Oleh Heni Purwono, S.Pd (Guru IPS Sejarah SMA Negeri 1 Sigaluh, Banjarnegara dan Mahasiswa Magister Ilmu Sejarah Undip, Semarang)
PERATURAN Menteri Pendidikan Nasional No 11/2005 sudah berjalan setengah dasa warsa. Namun hasilnya belum bisa dirasakan. Peraturan Menteri yang berisi melarang sekolah menjual buku pelajaran tentunya bertujuan agar terhindarnya konflik kepentingan, terutama bagi guru.
Sayangnya, Peraturan Menteri tersebut luput mengatur tentang keberadaan Lembar Kerja Siswa (LKS). Walhasil, LKS menjadi semacam ”anak haram” dari Peraturan Menteri yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan (baca: penerbit, distributor, guru, koperasi, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran [MGMP]).
LKS menjadi bahan akal-akalan antara penerbit dan pihak sekolah untuk kembali melakukan politik dagang sapi, serta melanjutkan tradisi insider trading . Hasilnya, kini LKS semacam menjadi buku wajib yang harus dimiliki oleh siswa. Kalaupun guru tidak menjualnya secara langsung, koperasi sekolah yang akan dipinjami tenaganya.
Ditinjau Ulang Keberadaan LKS yang tidak diatur oleh Peraturan Menteri tersebut, kini berakibat menjadikan siswa seakan merujuk LKS sebagai satu-satunya sumber belajar. Padahal, sejatinya LKS hanya lembar kerja. Belum lagi, keberadaan LKS membuat siswa tidak mencoba untuk memahami materi pelajaran, tetapi sekadar bisa mengerjakan soal.
Selain itu, LKS juga menyebabkan guru semakin malas mengembangkan diri untuk membuat diktat, buku, atau bahan ajarnya sendiri, karena menganggap rangkuman materi dalam LKS sudah cukup. Keberadaan LKS juga membuat guru dengan mudah meninggalkan pekerjaan mengajar. Semoga dengan fakta itu, keberadaan Peraturan Menteri 11/2005 dapat ditinjau kembali untuk disempurnakan.(75)
Comments 721