Menjadi Guru Inspiratif, Tekad dari Sawali Tuhusetya

Monday, 3 February 2014 (20:55) | 1,465 views | Print this Article

Oleh : Deni Kurniawan As’ari
Redaksi web ISPI dan Humas ISPI

Sawali Tuhusetya

Admin ISPI—–Dalam rangka menginspirasi para sarjana pendidikan di tanah air, redaksi web ISPI akan menampilkan tokoh-tokoh sarjana pendidikan dari kalangan guru, dosen, pengawas, widyaiswara dan profesi lainnya.

Kali ini tokoh yang ditampilkan dan diwawancarai adalah salah satu guru SMPN 2 Pegandon, Kendal, Jateng bernama Drs. Sawali, M.Pd. Beliau memiliki dedikasi, prestasi dan karya yang patut dicontoh di bidang kepenulisan dan dunia blogger.

Berikut profil singkatnya. Drs. Sawali, M.Pd lahir pada 19 Juni 1964, di sebuah dusun di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Ayah dari tiga anak—-Galih Nirmalahesti, Tuhusetia Mahadhika, dan Yusa Wahid Gifari itu telah melahirkan karya buku diantaranya Buku Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SD/MI (PT Citra Aji Parama Yogyakarta, 2004), Buku Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP/MTs (PT Citra Aji Parama Yogyakarta, 2005), Buku kumpulan Cerpen Perempuan Bergaun Putih (Bukupop dan Maharini Press, 2008).

Lulusan terbaik Program Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia UNNES Tahun 2005 tersebut sejak kecil telah berminat dan bercita-cita menjadi guru berkat sugesti yang begitu kuat dari guru-guru SD di kampungnya.  Tulisan-tulisan suami Sri Wahyu Utami ini dapat dibaca di situs pribadinya www.sawali.info.

Sebagian prestasi yang pernah dicapai Ketua MGMP Bahasa Indonesia SMP Kendal yang telah meraih golongan IV B itu diantaranya  Juara 2 Sayembara Mengarang tentang Pengajaran Sastra untuk Guru SLTP se-Indonesia (1998), Juara 1 Lomba Karya Tulis Peningkatan Imtaq Siswa bagi Guru SLTP/SMU/SMK Tingkat Nasional (2000), Penghargaan dari Menteri Pendidikan Nasional dalam memperingati Hardiknas sebagai lima penulis artikel pendidikan terbaik di media cetak tingkat nasional (2004), Juara 2 Lomba Guru Berprestasi tingkat kabupaten Kendal (2004), Juara 1 Lomba Inovasi Pembelajaran SMP Tingkat Nasional Bidang Studi Bahasa Indonesia (2006), Anugerah Gatra Bakti Budaya sebagai seniman berprestasi Kab. Kendal (2006), Juara 1 Guraru Award sebagai penghargaan tahunan kepada guru-guru terpilih yang dinilai telah memanfaatkan teknologi dengan efektif dan kreatif (2011), Juara 1 Lomba Blog Kebahasaan dan Kesastraan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012), dan memperoleh Anugerah Insan Pendidikan Terpuji kategori Guru, penulis buku, sastrawan, dan blogger sejati tahun 2013 dari LPMP Jateng.

Berikut hasil wawancara lengkap redaksi dengan beliau.
Boleh tahu, apa prinsip hidup yang bapak pegang selama ini dalam menjalankan tugas sebagai seorang guru?
Guru adalah dunia panggilan. Peran guru tak hanya sebatas menjadi guru kurikulum yang ruang kerjanya dibatasi tembok ruang kelas, tetapi juga menjadi guru inspiratif dalam ruang kreativitas yang (nyaris) tak terbatas hingga mampu memberikan inspirasi kepada peserta didiknya agar kelak menjadi generasi masa depan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial.

