Guru Nirleka, Apa Kata Dunia?
Thursday, 6 November 2014 (11:06) | 344 views | Print this Article
Oleh : Heni Purwono
Guru SMAN 1 Sigaluh, Banjarnegara, Juara Lomba Best Practice Guru Tingkat Nasional

Heni Purwono
Bagi sejarahwan dan khususnya bagi guru sejarah, tentu mengenal betul salah satu pembabagain sejarah yang bernama Nirleka. Zaman Nirleka disebutkan sebagai zaman ketika manusia belum mengenal tulisan. Berasal dari suku kata nir yang bermakna tidak ada, dan leka yang berarti tulisan. Zaman tersebut ditandai dengan kehidupan yang masih primitif, dan aneka ciri lain yang menunjukan bahwa kehidupan masa Nirleka jauh dari yang namanya kehidupan ilmiah. Hampir semuanya kehidupan disetir oleh naluri saja.
Di Indonesia, kebanyakan sejarahwan sepakat bahwa zaman Nirleka telah berakhir pada abad kelima, ketika ditemukan bukti tulisan di atas sebuah Yupa di Kutai, Kalimantan Timur. Penemuan ini menunjukan bukti bahwa pada abad itu sudah ada sebuah karya tulis dari anak manusia Indonesia. Namun sadarkah kita bahwa jika pembabagan zaman Nirleka dengan pokok penekanan masa sebelum mengenal tulisan, maka ternyata sampai saat ini, kita kebanyakan, bahkan guru sejarah yang senantiasa mengajarkan materi zaman Nirleka, sesungguhnya masih hidup di zaman Nirleka?
Ya, guru tanpa menuliskan sesuatu sebagai bukti keberadaan diri dan pemikiran, tentu sama halnya secara sederhana kita sebut sebagai guru zaman Nirleka. Karena jika kita amati bersama, hasil karya tulisan itulah yang dijadikan sebagai dasar rujukan atau bukti bahwa zaman Nirleka telah berakhir. Jika saat ini guru-guru sepanjang hayatnya tidak menghasilkan karya berupa tulisan yang dapat diwariskan sebagai hasil perasan otaknya, bukankah sama saja sang guru tersebut adalah produk guru zaman Nirleka?
Nampaknya memang kesimpulan seperti ini terlalu ekstrim, namun sebagai pancingan awal bahwa menulis sebagai sebuah puncak aktivitas intelektual dan kebudayaan manusia, tak hanya guru, maka rasanya sangat tepat jika analogi guru zaman Nirleka ini saya ungkap sebagai kritik dari dalam bagi kita sendiri, para guru.
Menara Gading yang Tak Retak
Kejadian guru zaman Nirleka sesungguhnya bukanlah salah guru sebagai pribadi semata. Namun, ini merupakan sebuah lingkaran setan, atau lebih tepatnya “kecelakaan karambol” yang sudah dimulai ketika si guru menimba ilmu di kampusnya. Simaklah para akademisi tinggi (baca: dosen) bergelar professor ataupun doktor, yang saat ini mendapat label “menara gading”. Hal itu tentunya terkait dengan keilmuan mereka yang seringkali tidak aplikatif dengan kehidupan nyata dalam masyarakat. Padahal, paling tidak mereka sudah menelorkan gagasan melalui karya formal mereka dalam tulisan-tulisan ilmiah sebagai prasyarat mendapat gelar akademis mereka.
Nah, bagi kita guru di tingkat sekolah dasar dan menengah, tentunya menjadi kecelakaan besar, bukan saja hanya patut dijuluki menjadi “menara gading”, namun juga “menara gading yang tak retak”. Ya, menara gading yang sempurna tanpa karya. Meski karya dalam hal ini tidak melulu harus diukur dari karya berupa tulisan, tapi paling tidak itulah karya kasat mata yang dapat menunjukan keberadaan kita.
Sering kali guru-guru (produk) lama, ketika kuliah, hanya dibekali dan membekali diri dengan kemampuan mengajar semata. Bahkan karya skripsi sebagai semacam paksaan bagi para calon guru untuk menghasilkan sebuah karya tulis, juga baru beberapa tahun belakangan diterapkan. Sehingga tak aneh jika ada seorang guru yang seumur hidupnya tidak pernah menghasilkan sebuah karya tulis satu pun, kecuali goresan kapur di papan tulis yang tiap hari di hapusnya. Ini tentunya berlaku bagi guru produk lama yang memang kebijakan saat itu belum mewajibkan karya skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan di LPTK.
