pada ilmu pengetahuan. Kedua, investasi untuk pendidikan tinggi memberi manfaat sosial politik karena akan melahirkan lapisan masyarakat terpelajar, yang dapat memperkuat kohesi sosial dan memantapkan dasar-dasar demokrasi. Ketiga, pendidikan tinggi memainkan peran kunci dalam menopang pendidikan dasar dan menengah, sekaligus menyokong economic externalities kedua jenjang pendidikan itu.
Keempat, pengembangan teknologi dan kegiatan penelitian dasar dan terapan oleh PT akan membawa keuntungan jangka panjang guna mencapai keunggulan bangsa. Karena itu, tugas utama pemerintah adalah mengembangkan PT bermutu dan unggul sehingga mampu memasok tenaga-tenaga ahli yang diperlukan di berbagai bidang kehidupan. Untuk itu, investasi dalam pengembangan PT harus difokuskan pada: pembangunan sarana-prasarana dan penyediaan fasilitas pendidikan: laboratorium (peralatan) dan perpustakaan (buku, jurnal); penguatan struktur kelembagaan termasuk penataan institusi litbang; peningkatan kualitas program akademik; peningkatan mutu akademisi (dosen, peneliti); pemantapan landasan keilmuan; dan pengembangan kerja sama PT dengan dunia industri.
Keenam hal itu penting diperhatikan agar para akademisi dapat lebih optimal mengemban tugas-tugas akademik, mendalami bidang keilmuan yang menjadi minatnya, dan melakukan risetriset ilmiah yang berorientasi pengembangan iptek. Tanpa dukungan fasilitas memadai, mereka akan tergoda untuk berdiaspora ke negara-negara maju, baik di Asia, Australia, Eropa, maupun Amerika. Sebab, di negara-negara itu mereka menemukan lingkungan akademik yang kondusif guna menekuni profesi sebagai akademisi dan peneliti.
Universitas diharapkan dapat menjadi tulang punggung yang utama transformasi sosial dan peningkatan daya saing bangsa dengan membentuk manusia yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dan berkualitas secara spiritual, emosional, intelektual, dan fisik serta memiliki profesionalitas dan kemampuan kepemimpinan serta jiwa kewirausahaan untuk mendukung peningkatan daya saing bangsa. Kerja akademik ini merupakan kewajiban sekaligus kehormatan bagi universitas.
Pemerintah harus menempatkan pendidikan sebagai investasi jangka panjang mengingat kunci pembangunan manusia adalah pendidikan. Peran PT juga diperlukan akibat serbuan arus globalisasi dan berubahnya terus lapangan kerja. Sistem pendidikan harus mampu mewujudkan masyarakat yang belajar sepanjang hayat (long life learning). “Harus diakui kalau keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan terletak pada kualitas sumber daya manusia yang unggul. Oleh karena itu, pembangunan manusia merupakan ujung tombak strategi pembangunan berkelanjutan. Dan, jalan untuk membentuk SDM berkualitas adalah melalui pendidikan” Langkah itu agar dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan jati diri, nilai luhur serta budaya bangsa-bangsa yang produktif dan kompetitif. Proses pendidikan perlu dikelola secara sungguh-sungguh agar generasi muda lebih bertakwa, berbudi pekerti luhur, dan berwawasan global sehingga mampu berperan positif bagi peningkatan kesejahteraan dan keunggulan bangsa.
Dalam hal ini, pendidikan tinggi harus diarahkan juga untuk meningkatkan daya saing bangsa. Sehingga mampu menghasilkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya untuk kemandirian bangsa. Pengembangan unggulan diarahkan pada bidang-bidang yang relevan terhadap kepentingan masyarakat dan bangsa. Khususnya yang dapat memberikan nilai tambah pada hasil sumber daya alam secara berkelanjutan serta mengurangi ketergantungan dari pihak luar. Karena itu, sekali lagi, pemerintah harus mengembangkan sistem yang dapat menjamin kesetaraan akses pada pendidikan yang berkualitas. Lapangan kerja yang terus berubah serta globalisasi mengharuskan penyelenggaraan sistem pendidikan yang mampu mewujudkan masyarakat belajar sepanjang hayat.***
Comments 21