Siapa tokoh yang menginspirasi bapak sehingga menjadi tokoh hebat seperti sekarang?
Terlalu berlebihan kalau predikat itu disandangkan buat saya. Saya guru biasa dan belum menjadi seorang tokoh, apalagi dengan embel-embel “hebat”, hehe …. Ki Hajar Dewantoro adalah tokoh pendidikan yang hingga kini mengilhami saya agar dunia pendidikan memberikan kontribusi besar dalam mengakrabkan anak pada lingkungan sosial dan kulturalnya. Gagasan-gagasan Ki Hajar Dewantoro yang lebih membumi perlu terus direvitalisasi agar dunia pendidikan di negeri ini mampu melahirkan generasi masa depan yang cerdas dan kreatif, tanpa kehilangan basis kulturalnya. Tagline “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani” yang dikembangkan oleh almarhum memiliki nilai filosofis yang sangat kontekstual dengan dinamika dunia pendidikan yang kini sedang berada dalam pusaran arus global yang kian rumit dan kompleks. Dunia pendidikan kita perlu kembali ke “khittah”-nya sebagai pusat kebudayaan yang berpandangan visioner dengan tetap berpijak pada akar tradisi dan budaya bangsa.

Boleh bapak berbagi bagaimana awal mula tertarik untuk menjadi seorang guru yang suka menulis?
Ketertarikan saya pada dunia menulis berawal ketika saya duduk di bangku SPG Purwodadi-Grobogan, Jawa Tengah, sekitar awal tahun 1980-an. Saat itu saya suka membaca buku-buku fiksi yang tersedia di perpustakaan sekolah. Kegemaran membaca saat itu ternyata memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap saya untuk bisa menulis. Pertanyaan yang selalu menggelisahkan saat itu, “Bisakah saya menulis seperti para pengarang yang karya-karyanya saya baca?” Entah, sejak saat itu saya semakin rakus membaca, entah itu puisi, novel, cerpen, artikel, dan berbagai jenis bacaan lain. Dan sejak saat itu saya seperti punya “passion” besar agar bisa menulis. Namun, lantaran minimnya media saat itu, saya hanya menulis apa yang melintas di kepala dan akhirnya masuk ke laci. Nah, suatu ketika saya iseng-iseng mengirim puisi ke sebuah Radio Pemda setempat yang membuka ruang sastra. Tanpa saya duga, ternyata puisi saya dibacakan secara ekspresif oleh penyiar radio. Jujur saja, saya sangat bangga saat itu.

Bisa ceritakan sedikit tentang masa-masa sekolah atau kuliah bapak dulu yang mungkin berkaitan dengan salah satu alasan untuk menulis?
Gairah saya agar bisa menulis ternyata tak pernah mati. Selepas SPG saya melanjutkan belajar ke IKIP Negeri Semarang. Waktu kuliah saya banyak bergaul dengan teman-teman dan kakak angkatan yang lebih dulu eksis menulis. Saya banyak belajar dan menimba pengalaman dari mereka bagaimana agar tulisan saya bisa dimuat di media cetak yang saat itu sangat bergengsi bagi anak kuliahan. Dan alhamdulillah, cerpen saya “Santhet” dimuat di sebuah koran sore sekitar tahun 1987. Dimuatnya cerpen itu membuat “adrenalin” saya dalam menulis semakin terpacu hingga akhirnya tulisan-tulisan saya berikutnya berhasil dimuat di koran lokal. Tak hanya cerpen, tetapi juga artikel, esai sastra, dan beberapa liputan budaya. Honor menulis saya gunakan untuk membeli mesin ketik butut agar saya bisa terus menulis tanpa harus pinjam mesin ketik milik teman. Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa menulis ternyata bisa juga mendatangkan uang untuk menutup kebutuhan anak kuliahan tanpa harus bergantung sepenuhnya pada orang tua.

Menurut bapak mengapa sampai saat ini masih banyak guru yang kesulitan untuk menulis?
Persoalan sebenarnya bukan sulit atau mudah, mampu atau tidak mampu, melainkan mau menulis atau tidak. Saya kira guru memiliki bekal yang cukup untuk bisa menulis. Mereka pernah menulis skripsi, bahkan tesis. Ini artinya, tidak ada alasan bagi seorang guru untuk tidak bisa menulis. Persoalan substansinya terletak pada upaya untuk menciptakan passion dan atmosfer dalam menulis. Guru yang memiliki hasrat untuk menulis, menurut saya, perlu menciptakan gairah dan atmosfer kepenulisan yang kuat dari dalam dirinya. Buktinya, banyak rekan sejawat yang sukses menjadi penulis karena keberhasilan mereka dalam memotivasi dirinya sendiri dalam menulis.

Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah agar guru mampu menulis?
Menulis sebenarnya wilayah privat. Aktivitas menulis lebih banyak terkait dengan gairah seseorang untuk bereksistensi diri. Meminjam bahasa Abraham Maslow, menulis termasuk tingkat kebutuhan seseorang untuk beraktualisasi diri. Ini artinya, aktivitas menulis sepenuhnya menjadi hak privat seseorang untuk bereksistensi dan beraktualisasi diri. Kalau toh pemerintah harus turun tangan, peran mereka adalah memberdayakan kemampuan guru agar benar-benar eksis menulis, untuk selanjutnya memberikan ruang dan media bagi guru untuk menulis, serta memberikan reward yang layak bagi guru yang tulisan-tulisannya memiliki kontribusi besar dalam memajukan dunia pendidikan. Jika situasi seperti ini dibangun dengan amat sadar oleh pemerintah, saya kira akan makin banyak guru yang berbondong-bondong untuk aktif menulis.

Apa yang sebaiknya dilakukan organisasi profesi seperti PGRI agar guru mampu menulis?
Saya tidak tahu persis apakah dalam kepengurusan PGRI ada divisi kepenulisan buat guru atau tidak karena saya memang bukan pengurus PGRI. Sepanjang yang saya tahu kiprah PGRI sebagai organisasi profesi bukan pada ranah menulis, melainkan memperjuangkan hak-hak guru agar guru menjadi profesi yang bermartabat dan dimuliakan. Idealnya, memang perlu ada organisasi profesi yang khusus bergerak dalam ranah kepenulisan. Dulu, saya pernah begitu bersemangat untuk membesarkan Agupena (Asosiasi Guru Penulis Indonesia). Namun, lantaran hingga saat ini belum memiliki akte pendirian yang diakui keberadaannya (mohon maaf kalau penafsiran saya keliru), secara perlahan semangat dan gairah saya di Agupena juga menyurut. Legalitas sebuah organisasi profesi guru menjadi amat penting karena berkaitan dengan posisi tawar organisasi yang bersangkutan di tengah dinamika dunia pendidikan yang kian rumit dan kompleks.

Apa yang sebaiknya dilakukan guru sendiri agar mampu menulis?
Sekali lagi, saya ingin menyatakan bahwa guru sudah memiliki modal yang lebih dari cukup untuk mampu menulis. Yang diperlukan adalah bagaimana mengasah kemampuan menulis itu agar benar-benar menjadi sebuah tradisi baru di kalangan rekan sejawat. Perbanyak membaca, pelajari gaya tulisan para penulis idola, untuk selanjutnya menulis, menulis, dan menulis. Itu saja!

Menurut bapak apa yang menjadi kelebihan dari seorang guru yang suka menulis?
Saya kira menulis menjadi salah satu aktivitas yang paling tepat dilakukan oleh seorang guru di tengah dinamika pendidikan yang kian kompleks. Melalui aktivitas menulis, seorang guru bisa membangun opini publik hingga akhirnya mampu mendorong semua elemen bangsa untuk peduli terhadap dunia pendidikan secara kolektif. Guru yang aktif menulis juga mampu memberikan inspirasi bagi banyak orang dalam mencerdaskan dirinya. Dari sisi ini, jelas bahwa guru yang suka menulis, selain dikenal banyak orang, juga memiliki posisi tawar yang cukup baik di tengah-tengah kehidupan sosial.

