Aku “Mejaba”
Friday, 13 June 2014 (08:31) | 714 views | Print this Article
Cerpen karya : Wiska Adelia Putri
Lahir di Tanjungpinang, 8 Maret 2002. Saat ini duduk di kelas VII SMP – IT Al Madinah Kota Tanjungpinang. Cerpen ini meraih juara II pada Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Tingkat SMP tingkat Nasional di Semarang, Juni 2014
Matahari tampak sejajar dengan kepala. Menghadirkan sinar yang tampak sangat terik pada siang ini. “Tittottitto” bunyi kendaraan beradu padu menghadirkan irama tak sedap didengar. Keseharian ini bak jadwal yang tak pernah dilewatkan bagiku, kecuali hari Minggu. Namun, aku sangat senang melewati rutinitas ini. Rutinitas yang kelaknya akan mengantarkanku ke jembatan ilmu dan masa depan yang cerah.
Aku dan keluarga memang belum berapa lama tinggal di kota Padang ini. Romoku yang bertugas sebagai Angkatan Darat membuat keluarga kami sering berpindah-pindah. Aku melangkahkan kakiku dengan riang menuju rumah. Kebetulan letak rumah dan sekolahku tidak begitu jauh sehingga dengan mudah aku bisa berjalan kaki walaupun panas terasa sangat menyengat. Kakiku semakin cepat melaju seiring dengan bunyi perutku yang semakin menggeliat menahan lapar.
“Assalamualaikum, Mak.”
“Walaikumussalam,” jawab Romo yang ternyata sudah pulang.
“Saya kira Romo belum pulang. Emak kemana Romo?” tanyaku pada Romo yang masih mengenakan pakaian tentaranya. Terlihat gagah dan berwibawa.
“Ada di dapur. Ayolah kita ganti baju dulu. Emakmu sudah menunggu kita dengan masakan enaknya. Lapar kan?”
“Jangan ditanya lagi Romo. Sangat lapar,” kataku sambil memegang perut.
Di dapur emakku sudah menunggu dengan bermacam masakan yang terhidang di meja. Ada gudeg, tempe, dan tahu bacem kesukaan romoku. Ada masak lemak ikan tenggiri kesukaan emakku. Ada ayam goreng bumbu kesukaan adikku. Dan em… hidungku menghirup segar daun kesum yang bercampur dengan kuah lakse kesukaanku. Makanan khas Melayu yang sangat kami senangi sekeluarga. Aneka makanan seperti ini sudah biasa terhidang di meja. Maklumlah, emakku asli suku Melayu dan Romoku dari suku Jawa tepatnya dari Yogyakarta. Sedangkan satu-satunya nenekku dari Romo yang masih hidup masih memiliki sedikit keturunan Batak. Wah, lengkaplah. Kadang aku bingung juga kalau ditanya suku apa. Mau dikatakan suku Jawa nanti emak kecil hati dan mau disebut suku Melayu nanti aku pula yang tak enak sama Romo yang suku Jawa. Aku inikan anak mereka. Makanya kalau ditanya aku selalu mengatakan aku ini anak Indonesia. Sebenarnya baik emak maupun Romo tidak pernah mempersoalkan perbedaan apapun yang berkaitan dengan suku atau budaya dalam keluarga kami. Justru perbedaan itu membuat keluarga kami semakin seru. Apalagi dibidang makanan, mau manis, mau lemak, mau pedas bagiku enak semua. Gak masalah.
Biasanya kalau pulang kampung barulah keluarga kami menyesuaikan diri. Jika pulang kampung Emak di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, kami sekeluarga akan memakai baju kurung yang lengkap dan jika pulang ke Yogya maka kami akan memakai pakaian Jawa dan aku paling senang mengenakan Blankon. Romo dan Emakku memang selalu mengingatkanku dan adikku untuk melestarikan dan menghargai adat dan budaya kami yang sangat berharga.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya,” itu pesan mereka yang memang sangat melekat di hatiku. Kadang timbul juga hal kecil yang membuat emak dan romo beradu mulut kalau sedang membanggakan budaya mereka masing-masing. Romo misalnya paling bangga kalau sudah bercerita tentang blankon di daerah Jawa. Blankon yang terbuat dari kain batik dan memiliki tonjolan di bagian belakang itu menurut romo sudah terkenal di dunia dan dijadikan sauvenir bagi wisatawan lokal dan mancanegara. Bahkan di Solo ada daerah yang dinamakan “Perkampungan Blankon”.
Menurut romo, blankon melambangkan sikap orang Jawa yang selalu pandai menyimpan maksud dan tujuan sebanarnya. Dan menurutku kalau memakai blankon itu kelihatan berwibawa dan tentu saja menambah ganteng wajahku.
Lain lagi dengan emak, kalau sudah berbicara tentang pakaian emak sangat memuji pakaian baju kurung Melayu terutama baju kurung “Teluk Belanga”. Menurut emak pakai baju kurung Melayu sangat sopan dan membuat lelaki yang memakainya kelihatan begitu gagah. Sekali lagi aku percaya itu karena aku memang kelihatan sangat gagah bagaikan raja ketika memakai baju tersebut. Bahkan akupun memiliki ulos pemberian khusus dari nenekku. Kata nenekku, ulos itu melambangkan kasih sayang. Luar biasa, ternyata masing-masing adat dan budaya memiliki filosofi tersendiri. Aku bangga lahir dari campuran suku ini. Walau berbeda kami tetap saling menghargai. Sampai saat ini perbedaan yang ada dalam keluarga kami bukanlah suatu masalah.
****
Sekarang aku benar-benar bingung. Seminggu lagi di sekolah kami akan mengadakan pagelaran pakaian adat serta presentasinya. Aku harus memakai pakaian adat Jawa atau Melayu? Ketika aku menyampaikan kebingungan tersebut pada romo dan emak malah bertambah pusing karena kedua orang tuaku tersebut malah rebutan menyuruh aku memakai pakaian adat daerah asal mereka. Bahkan suatu hari ketika aku pulang sekolah aku terkejut karena emak dan romo sudah menungguku di ruang tamu. Di tangan emak telah terlipat rapi baju kurung “Teluk Belanga” berwarna kuning keemasan, lengkap dengan songket untuk dipinggang dan tanjak untuk di kepala. Sedangkan di meja terdapat baju adat Jawa yaitu kain batik dan baju sarjan serta blankon.
“Wow, bagus benar kedua baju ini. Untuk siapa?” tanyaku.
“Iya pastilah untuk anak emak yang gagah ni. Ini emak sudah belikan baju yang harus Andika pakai untuk kegiatan di sekolah nanti. Pasti Andika akan menjadi gagah bagaikan raja. Jangan lupa promosikan adat kita, adat Melayu.”
“Eit… Romo juga sudah membawakan baju khas jawa baju surjan serta blankon yang akan menunjukan benar identitas Jawanya. Andika pasti akan tampak berwibawa dengan pakaian adat Jawa ini.
“Andika itu akan lebih cocok kalau pakai baju kurung aja, Romo,” kata emak menegaskan.
“Ya, nggak bisa. Baju ini juga bagus dan mahal lho. Romo membelinya dari bahan berkualitas. Andika pantas memakai baju ini, kapan lagi Andika menunjukan perhatiannya pada adat nenek moyangnya,” kata romo tak kalah tegasnya.
“Begini sajalah Andika, untuk acara pagelaran di sekolah itu pakai saja baju kurung dari emak, nanti kalau ada acara lagi baru pakai baju adat Jawa yang dibelikan Romo itu,” usul emak.
“Lho, nggak bisa begitu. Sekarang Andika mau dengar omongan romo atau emak,” tanya romo yang semakin membuat aku tersudut. Aku melihat keemak. Emak menatapku penuh harap.
“Romo, emak, badan Andika ini cuma satu. Kegiatannyapun cuma satu. Sedangkan bajunya ada dua. Begini sajalah emak dan romo damai aja ya jangan bertengkar lagi. Andika ambil aja kedua baju ini, nanti Andika putuskan mau pakai yang mana. Ok. Setuju romo dan emak yang Andika sayangi,” kataku berusaha menenangkan emak dan romo yang kelihatan mulai tegang.
“Iya, sekarang kami serahkan sama Andika saja untuk memilih baju adat mana yang akan Andika pakai dan presentasikan untuk acara sekolah besok,” tambah romo.
“Andika masih belum bisa memutuskan, karena pakaian adat emak dan romo sama sama mantap dan mempunyai keunikan dan ciri khas tersendiri.”
“Iya juga ya, apalagi baju kurung,” kata emak.
Aku memandang ke wajah romo dan emak. Dua-duanya balas memandangku dengan mata penuh pengharapan. Aku bertambah bingung. Mereka berdua adalah orang tuaku yang sangat aku sayangi dan hormati. Aku tak ingin mereka kecewa. Selama ini aku berusaha keras menjaga kedua hati orang tuaku bagaikan menjaga bola kristal, tidak boleh tergares sedikitpun apalagi pecah. Jadi sekarang bagaimana? Baju adat Jawa atau adat Melayu yang akan ku pakai besok. Pusing tujuh keliling.
“Baiklah, sekarang keputusan ada di tangan Andika, ya, dan Andika harap apapun keputusannya nanti harap emak dan romo mau menghargainya,” kataku berusaha untuk bijaksana.
“Setuju,” jawab emak dan romo serentak.
“Baiklah, Andika ke kamar dulu ya.”
“Iya,” jawab emak dan romo bersamaan lagi.
Hari sudah semakin malam namun aku belum menentukan pilihan baju apa yang harus dipakai untuk acara besok. Apakah baju kurung? Atau baju surjan?. Aku sangat bingung dan gelisah memikirkan ini.
“Aku harus memakai baju apa ya untuk besok. Apakah pilihanku ini nantinya akan cocok denganku. Apakah tak akan membuat salah satu orang tuaku kecewa. Apa yang harus aku lakukan?” kataku sambil mondar mandir di kamar.
Kagelisahanku bisa mengalahkan kantuk. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Namun, aku masih saja bolak-balik di tempat tidur. Masih memikirkan tentang baju adat yang akan dipakai. Sampai akhirnya mataku tak bisa lagi menahan kantuk. Tiba-tiba terlintas dibenakku baju mana yang akan aku pakai. Aku memukul pelan jidatku. Aku yakin pilihanku akan sangat tepat. Sambil tersenyum puas akupun tertidur.
***
Matahari mulai tampak memancarkan sinarnya. Malam gulita telah berubah menjadi pagi menyejukkan. Hari ini adalah hari yang sangat spesial buatku. Karena aku sudah menemukan baju apa yang harus kupakai dan itu sangat istimewa. Aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi dan langsung cepat- cepat mandi. Aku tak sabar memperlihatkan baju pilihanku pada emak dan romo. Aku bercermin dengan puas dan tersenyum lega. Aku yakin pilihanku ini benar-benar jenius. Setelah yakin sempurna akupun keluar kamar. Aku yakin emak dan romo pasti sudah menunggu dengann dada berdebar.
“Bagaimana Mak, Romo, apakah baju ini cocok untukku,” kataku sambil memperlihatkan pesonaku memakai baju pilihanku. Seketika kulihat mulut emak dan romo terbuka. Mereka pasti terpesona dengan pilihannya. Tiba-tiba romoku tertawa sambil mengacungkan jempol.
“Ini sangat bagus dan cocok untukmu. Pintar sekali kamu menentukan pilihan,” ujar romo.
“Apakah Andika yakin dengan pilihanmu ini, Nak?” tanya emak dengan tersenyum simpul.
“Sangat yakin,” jawabku tersenyum lebar. Aku lega karena pilihanku ini dapat menghadirkan senyum di wajah kedua orang tuaku, tidak seperti semalam yang agak tegang.
“Bagus dan sangat tepat kok pilihan anak kita. Semoga presentasinya sukses ya.,” kata romo yang tampaknya mendukungku.
Setelah mencium tangan emak dan romo akupun melangkah ke sekolah dengan riang. Sepanjang jalan orang-orang memandangku dengan takjub. Akupun seakan menebar pesona. Bahkan ketika sampai di sekolahpun rata-rata mata tertuju padaku.
“Bagus benar bajumu, idemu berilyan. Pasti orang tuamu bangga karena anaknya ini dapat melestarikan pakaian adatnya dengan sempurna. Apa nama baju adatmu ini?” tanya Edo sahabatku sambil meninju pelan bahuku. Sahabatku ini tahu benar permasalahanku saat ini.
“Mejaba,” jawabku singkat.
“Hah, apa itu. Kok asing di telingaku,” tanya Edo penasaran. Belum sempat aku menjelaskan terdengar suara panitia OSIS memanggil kami untuk cabut undi karena kegiatan akan segera dimulai. Tidak lama kemudian acarapun dimulai. Aku mendapatkan nomor undian ke-10. Aku sudah tak sabar untuk tampil dan memperentasikan pakaianku.
“Baiklah beri tepukan yang meriah untuk peserta nomor 9 yang sudah mempresentasikan pakai adatnya dari Irian Jaya yaitu…… Sekarang kita panggil urutan nomor 10. Beri tepukan yang meriah.” Teriak pembawa acara menggugah pendengaranku. Dengan mantap aku melangkah ke panggung. Tiba-tiba kurasakan suana hening. Semua mata tertuju padaku. Rasa penasaran jelas terlihat diwajah mereka. Begitu juga dengan guru-guruku. Mereka tampak heran dengan penampilanku. Sesampai di panggung aku berjalan penuh percaya diri bagaikan pragawan profesional. Setelah itu dengan tenang aku memulai presentasiku tentang pakaian adatku.
“Perkenalkan, baju yang saya kenakan ini namanya baju kurung “Teluk Belanga.” Dan biasanya bajur kurung ini pasangannya adalah tanjak atau songkok di kepala dan kain songket di pinggang. Tetapi kali ini aku memadukannya sesuai dengan adat budaya yang mengalir dalam tubuhku. Jadi aku memakai baju kurung karena emakku orang Melayu dan memakai blankon di kepala sebagai pengganti tanjak karena romoku orang Jawa dan aku memakai ulos di pinggang sebagai pengganti kain songket karena nenekku adalah keturunan Batak. Aku “Mejaba” alias Melayu Jawa Batak. Bagiku budaya adalah harta yang tak ternilai harganya. Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk menjaga dan melestarikannya. Semua keragaman dan perbedaan jangan sampai dijadikan permasalahan tetapi jadikan sebuah keindahan, kekuatan, dan kekayaan. Sekali lagi perkenalkan inilah aku, “Mejaba”. Terimakasih.” Aku mengakhiri presentasiku sambil membungkukkan badan. Tepuk tangan meriah terdengar begitu membahana. Aku merasa begitu bangga. Dan kebanggaan yang paling terdalam bagiku adalah karena aku sudah dapat dengan baik melestarikan adat budayaku dengan segala keberagamannya dan yang terpenting aku tidak membuat kedua hati orang tuaku terluka sedikitpun. Aku bangga, akulah ‘Mejaba”.
Tulisan lain yang berkaitan:




