Oleh Mi’raj Dodi Kurniawan –Mantan Aktivis HMI Bandung, Alumnus Pendidikan Sejarah FPIPS, UPI Bandung–
Sampai ajal menjemputnya, Cak Nur – sapaan akrab Prof. Nurcholish Madjid – belum sempat mengoreksi pernyataan, “Demokrasi di Indonesia baru sebatas demokrasi prosedural, belum demokrasi substansial”. Pernyataan ini beliau luncurkan dalam gegap gempita gerakan reformasi. Namun, rasa-rasanya koreksi terhadap hal itu tidak perlu mendiang cendekiawan muslim dan mantan Ketua PB HMI dua periode berturut-turut ini utarakan. Mengapa? Karena jika ditelaah, sejak Cak Nur masih mampu menarik nafas hingga hari ini, praktik demokrasi di Indonesia – dalam kadar tertentu – masih saja berjibaku dalam lingkup prosedur, dan belum cukup prestatif dalam substansi.
Banyak hal dapat dikemukakan untuk memperkuat pernyataan tokoh nasional dan guru bangsa jebolan Universitas Chicago ini. Antara lain: kuasa rakyat baru terlihat dalam detik-detik pencoblosan (Pemilu), terjadinya oligarki partai minim aspirasi konstituen, merebaknya politik uang (money politic), praktik kolusi di level elite politik, kurang transparannya kebijakan publik, mekanisme penyampaian aspirasi belum efektif dan efisien, dan akhirnya, daya tawar kekuasaan (bargaining power) rakyat relatif lemah manakala berhadapan dengan kekuasaan.
Kenyataan belum paralelnya proses demokrasi prosedural di satu pihak, dan demokrasi sustansial pada pihak yang lain, secara implisit dan eksplisit merupakan tantangan Indonesia kontemporer. Negeri yang berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Weh hingga Pulau Rote dengan segi-segi pluralitas di dalamnya ini rupanya masih harus berjuang untuk mematangkan sendi-sendi demokrasi di berbagai lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ikhtiar pematangan ini bukan karena kelatahan. Tipe demokrasi yang dijalankan pun bukan demokrasi yang sepotong-sepotong (prosedural saja atau substansi semata). Realisasi demokrasi harus simultan: prosedural sekaligus substansial.
Menjajaki Demokrasi
Jika ditinjau secara etimologis (asal-usul peristilahan), istilah demokrasi berasal dari bahasa Latin, yang terbentuk dari dua kata dasar, demos yang berarti rakyat, dan kratein yang berarti kekuasaan. Jadi secara etimologis, demokrasi artinya kekuasaan rakyat atau rakyat yang berkuasa. Sedangkan bila ditilik dari pojok terminologis (perspektif keilmuan), demokrasi berarti suatu sistem kehidupan sosial (bermasyarakat) yang dikelola berdasarkan kehendak rakyat, dan kekuasaan tertinggi dipegang oleh rakyat kebanyakan. Dengan demikian, sistem demokrasi mendisain mayoritas (orang yang lebih banyak) sebagai penguasa. Tidak aneh akhirnya, dalam sistem ini muncul adagium “Suara rakyat suara Tuhan”.
Dalam demokrasi, mayoritaslah yang memegang kendali kekuasaan, sedangkan pihak minoritas bebas berjuang untuk menjadi mayoritas. Baik pihak mayoritas maupun minoritas, bebas menyampaikan pendapatnya, baik secara argumentatif maupun persuasif. Semua pihak lalu dipersilahkan untuk berunding, bermusyawarah, berdialog, dan berdiskusi dengan penuh kesadaran tentang aneka sodoran pendapat yang muncul. Seluruh pihak kemudian memilih pendapat yang akan dijadikan sebagai keputusan bersama. Tentu saja keputusan ini dibuat berdasarkan dukungan yang paling banyak. Lalu, baik mayoritas maupun minoritas harus tunduk pada hasil keputusan bersama.