Bagaimana tanggapan bapak tentang Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, di mana salah satunya pengembangan profesi dalam bentuk publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif untuk guru PNS sudah harus dilakukan oleh para guru yang akan naik ke golongan III c (pasal 17 ayat 2). Semula, ketentuan ini hanya berlaku bagi para guru yang akan naik ke golonganl IVb dan seterusnya?
Jujur saja, bukan hal yang mudah untuk mendorong guru agar mau menulis, meskipun sejatinya mereka mampu menulis. Kalau hanya sekadar imbauan, agaknya guru akan makin “tiarap” untuk menulis. Salah satu cara agar guru mau menulis ya “dipaksa” melalui regulasi yang jelas payung hukumnya. Keluarnya Peraturan Menteri ini, saya pikir, merupakan salah satu upaya pemerintah untuk “memaksa” guru agar mau menulis. Saya sangat yakin, sebenarnya guru sudah memiliki bekal kemampuan menulis. Persoalannya bukan mampu atau tidak, melainkan mau atau tidak. Melalui peraturan ini, mau atau tidak, suka atau tidak, guru harus menulis jika berhasrat ingin meningkatkan jenjang kariernya. Kecuali kalau sudah merasa puas dengan pangkat dan golongan yang sudah dimilikinya. Namun, sejatinya, ada atau tidak ada peraturan itu, idealnya seorang guru sudah menjadikan aktivitas menulis sebagai salah satu kebutuhan untuk meng-upgrade kemampuan dirinya. Menulis itu sebuah aksi. Di dalamnya ada pergulatan pemikiran, gagasan, imajinasi, dan kepekaan, yang amat dibutuhkan seorang guru dalam menjalankan profesinya di tengah dinamika peradaban yang kian rumit dan kompleks. Kalau guru hanya berkutat di balik tembok ruang kelas, tanpa ada upaya serius dari dalam dirinya untuk berperan-serta dalam membangun opini publik, disadari atau tidak, dunia pendidikan kita akan makin stagnan, karena para praktisi pendidikan yang bersentuhan langsung dengan peserta didik, abai terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang sesungguhnya amat penting dan urgen untuk dicarikan solusinya. Dengan menulis, guru mampu memosisikan dirinya sebagai kekuatan yang kian diperhitungkan, sehingga mampu memberikan kontribusi nyata terhadap dinamika dunia pendidikan yang mencerahkan dan mencerdaskan.

Sebagian guru menyatakan tidak setuju dengan Permenpan dan RB Nomor 16 Tahun 2009 terutama guru harus meneliti padahal tupoksi guru bukan meneliti seperti dosen. Bagaimana komentar bapak?
Itu hak guru juga untuk menyatakan ketidaksetujuannya. Namun, peraturan tetaplah sebuah peraturan yang mesti diikuti. Guru tidak cukup hanya berteriak-teriak menolaknya. Lebih baik energinya dimanfaatkan untuk “jemput bola”. Kata orang, lebih baik menyalakan lilin ketimbang terus mengumpat di tengah kegelapan. Alasan itu seharusnya dibalik: apa hanya dosen yang boleh meneliti? Guru pun berhak untuk meneliti, apalagi bekal itu sudah mereka dapatkan ketika menyusun skripsi atau tesis. Ini artinya, tidak ada alasan logis bagi guru untuk menolak menjadi peneliti. Toh bahan penelitian sudah berada di depan mata setiap kali guru mengajar di kelas. Dari sinilah kreativitas dan inovasi guru dalam mendesain dan mengimplementasikan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan diuji. Melalui penelitian, guru bisa menunjukkan temuan-temuan kreatif dan inovatifnya dalam aktivitas pembelajaran sehari-hari.

Profil Bapak Sawali di Harian Koran Sindo Jateng

Prestasi bapak di bidang kepenulisan sudah begitu banyak, termasuk yang bapak share di www.sawali.info, apa gerangan tips bapak untuk bisa tetap produktif menghasilkan tulisan?
Sebenarnya prestasi kepenulisan saya biasa-biasa saja. Masih banyak rekan sejawat lain yang memiliki prestasi yang jauh lebih hebat dan luar biasa. Yang pasti untuk bisa tetap produktif menulis, menurut saya, guru mesti memiliki blog. Melalui blog, seorang guru mampu mengabadikan berbagai opini pribadinya kepada publik setiap saat; kapan pun dia mau. Blog bisa menjadi semacam laboratorium virtual yang akan merekam gagasan dan pemikiran seorang guru yang amat penting dan berharga bagi kemajuan dunia pendidikan. Mengandalkan media cetak untuk menyebarluaskan tulisan seorang guru seringkali dibatasi oleh berbagai kebijakan redaksi yang seringkali menggagalkan niat dan semangat guru untuk produktif menulis. Selain itu, membaca berbagai informasi yang terkait dengan persoalan-persoalan pendidikan, sosial, budaya, bahkan juga politik, menjadi sebuah keniscayaan. Membaca bisa menjadi salah satu sumber inspirasi bagi seorang guru untuk memacu “adrenalin”-nya dalam menulis.

