Oleh Saptari Darma Wijayanti, S.Pd (Guru SMP N 1 Karanglewas Banyumas)
Kuamaati wajah itu, rasanya aku sangat mengenalnya. Dulu rambutnya kribo, selalu diikat, dan pipinya selalu nampak penuh, senyumnya lebar, dan lugu. Sekarang berkerudung tapi masih nampak segar, tubuhnya lebih besar, dibalut baju muslimnya yang bagus. Karena selalu kupandangi mungkin dia merasa juga, dan ketika dia menengok ke arahku dia langsung teriak, “Wiwit, aku sering lihat kamu dari belakang, sekarang baru kesampaian bicara denganmu, ” Kemudian dia menutup mulutnya, karena saat iu masih berlangsung pengajian, dan pembicara masih menjelaskan tentang aqidah. Aku tersenyum dan jari telunjukku kuletakkan di atas bibirku, tanda jangan bicara dulu.
Usai pengajian, kusalami orang di sekitar kanan, kiri, muka dan belakangku, lalu kosongsong temanku, Surtina. Aku senang sekali bertemu dengannya, karena aku masih ada hutang dengannya. Dia langsung memelukku, dan berkata, ” Kamu sudah jadi orang besar ya Wit?” dia bicara sambil senyum.
”Ya yang besar kamu, nih tanganku tidak cukup untuk memelukmu?”
”Aku seneng banget ketemu kamu wit.” ujarnya lagi.
”Ya aku juga, aku mau minta maaf kepadamu.”
”Maaf apa? Kamu tidak pernah salah kepadaku.”
”Oh, salahku gede banget!” sambungku.
”Nggak ada lah wit…” dia masih ngotot.
”Sebelum cerita, aku mau minta maaf dulu ya, dengarkan dulu….” kataku memaksanya. Dia diam, bersiap-siap mendengarkan dengan seksama.
”Sur apakah kamu masih ingat, ketika ulangan kenaikan kelas kelas II dulu kamu dimarahi oleh pak Hari?” aku
memulai.
”Lah wis kelalen ya!” (wah udah lupa ya) jawabnya.
”Tapi aku yang ingat terus, karena aku yang salah tetapi kamu yang dimarahi pak guru. Ingat waktu itu aku yang meminta jawaban tulisan surat Al –Ikhlas kepadamu? Kamu kan jago nulis arab, dan kamu menyobek kertas soal ulangan untuk memberikan jawaban kepadaku, dan ketahuan …….. masih ingat?”
”Oh ya aku mulai ingat, ya waktu itu aku dimarahi.”
”Itulah Sur aku selalu merasa bersalah kepadamu.”
”Ya sudahlah kumaafkan, tapi dulu aku sudah tidak menganggap kamu yang salah wit.”
”Terima kasih ya Sur, aku sudah lega bertemu dengan kamu. Kamu mulai mengaji di masjid Agung ini sejak kapan? Kok aku tidak pernah lihat kamu ya Sur?”
”Ya setahunan wit. ”
”Kok aku tidak pernah ketemu denganmu ya Sur? Padahal aku sudah mengaji di Masjid Agung ini sudah 6 tahun.” tanyaku lagi.
”Aku sering lihat kamu wit, tapi aku ragu takut bukan kamu!”
”Aku masih ajeg kan Sur?” kataku minta dia mengiyakan kata-kataku, walau tidak mungkin karena berat badanku sudah tambah 15 kg sejak sekolah dulu. Lagi pula kulit mukaku mulai berbintik warna hitam.
”Ya … ajeg banget…..” tawanya lebar.
”Gimana kabar kawan kita, Ati, Tami, dan yang lain?” tanyaku.
”Makanya berangkat kumpulan kelas kita Wit, setiap 3 bulan sekali?”
”Yang ketuanya Sahri ya?”
”Ya, dia ketuanya.”
”Aku pernah bertemu dengannya dan dia mengajak juga, aku sudah niat mau berangkat kumpulan itu tapi sampai sekarang tidak kesampaian.”
”Ya orang penting kan tidak punya waktu!” candanya.
”Bukan begitu Sur! Suamiku keluarga besar, aku juga kan? Jadi waktu untuk acara keluarga saja selalu ada, belum acara yang lain….”
”Ya nggak apa-apa Wit, aku maklum kok!”
”Eh, kabar Ati gimana?”
”Lho, kamu belum tahu Wit? Dia sudah meninggal. Tangannya dipotong waktu kerja di laur negeri dan kemudian sakit sampai dia meninggal.”
”Innalillahi wa Innailaihi Ro’jiun, dia kan anak tunggal?”
”Iya wit, mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosanya ya.”
”Ya, mudah-mudahan dia mendapat tempat yang layak untuknya.”
Aku masih ingin ceritera yang bayak dengannya, tapi suamiku di atas motor sudah melambaikan tangannya, tanda agar aku segera pulang.
”Sur itu suamiku, aku pulang dulu ya….”
”Ya, minggu besok cerita agak lama ya…. aku kangen banget Wit.”
”Insya Allah” jawabku sambil menggengam tangannya erat- erat. ”Sudah ya Sur….” aku berjalan cepat menuju suamiku yang sudah menunggu.
Dalam boncengan suamiku aku masih membayangkan tentang Surtina. Masih terbayang jelas di mataku wajah pak Hari yang memarahinya, tapi waktu itu aku juga tidak bisa meluruskannya. Aku juga takut dengan kemarahan pak Hari. Aku merasa bersalah pada Surtina, karena jelas aku yang membuat dia dimarahi pak guru. Pak guru mengira Surtina menyontek. Pak guru menganggap aku tidak mungkin minta jawaban kepada Surtina, karena aku selalu berada pada peringkat pertama di kelasku sejak kelas satu, jadi pak guru tidak percaya ketika Surtina menjelaskan kertas sobekan itu untukku.
Kukira aku saat ini bisa memahami kenapa pak Hari marah, karena dalam ulangan yang meminta dan yang memberi jawaban kepada orang lain adalah sama-sama salah, bukan karena aku yang rangking atau Surtina yang tidak rangking. Namun aku juga menyayangkan sikap guruku, kenapa dia tidak adil? Harusnya aku juga kena marah, atau paling tidak dia mengklarifikasi jawaban Surtina. Atau menanyakan juga kepadaku. Aku bisa belajar dari peristiwa itu, bahwa apa yang terjadi di depan kita, belum tentu seperti apa yang kita lihat, kita perlu menelusuri sesuatu lebih teliti, agar tidak salah dalam bertindak. Ya Allah terima kasih Engkau telah memberikan kesempatan untuk bertemu dan meminta maaf kepadanya dan selalu membimbing langkahku di JalanMu.
Comments 21