Dalam demokrasi, mayoritas merupakan aktor utama. Kendati begitu, komposisi pihak mayoritas pada satu atau beberapa isu dan soal, serta kesempatan selalu dinamis, dan terbuka kemungkinan untuk berubah. Itu sebabnya, demokrasi yang sesungguhnya akan merangsang seluruh individu maupun kelompok untuk selalu aktif dalam menciptakan keputusan. Kompetisi terjadi di antara seluruh pihak, baik individu maupun kelompok, untuk menjadi mayoritas yang memutuskan. Bagi pihak yang semula sebagai mayoritas, dalam taraf minimal mereka akan berjuang untuk mempertahankan posisinya sebagai mayoritas, dan dalam taraf maksimal memperbanyak lagi jumlah anggota mayoritas. Sedangkan bagi minoritas, perjuangan mereka tempuh untuk merebut posisi sebagai mayoritas. Jika menjadi pihak mayoritas pun tidak mungkin diraih, setidak-tidaknya mereka berjuang menyampaikan aspirasi agar pihak mayoritas mempertimbangkannya dalam membuat keputusan.
Sesungguhnya, dalam setiap model kepemimpinan atau kekuasaan tidak pernah absen dari kelemahan dan kelebihan. Pendek kata, tiap model kepemimpinan atau kekuasaan memiliki kelemahan, juga kelebihan. Semuanya tergantung kepada situasi dan kondisi yang dihadapi. Demikianlah yang menimpa demokrasi. Karena memiliki sejumlah kelemahan dalam situasi dan kondisi tertentu, demokrasi pun dikritik, bahkan dihujat. Lantaran mengandung kelebihan dibanding sistem lainnya, demokrasi pun dipuja banyak orang, bahkan tak sedikit pihak yang menyebutnya sebagai salah satu ciri dari peradaban termulia yang pernah tercipta di muka bumi.
Di antara sekian kritik yang ditembakkan pada demokrasi ialah kenyataan bahwa sistem ini menyamaratakan nilai suara, tanpa membeda-bedakan kualitas intelektual dan moral seluruh individu pemilih (voters). Misalnya dalam pemilihan umum, nilai suara seorang cendekiawan dan bukan cendekiawan, sama saja, yakni satu suara. Kalangan lainnya menyemburkan umpatan bahwa memberi kekuasaan tertinggi terhadap manusia (orang kebanyakan/mayoritas) tidak lebih sebagai tindakan bodoh semata. Kritik serupa itu biasanya mengemuka dari para pendukung sistem teokrasi (kekuasaan Tuhan/agama), pendukung sistem monarki/kerajaan, atau pendukung sistem kepemimpinan yang dipegang oleh filsuf/intelektual sebagaimana telah digagas Plato.
Penting diakui bahwa demokrasi adalah satu-satunya sistem kekuasaan yang memandang positif (positive thinking) kualitas kebebasan manusia. Demokrasi, implisit memandang manusia sebagai makhluk hidup berhak azazi yang included (melekat di dalamnya) sejak manusia itu lahir ke muka bumi. Satu di antara beberapa hak azazi yang dimaksud adalah hak azazi manusia untuk berpendapat, berorganisasi, dan menentukan nasib sendiri. Demokrasi cenderung memandang manusia sebagai makhluk berpikir, merasa, dan berkehendak yang akan berjuang untuk meraih kebaikan individual dan sosialnya. Itu sebabnya, dalam sistem ini, pandangan tiap manusia diakui. Dalam titik tertentu, manusia yang lebih banyaklah yang memegang kuasa. Dan, kebebasan manusia yang luar biasa besar dalam demokrasi, akhirnya memaksa tersedianya tipe manusia yang berwawasan luas dan cerdas dalam memilih dan siap menanggung resiko.
Kendati memiliki sejumlah kelemahan yang membuatnya kerap dikritik, sebenarnya demokrasi pun mempunyai beberapa kelebihan. Antara lain, pertama, kekuasaan yang dipegang oleh banyak orang berkontribusi mengubur potensi munculnya pola kepemimpinan otoriter yang menafikan kepentingan orang banyak. Kedua, demokrasi membuat lebih banyak orang akan bertanggung jawab terhadap situasi dan kondisi zamannya. Ketiga, cepat atau lambat, demokrasi relatif lebih efektif mengoptimalkan pemberdayaan (empowering) masyarakat. Keempat, sistem ini mendesakralisasi keberadaan kelompok supremasi karena unsur keturunan (genetik) dan unsur diskriminatif lainnya, selain faktor intelektual dan moral. Kelima, mekanisme kehidupan dalam sistem demokrasi akan lebih dinamis.