Apa saran bapak untuk para guru di Indonesia?
Dalam konteks sekarang ini, guru berhadapan dengan anak-anak “digital natives”. Mereka sudah begitu akrab dengan perangkat teknologi informasi dan komunikasi. Untuk mencari dan menemukan informasi tertentu, mereka hanya tinggal memburunya di mesin pencari. Mereka juga tak hanya sekadar menjadi “penonton”, tetapi juga “pemain”. Mereka tidak hanya sekadar “pengunduh”, tetapi juga “pengunggah”. Mereka tidak hanya sekadar jadi “konsumen”, tetapi juga “produsen”. Dalam situasi demikian, guru perlu menjadi fasilitator dan mediator yang akrab dengan anak-anak. Oleh karena itu, guru jangan pernah berhenti belajar dan perlu terus-menerus meng-upgrade kompetensi dirinya agar mampu memberikan layanan terbaik dan memuaskan buat anak-anak yang haus ilmu pengetahuan dan begitu besar rasa ingin tahunya. Jangan sampai terjadi “naluri” anak yang haus ilmu dan besar rasa ingin tahunya itu “dibunuh” hanya lantaran sang guru sendiri “tidak siap” menerima pertanyaan-pertanyaan yang seringkali muncul secara tak terduga. Jangan sampai terjadi, peserta didik sudah melaju mulus di atas jalan tol keilmuan, sementara sang guru sendiri masih bersikutat di balik semak-semak. ***

Tulisan lain yang berkaitan:

imgKepsek yang Rajin Ngeblog Raup Ratusan Juta (Saturday, 29 November 2014, 695 views, 3 respon) Oleh : Deni Kurniawan As’ari Humas ISPI Dedi Dwitagama Di kalangan blogger guru, nama Dedi Dwitagama sudah tidak asing.  Beliau seorang kepala...
imgEWA, Sang Dosen yang Produktif Menulis Buku (Sunday, 31 August 2014, 1,067 views, 3 respon) Oleh : Deni Kurniawan As’ari (Redaksi web dan humas ISPI) Ersis Warmansyah Abbas Redaksi ISPI kembali menurunkan profil sarjana pendidikan...
imgEko Hastuti, Sarjana Pendidikan yang Aktif Mengelola Perpustakaan Srikandi (Thursday, 17 April 2014, 1,201 views, 14 respon) Oleh : Deni Kurniawan As’ari Redaksi web ISPI dan Humas ISPI Eko Hastuti Redaksi web ISPI kembali menurunkan profil sarjana pendidikan yang...
imgDyah Budiarsih : Pengawas Jangan Hanya Sebagai Penonton (Monday, 17 February 2014, 2,400 views, 11 respon) Oleh : Deni Kurniawan As’ari Redaksi web ISPI dan Humas ISPI Atas : Dyah Budiarsih saat menerima piagam penghargaan juara 1 Pengawas...
Tulisan berjudul "Menjadi Guru Inspiratif, Tekad dari Sawali Tuhusetya" dipublikasikan oleh Admin ISPI (Monday, 3 February 2014 (20:55)) pada kategori Kegiatan, Media, Sosok, Wawancara. Anda bisa mengikuti respon terhadap tulisan ini melalui feed komentar RSS 2.0.
Anda juga bisa memublikasikan tulisan ini melalui jejaring sosial/web berikut:
FacebookTwitterStumbleDigg itRedditTechnoratiBlinklist
DesignfloatDiigoMixxMeneameFurlMagnolia

1 Response to "Menjadi Guru Inspiratif, Tekad dari Sawali Tuhusetya"

    Trackbacks

    Check out what others are saying about this post...
    1. […] (Beberapa waktu yang lalu, redaksi web ispi.or.id (melalui Pak Deni Kurniawan Asy’ari) menyodorkan beberapa pertanyaan kepada saya melalui email. Hasil wawancara tersebut akan dimuat di web ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia). Lagi-lagi, saya tak kuasa menolaknya. Berikut hasil wawancara selengkapnya yang sudah dipublikasikan di sini) […]



    Komentar Anda?

    «
    »