Salah kaprah Penataan Guru
Wednesday, 9 May 2012 (19:02) | 680 views | Print this Article
Oleh: Ari Kristianawati
Staf Edukatif SMAN 1 Sragen, Jateng
Konsekuensi dari terbitnya SKB 5 Menteri tentang penataan dan distribusi guru adalah lahirnya kebijakan regional/lokal di daerah, untuk memindahkan guru dari satuan kerja tingkat pendidikan ke satuan kerja tingkat pendidikan yang lain. Upaya penataan dan distribusi guru didasari oleh satu kepentingan, agar guru yang telah lulus sertifikasi mendapatkan jatah tatap muka mengajar minimal sebanyak 24 jam dan maksimal 40 jam.
Penataan dan distribusi guru yang dibingkai oleh SKB 5 Menteri, diperlukan agar guru yang lulus sertifikasi dan juga guru berstatus PNS memiliki jam mengajar yang “layak” sesuai dengan besaran tunjangan yang diperoleh. Penataan dan distribusi guru diatur dan dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan kebudayaan kabupaten/kota, sementara Bupati/walikota sebagai penanggung-jawabnya. Jika daerah atau pimpinan daerah tidak melaksanakan program penataan dan distribusi guru dalam salah satu pasal di SKB 5 Menteri tercantum ancaman Pemerintah Pusat akan menghentikan bantuan dana pendidikan ke daerah.
Namun dalam pelaksanaannya program penataan dan distribusi guru menimbulkan banyak persoalan secara teknis dan substansial. beberapa persoalan dalam penataan dan distribusi guru yang bisa dikategorikan antara lain:
pertama, Penataan dan distribusi Guru model SKB 5 Menteri dan permendikbud menyuburkan praktek feodalisme, pragmatisme serta melahirkan apa yang disebut kebijakan yang diskriminatif. Feodalisme dilihat dari kebijakan penataan guru yang didasari oleh kriteria DUK (Daftar urut kepangkatan) dimana guru yang lebih senior diutamakan mendapatkan alokasi jatah mengajar tatap muka minimal 24 jam, hal tersebut jelas bertentangan dengan standar peningkatan mutu pendidikan yang seharusnya lebih mengutmakan dimensi prestasi, kompetensi dan produktifitas.
Pragmatisme terlihat jelas ketika fase penataan dan distribusi guru banyak upaya lobi dan negoisasi dari para guru kepada pihak yang memiliki wewenang dalam penataan dan distribusi guru. Ditengarai program penataan dan distribusi guru diberbagai daerah menjadi ajang KKN gaya baru antara guru dan elemen birokrasi pendidikan. Guru yang tidak ingin dipindah jauh dari lokasi domisilinya melakukan lobi dan negoisasi yang jauh dari sikap integritas sebagai pendidik.
Kebijakan diskriminatif nampak jelas dari beberapa item kebijakan teknis penataan guru. Jabatan-jabatan struktural (fungsi kedinasan lembaga) ada yang bisa dikonversi menjadi alokasi jam mengajar dan ada pula yang tidak bisa dikonversi menjadi alokasi jam mengajar. Jabatan walikelas, petugas piket, pendamping kegiatan siswa tidak dihargai dibanding jabatan wakil kepala sekolah, kepala laboratorium, dsb. apa pertimbangannya? pertimbangan yang anti nalar sehat.
Kedua, penataan dan distribusi guru secara “kejam” telah menyingkirkan peran guru tenaga honorer dari jatah mengajar, sehingga banyak dari tenaga guru honorer yang belum masuk data base kependidikan menjadi tenaga pengangguran. Ketiga, Penataan dan distribusi guru model SKB 5 Menteri merendahkan martabat guru karena guru identik dengan “kuli”, yang besaran tunjangan profesinya disesuaikan dengan alokasi jam mengajar. sayang hal ini tidak disadari oleh mayoritas guru yang terlanjur berfikir pragmatis dan tidak dilandasi sikap kritis.
Penataan dan distribusi guru dengan perhitungan penyesuaian jatah mengajar minimal 24 jam dan maksimal 40 jam selain memerosotkan martabat guru menjadi seolah tenaga kuli (buruh), juga telah menciptakan bahaya latensi konflik. antara elemen guru disatuan kerja pendidikan terjadi tarik-menarik kepentingan untuk mendapatkan posisi dan jabatan agar tidak menjadi “objek” penataan guru.
Penataan guru sendiri tidak memiliki basis dukungan bagi kesejahteraan guru, karena tidak ada aturan baku yang mendukung pembiayaan program penataan guru. artinya guru yang terkena mutasi atau penataan sehingga harus pindah tempat mengajar yang jauh dari domisilinya tidak mendapatkan tunjangan transportasi sehingga banyak guru yang kehilangan akses ekonomi dan beban pengeluaran gajinya bertambah.
Seharusnya penataan dan distiribusi guru yang ideal didasari oleh kebutuhan obyektif tenaga pendidik dan bukan ditentukan oleh kelayakan jam mengajar minimal 24 jam dan maksimal 40 jam, karena guru sebenarnya selainj mengajar disekolah juga menjalankan kewajiban sebagai pendidik diluar jam mengajar disekolah. Guru menyiapkan RPP atau rencana pembelajaran, mengkoreksi tugas siswa, membuat soal, dan sebagainya. sayang hal tersebut tidak diakui sebagai alokasi jam mengajar (jam bekerja).
Penataan dan distribusi guru akan percuma saja jika pemerintah menambah jumlah tenaga guru baru melalui pengangkatan honorer besar-besaran dan juga membuka rekruitmen tenaga CPNS baru mulai tahun 2013. Penataan dan distribusi guru yang ideal adalah berdasarkan kebutuhan mendesak untuk menguatkan proses kegiatan belajar mengajar.
Tulisan lain yang berkaitan:



