Oleh:
Wardjito Soeharso
(Widyaiswara Badiklat Prov. Jateng dan Pembina Agupena Jateng)
Saya sangat tergelitik membaca artikel berjudul: Membiasakan Komunikasi Interpersonal, yang ditulis oleh Trimanah, di Harian SUARA MERDEKA, Semarang (Kamis:1/3/2012). Dari artikel itu, saya memperoleh pemahaman bahwa Komunikasi Interpersonal adalah sebuah model atau paradigma komunikasi yang menjelaskan peristiwa ketika kita berbicara dengan diri sendiri untuk mengenal diri sendiri secara lebih mendalam. Ya, dalam pengertian si penulis artikel (Trimanah) Komunikasi Interpersonal dimaknai sebagai proses komunikasi internal, komunikasi dengan hati nurani sendiri, tanpa adanya pihak lain yang terlibat dalam proses komunikasi itu.
Saya tidak ingin mengomentari isi artikel itu, karena secara substansial artikel itu hanya ingin menjelaskan apa dan untuk apa komunikasi interpersonal selayaknya dilakukan oleh setiap orang. Yang menggelitik bagi saya, dan justru yang ingin saya komentari adalah penyebutan model atau paradigma komunikasi interpersonal sebagai komunikasi internal, komunikasi dengan diri sendiri, yang dalam pemahaman saya, penyebutan itu keliru. Yang dimaksud si penulis mungkin adalah komunikasi intrapersonal, sesuai namanya memang menunjuk komunikasi internal, komunikasi dengan diri sendiri, komunikasi dengan hati nurani.
Soeharso, Wardjito, dalam bukunya Yuk, Nulis Artikel (2010), menjelaskan dalam komunikasi dikenal ada lima paradigma atau model: (1) intrapersonal communication, (2) interpersonal communication, (3) small group atau organizational communication, (4) intercultural communication, dan (5) mass communication.
Intrapersonal communication adalah bentuk paling sederhana komunikasi. Model ini menunjuk ketika orang berkomunikasi dengan diri sendiri, yaitu ketika orang berdialog dengan hatinurani. Komunikasi intrapersonal terjadi ketika orang dihadapkan pada berbagai pilihan, sehingga dia harus menentukan salah satu dari berbagai pilihan itu. Atau ketika orang dihadapkan pada satu kondisi tertentu dan harus mengambil sikap atau keputusan. Kata orang bijak, hatinurani tidak pernah bohong, sehingga bila kita berkonsultasi dengan hatinurani, dia selalu memberikan pertimbangan secara jujur. Orang berdialog atau berkomunikasi dengan hatinurani tentunya juga dengan maksud memperoleh pertimbangan yang jujur, sehingga ketika harus menentukan pilihan atau membuat keputusan, hasilnya pun akan menjadi yang terbaik baginya.
Karena komunikasi intrapersonal sifatnya semacam evaluasi internal yang mendalam, banyak ahli komunikasi yang masih berbeda pendapat. Ada yang berpendapat komunikasi intrapersonal sudah menjadi bagian dari paradigma komunikasi, walau pun dalam bentuk yang sangat sederhana, karena komunikasi belum melibatkan pihak lain. Sementara yang lain berpendapat, komunikasi intrapersonal tidak termasuk dalam paradigma komunikasi karena secara teoretis komunikasi selalu ada dua pihak berbeda yang terlibat. Ingat, komunikasi adalah aktifitas manusia ketika mentransfer ide, gagasan, dan atau emosi, perasaan, kepada pihak lain. Penganut paham ini melihat hatinurani bukanlah pihak berbeda dengan diri sendiri. Dengan demikian, yang namanya soliloki atau berdialog dengan diri sendiri bukan kategori komunikasi.
Model komunikasi berikutnya adalah interpersonal communication. Model ini menunjuk komunikasi yang terjadi antara dua pihak atau lebih, dan komunikasi berjalan secara langsung (direct). Komunikasi model ini hanya melihat komunikasi sebagai proses penyampaian pesan (message) dari komunikator ke komunikan dengan melihat bagaimana respon yang terjadi pada komunikan. Dalam artikelnya itu, si penulis sepertinya masih rancu memahami dua paradigma ini.