Kaum Demokrat
Betapapun dalam spektrum tekstual dan teoritik, sistem demokrasi memiliki sejumlah kelebihan memukau yang relatif sulit ditemukan dalam sistem lainnya, namun sebagai sistem aturan, demokrasi itu sendiri adalah teks diam yang hanya akan bergerak dan berefek manakala dipahami dan dipraktikkan para penganutnya. Sebagai teks, demokrasi sesungguhnya belum cukup sakti menciptakan peradaban lebih baik di muka bumi. Ibarat teks kitab suci yang takkan cukup berfaedah jika hanya disimpan, dibaca saja secara literal sehingga melahirkan verbalisme, dan tidak diaplikasikan oleh umatnya dalam kehidupan keseharian. Fenomena serupa akan menimpa demokrasi, jika masyarakat tidak memahami dan mangkir dari pelaksanaan aturan main (rule of the game) demokrasi. Dengan kata lain, efek signifikan demokrasi terasa jika sistem ini dipahami bukan sebatas sebagai seperangkat aturan, akan tetapi juga sebagai cara hidup (the way of life). Pendek kata, demokrasi harus dimaknai secara tekstual dan kontekstual dalam hidup sehari-hari di masyarakat, bangsa, dan negara.
Praktik demokrasi tercipta jika orang berbicara, bersikap, dan berbuat secara demokratis. Orang-orang seperti inilah yang disebut sebagai kaum demokrat. Secara sederhana, kaum demokrat berarti sekelompok orang yang mengaplikasikan nilai-nilai, aturan main, serta cara hidup demokrasi dalam pergaulan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lalu apa sajakah ciri dan syarat seseorang dan kelompok layak disebut sebagai kaum demokrat? Pertama, berkeyakinan dan melaksanakan prinsip kekuasaan rakyat mayoritas. Kedua, mengakui pluralitas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketiga, berpedoman, tunduk, dan patuh terhadap konstitusi (peraturan perundang-undangan yang berlaku). Keempat, memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara dengan seimbang. Kelima, memahami dan mempraktikkan etika bermusyawarah, berdialog, atau berdiskusi dalam rangka menyelesaikan permasalahan publik.
Satu watak penting dari kaum demokrat yang disebutkan terakhir adalah memahami dan merealisasikan etika bermusyawarah, berdialog, atau berdiskusi dalam menyelesaikan persoalan publik. Dalam konteks ini, kaum demokrat bukan saja seseorang dan sekelompok orang yang mencintai ilmu pengetahuan dan menjunjung tinggi argumentasi, melainkan juga memahami dan mengaplikasikan teknik-teknik persuasif dalam mengeksplorasi pandangan dan argumentasinya ke hadapan publik. Kaum demokrat tidak saja berani menyodorkan pandangan dan argumentasi yang benar serta menerima pandangan dan argumentasi yang benar dari orang lain, melainkan juga menjunjung tinggi prinsip penyelesaian masalah publik untuk kemaslahatan bersama. Pendek kata, kaum demokrat berani mengakui dan melaksanakan pandangan dan argumentasi yang benar, sekaligus menjunjung tinggi penyelesaian masalah demi kemaslahatan publik.
Negara Demokratis dan Negara Sejahtera (Welfare State)
Syarat utama terbentuknya negara secara de facto antara lain mempunyai wilayah, rakyat, konstitusi, dan pemerintahan. Sedangkan secara de jure, kesatuan wilayah, rakyat, konstitusi, dan pemerintahan ini harus diakui oleh negara-negara lain. Bila persyaratan tersebut telah terpenuhi, maka negara itu layak disebut sebagai negara. Bagaimana jika negara tersebut memilih bentuk negaranya sebagai negara teokrasi, monarki, atau demokrasi? Lain lagi cerita. Ada beberapa syarat berbeda yang mesti dimiliki oleh negara ini. Masing-masing bentuk negara memiliki varian yang berlainan berkenaan rincian konstitusi, jabatan pemerintahan, dan pembagian wewenangnya. Relevansi penerapan suatu bentuk negara pun bergantung pada tipe masyarakat negara tersebut. Dengan perkataan lain, rincian konstitusi, jabatan pemerintahan, pembagian wewenang, dan tipe masyarakat pada masing-masing bentuk negara, baik negara teokrasi, monarki, maupun demokrasi memiliki kekhasan yang berbeda satu sama lain.
Demikianlah, bentuk negara demokrasi, mempunyai rincian konstitusi, jabatan dalam pemerintahan, pembagian wewenang, dan tipe masyarakat yang khas. Dalam koridor konstitusi, misalnya, negara demokrasi bersandarkan pada hukum. Selain itu, dari pusat hingga daerah tersusun lembaga trias politica yang digagas Montesque, filsuf Prancis, yakni lembaga legislatif (perwakilan), lembaga yudikatif (hukum), serta lembaga eksekutif (pelaksana pemerintahan). Keberadaan pers atau media yang bebas dan bertanggung jawab, juga acap disebut-sebut sebagai penyangga negara demokrasi lainnya, akhir-akhir ini. Status sebagai pejabat dalam lembaga trias politica lebih cenderung diperoleh sebagai status prestatif dan status amanat, ketimbang status keturunan. Fungsi jabatan pada ketiga lembaga ini pun diatur dalam konstitusi. Masa jabatan yang diemban berdasarkan periode tertentu, diatur pula oleh konstitusi. Dan terakhir, tentu saja masyarakat yang mendiami negara demokrasi adalah masyarakat demokrat alias kaum demokrat.
Jika kembali menukil kritik Cak Nur terhadap praktik demokrasi di negeri ini, sesungguhnya tiada yang salah dengan pernyataan pendiri Yayasan Wakaf Paramadina ini. Sampai beliau wafat, praktik demokrasi di Indonesia memang masih sibuk mengurusi koridor prosedural, dan belum maksimal secara substantif. Fenomena ini bisa dimaklumi, mengingat ratusan tahun lamanya bangsa ini dikooptasi feodalisme, ratusan tahun dibuai kolonialisme, dan puluhan tahun dipimpin oleh pseudo demokrasi-otoritarianisme. Kalaupun seluruh eksponen bangsa hendak mengoreksi pernyataan beliau, tiada cara yang efektif dan efisien selain menyusun bangunan prosedur dan menyemarakkan praktik substansial demokrasi di Nusantara, dalam tempo segera. Mayoritas harus bangun dari tidur panjangnya sebagai masyarakat diam (silent majority), menjadi mayoritas ‘bicara’ dan penentu.
Selain menyusun arsitektur prosedural negara demokrasi – suatu hal yang rentan menjadi kosmetik semata dan merupakan langkah yang relatif lebih mudah dibanding menata substansi – adalah membangun karakter bangsa (nation chracter building) alias menumbuhkembangkan watak-watak kaum demokrat di bumi pertiwi, sehingga jenis kelamin warga bangsa sebagai penganut demokrasi terang-benderang. Akhirnya, tersingkap kenyataan, bahwa ketersediaan panduan bagaimana (how to) berdemokrasi, barisan kaum demokrat (democrats), dan tatanan negara demokratis (democratic state), saling terkait berkelindan. Betapa sistem demokrasi yang memadai memerlukan hadirnya manusia-manusia bebas dan bertanggung jawab.
Kebebasan adalah nilai tertinggi kemanusiaan, sementara mengelola kebebasan yang bertanggung jawab adalah segala-galanya, sejauh arah dan tujuan kebebasan untuk mendisain peradaban termulia, sebagaimana telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, dan membentuk masyarakat yang adil dan makmur. Demokrasi ibarat kendaraan, sedangkan tujuan pembentukkan negara ini bagaikan rute lokasi tujuan. Dalam hal ini, banyak pilihan dalam berkendaraan: motor, mobil, kereta api, kapal laut, atau pesawat terbang, sedangkan lokasi tujuan cuma satu areal. Mengingat banyak unggulnya, ibaratkan saja demokrasi seperti kendaraan tercanggih, sedangkan sistem lainnya kurang canggih. Dengan keunggulannya itu, tentu saja kendaraan yang bernama demokrasi ini harus lebih efektif dan efisien dalam mencapai dan melampaui – sekali lagi – tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk masyarakat yang adil dan makmur.
Comments 749