Model komunikasi yang lebih kompleks adalah small group atau organizational communication. Komunikasi kelompok kecil atau komunikasi organisasi menunjuk pada proses komunikasi yang terjadi dalam lingkup kelompok kecil atau organisasi. Dalam sebuah organisasi pasti terdapat “aturan main” yang harus ditaati oleh semua anggotanya, termasuk bagaimana tata cara berkomunikasi. Oleh karena itu, komunikasi organisasi lebih banyak mengatur dan muncul sebagai norma dan aturan yang harus ditaati oleh semua anggota organisasi. Apabila ada anggota organisasi yang tidak taat terhadap norma dan aturan, pasti akan muncul masalah di sana.
Model komunikasi berikutnya, yang cukup rumit adalah intercultural communication. Komunikasi lintas budaya menjadi sangat kompleks dan rumit karena budaya menjadi variabel kajian yang sangat penting untuk melihat efektifitas komunikasi. Komunikasi model ini melihat bagaimana budaya menjadi sangat berpengaruh dalam komunikasi. Budaya, yang di dalamnya terdapat nilai, dan nilai dipercaya menjadi fundamen cara berpikir, bersikap, dan berperilaku manusia, dipercaya selalu mewarnai kehidupan manusia, sesuai situasi dan kondisi lingkungan yang membentuknya. Dalam konteks ini, pemahaman terhadap budaya manusia lain sangat bermakna untuk mengurangi atau meminimalisasi munculnya kesalahpahaman (misunderstanding) antara komunikator dan komunikan dalam berkomunikasi.
Model komunikasi yang paling kompleks adalah komunikasi massa. Model komunikasi ini melibatkan peran media massa. Artinya, komunikasi yang dilakukan dengan memanfaatkan media massa, seperti suratkabar (media cetak), radio, televisi (media elektronik), komputer (multi media), disebut sebagai komunikasi massa. Dalam komunikasi ini media massa berfungsi sebagai jembatan atau perantara untuk menyampaikan pesan. Sesuai fungsinya, media massa dapat disebut sebagi “gate keeper” atau penjaga gawang. Ketika menyampaikan pesan kepada komunikan, komunikator harus berhubungan terlebih dahulu dengan media massa, dan media massa memiliki hak untuk menentukan komunikator dan pesan seperti apa yang boleh disampaikan melaluinya.
Ciri khas komunikasi melalui media massa adalah, komunikator tidak mampu lagi mengidentifikasi komunikan, karena komunikan sudah bersifat massal, umum. Jadi kalau seseorang menulis di sebuah suratkabar, dia tidak tahu lagi siapa saja yang membaca tulisannya. Begitu pula, bila seseorang tampil di radio atau televisi, dia tidak tahu lagi siapa saja yang mendengar atau menontonnya.
Saya tidak bermaksud memberikan kuliah tentang komunikasi di media ini. Saya percaya, banyak pembaca yang lebih kompeten. Para akademisi di bidang komunikasi mestinya sudah sangat memahami teori ini. Saya menulis ini sekedar mengingatkan kepada siapa saja (termasuk kepada diri sendiri) bahwa menulis di media massa harus memiliki tanggungjawab akademik atas apa yang ditulisnya. Apalagi menulis artikel ilmiah (walaupun populer), bagaimana pun tidak boleh meninggalkan kaidah-kaidah penulisan ilmiah. Salah satu hal yang tidak boleh ditinggalkan adalah mencari referensi apabila memang belum yakin benar tentang yang ingin ditulisnya. Dalam jaman teknologi ini, kita bisa peroleh informasi dengan sangat mudah. Tanya saja ”mbah google” yang sangat populer itu, niscaya beliau dengan cepat memberikan jawaban.
Bisa saja yang dilakukan si penulis adalah kesalahan ”kecil”, tetapi ternyata dari yang kecil itu, sekedar salah menyebutkan term, istilah, membawa pengaruh yang besar pada keseluruhan isi artikel. Saya pikir, kesalahan itu juga bukan mutlak milik si penulis. Media massa sebagai gate keeper mestinya memiliki pemahaman yang sama: kualitas artikel yang dimuat mencerminkan kualitas redaksinya. Dan yang paling penting, setiap kesalahan akan mempertaruhkan reputasi baik si penulis maupun media yang memuatnya.