Bagi guru produk baru pun, yang skripsi merupakan sebuah tugas yang fardhu ain, banyak juga yang menghasilkan karya skripsi sebagai syarat kelulusan sekadar formalitas belaka. Sehingga, jika kita amati tidaklah mengherankan jika banyak saat ini jasa pembuatan skripsi. Hal itu membuktikan betapa tingginya penyakit kemalasan menulis di satu sisi, dan betapa rendahnya kemampuan menulis mahasiswa kita di sisi lainnya.
Makin diperparah kondisi pendidikan tinggi bagi calon guru ini, ketika dosen yang mengajar para calon guru adalah mereka-mereka yang juga tidak memberi keteladanan terhadap budaya kepenulisan. Ini terbukti dengan referensi dosen yang ketika mengajar senantiasa menggunakan buku bukan karangan sendiri. Dan kacaunya lagi, dosen-dosen kita sering kali juga menciptakan kesan bahwa menulis itu memang sulit, dengan menyatakan berbagai macam aturan ilmiah yang menggunakan aturan secara konvensional pada kelompok tertentu sebagaimana karya ilmiah (Gillet, 2003, dalam Yunita dkk. 2007) yang pada akhirnya memenjara dan menakut-nakuti para calon guru untuk mulai menulis.
Para dosen dari para calon guru yang seharusnya memberikan keteladanan, justru mereka yang membunuh keinginan para calon guru untuk menulis. Jarang dari para dosen kita yang memperkenalkan bentuk tulisan popular yang lebih luwes, sebagai sarana latihan bagi para calon guru sebelum mereka menghasilkan karya tulis ilmiah yang lebih terikat. Pada akhirnya guru-guru yang dihasilkan pun menjadi guru yang terbiasa dengan verbalistik semata, terbiasa menjadi pembaca, dan terbiasa menjadi penonton ilmu tentunya, tanpa pernah berkontribusi menuangkan gagasannya dalam tulisan.
Berkah Akhirat, Berkah Dunia
Padahal jika para guru mau berkarya dengan tulisan, apa yang diyakini oleh dogma agama bahwa ilmu yang bermanfaat menjadi sebuah pahala yang terus mengalir meski kita telah tiada, bukankah akan lebih langgeng ilmu-ilmu bermanfaat tersebut jika kita tuliskan dan menjadi warisan di masa yang akan datang? Bukankah jika kita telah tiada maka karya kitalah yang akan menjadikan kita akan tetap diingat orang? Bandingkan jika kita hanya mengandalkan verbalistik semata kita mengajar. Tentu hanya dari getok tular (dari mulut ke mulut) saja ilmu kita yang akan diserap orang lain selain siswa yang ada di dalam kelas kita. Berbeda tentunya ketika kita menghasilkan karya tulis, di media atau buku misalnya, maka kelanggengan dan aksesibelitas ilmu kita tentunya akan diserap oleh lebih banyak orang yang membacanya, tak terbatas dalam ruang kelas yang guru ampu.
Jika para guru ingin tak hanya berkah akhirat (pahala) namun juga berkah dunia (menjadi kaya) dengan menulis, itu pun hal yang sangat mungkin dilakukan dengan jalan menulis. Dapat dibayangkan, untuk tulisan di media masa semacam Kompas misalnya, honor yang didapatkan sekali tulisan dimuat dapat mencapai nilai setara dengan gaji satu bulan guru kontrak atau Guru Tidak Tetap di sekolah swasta nonbonafid. Jika menulis di Suara Guru Suara Merdeka, maka cukuplah sekali muat dapat untuk membeli dua buah buku. Dan jika menulis di Wawasan yang honornya relatif paling kecil, paling tidak bagi Anda guru yang ibu-ibu, maka akan cukup untuk sekadar membeli susu untuk ankanya. Namun tentunya persaingan di media masa ini cukup berat, mengingat tak hanya guru saja yang mengirimkan tulisan ke media masa.
Akan lebih mudah lagi sebenarnya, jika Anda terjun menjadi penulis buku teks pelajaran. Meski besaran royalti hanya berkisar 3-5 persen, tetapi ketika dinominalkan bisa menembus angka jutaan rupiah. Hal ini wajar mengingat pasar dan cakupannya demikian luas dibandingkan jika Anda menulis buku umum. Contoh sederhananya, jika Anda menulis satu saja buku pelajaran matematika untuk SMA kelas 10 semester gasal. Di kota Semarang saja, ada tidak kurang dari 79 SMA, baik negeri maupun swasta. Jika tiap sekolah kita ambil jumlah minimal siswa kelas satu adalah 300 siswa saja, maka total ada 23.700 siswa. Jumlah itu dapat dikatakan adalah jumlah eksemplar buku yang bakal terjual. Itu baru kelas satu di kota Semarang. Belum kota-kota lain. Belum propinsi lain. Dan yang terpenting: 99,9 persen, buku pasti laku. Terlebih jika Anda sudah memiliki jaringan distribusi yang luas, maka tinggal menunggu saja rupiah mengalir ke kantong Anda (Agus M Irkham, 2008).
Jurnalisme Warga, Wadah Latihan Penulis Pemula
Jika para penulis pemula, utamanya guru ingin belajar menulis di media masa, sebenarnya tak ada lagi alasan tidak ada wadah media penampung. Saat ini salah satu wadah yang cukup efektif sebagai wahana latihan menulis adalah jurnalistik warga atau yang dikenal sebagai citizen journalism. Lebih-lebih dengan tren jurnalisme pembangunan intelektual dewasa ini, menjadikan warga masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan pemahaman melalui partisipasi aktif dalam konteks sosial (Hikmat Kusumaningrat, 2006).
Jurnalisme warga dalam bentuk tulisan, dengan aneka konfergensinya, entah dalam media cetak (opini, surat pembaca, SMS warga) maupun media elektronik seperti internet, bagi seorang guru seharusnya menjadi wadah yang dapat dimanfaatkan untuk melatih diri membuat tulisan. Hal ini penting, selain untuk menyebarluaskan pengetahuan, agar tidak hanya pengetahuan kita berada di bangku-bangku kelas, juga sebagai wahana membiasakan diri menulis untuk kalangan umum.
Semakin sering menuliskan pemikiran dalam media, maka akan semakin sering pengetahuan kita yang dibaca orang lain. Dan biasanya, hal tersebut akan semakin “memaksa” kita untuk terus menerus memperbarui pengetahuan yang kita miliki. Terlebih jika tulisan kita di media internet yang dapat juga dikomentari langsung oleh para pembaca melalui kolom komentar, akan semakin menjadikan kita tahu di mana titik kelemahan tulisan kita, dengan bersumber dari komentar pembaca yang ada. Tak jarang seorang penulis kenamaan di media bahkan mengawali karier kepenulisannya mulai dari hal-hal yang kelihatannya sepele seperti surat pembaca, kemudian berkembang menjadi penulis opini maupun artikel yang hebat. Karena bagaimanapun menulis dengan ”nafas panjang” seperti opini maupun artikel lain, tentunya butuh latihan kebiasaan pemilihan kata, tabungan kekayaan kata, dan juga kelihaian merangkai kata agar tulisan menjadi lebih jelas, runtut, dan mudah dipahami maksudnya.
Tak hanya media masa yang publikasinya luas, bahkan semisal majalah internal sekolah ataupun majalah dinding (Mading) di sekolah kita pun dapat menjadi wahana yang efektif untuk latihan kita menulis. Sangat sayang jika media-media tersebut nganggur tidak kita berdayakan. Selain kita menuangkan gagasan dan pemikiran, tulisan kita yang dipublikasikan di sekitar lingkungan kita, tentunya juga akan menjadikan kita secara tidak langsung memberi keteladanan kepada murid-murid untuk gemar menulis. Jangan sampai kita layaknya korban perpeloncoan di kampus, yang melakukan balas dendam terhadap murid-murid kita karena kita dulu tidak pernah diajari menulis oleh para dosen kita. Semangat bahwa guru bermakna “di gugu” dan “di tiru” (dipercaya dan dicontoh) harus kita pegang, bahwa kita akan memberi contoh gemar menulis kepada siswa.
Berani menulis? Berani!
Setelah media latihan menulis ada, sering kali pertanyaan yang muncul di benak kita belakangan adalah: kita akan menulis apa? Ataupun: apakah saya bisa menulis? Dan aneka pertanyaan lain yang menunjukan ketidak percayaan diri. Bagi seorang penulis pemula, ada baiknya mendalami kata-kata yang di ungkapkan oleh W.S Rendra (dalam M Agus Irham, 2008) ini:
“Penulis harus secukupnya saja menyesali kegagalan atau mensyukuri kesuksesan. Ia tidak boleh terjerat oleh sukses atau kegagalan karyanya. Kegemaran berkokok atas suatu sukses atau menangis pilu karena suatu kegagalan akan menyebabkan ia kerdil. Pikiran dan jiwa tak lagi merdeka tanpa beban, sehingga kemurnian jiwa sukar lagi didapatkan. Pada hakikatnya, seorang penulis harus memahami bahwa nama itu kosong dan ketenaran itu hampa, hanya jalan hidup yang nyata”.
Ungkapan Rendra nan puitis tersebut kiranya tak hanya harus dipegang penulis pemula, namun juga mereka-mereka yang telah terbiasa menulis. Karena bagaimanapun, bukan tidak mungkin seorang penulis pemula langsung melesat ke angkasa (Andrea Hirata sedang mengalaminya), namun di sisi lain ada kalanya juga penulis yang terbiasa menulis dalam suatu saat justru mengalami kebuntuan ide dan tak mampu menggoreskan lagi penanya (Ahmad Tohari pernah mengalaminya). Sehingga dapat dikatakan bahwa cara terbaik adalah senantisa belajar, belajar, dan belajar. Utamanya bagi pemula, maka cara terbaik untuk belajar menulis adalah menulis! Dan untuk itu, tak ada hal lain selain berani untuk memulai menulis!
Jika keberanian menulis telah ada, maka hal berikutnya tinggal memoles agar tulisan kita menjadi lebih baik. Tulisan yang baik dan berbobot biasanya akan datang dari ketekunan kita menggali bahan tulisan. Setelah ada bahan dan ide, maka yang diperlukan selanjutnya adalah kepiawaian atau kemahiran kita menulis. Kepiawaian menulis tersebut meliputi pemilihan topik, enggel, dan struktur tulisan yang tepat. Hal lain yang patut diperhatikan adalah tepat memilih dan menempatkan sifat tulisan, seperti tulisan untuk advokasi, partisipasi, investigasi, manusiawi, humor, dan lain sebagainya tentu saja berbeda sifatnya. Dan yang tak kalah penting adalah kemahiran berbahasa tulis, yaitu menggunakan bahasa bukan seperti bahasa lisan, bahasa SMS, bahasa gaul, dan sebagainya (Tonny Widyastono, 2008).
Karena tulisan kita ditujukan untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri, maka tulisan kita harus mudah dimengerti. Hal paling efektif yang dapat kita lakukan sebelum kita mempublikasikan tulisan kita agar mengetahui apakah tulisan kita sudah mudah dipahami oleh orang lain atau belum, maka perlu kita baca kembali isi seluruh tulisan dan kemudian kita renungkan dan kita koreksi. Selain itu kita juga dapat meminta kepada orang lain untuk mengkoreksi tulisan kita. Nah, diusahakan orang kita pilih untuk menguji kepahaman pembaca mengenai tulisan kita adalah orang yang paling (maaf) bodoh disekitar kita. Jika orang seperti itu sudah paham dengan maksud tulisan kita, maka sangat mungkin bahwa tulisan kita akan mudah difahami oleh orang lain.
Kini aneka media baik cetak maupun elektronik telah tersedia di sekitar kita sebagai wahana penyaluran intelektualitas melalui tulisan. Buku tentang ketrampilan kepenulisan sebagai bahan pembelajaran juga tak terhitung lagi jumlahnya. So, jika kita sebagai guru masih saja terbelenggu dalam masa Nirleka, apa kata dunia?
***
Rujukan Tulisan:
Irkham, Agus M. 2008. Best Seller Sejak Cetakan Pertama. Surakarta: Afra Publishing.
Winarto, Yunita T. 2007. Karya Tulis Ilmiah Sosial: Menyiapkan, Menulis, dan Mencermatinya. Jakarta: Yayasan Ombak Indonesia.
Kusumaningrat, Hikmat dan Kusumaningrat, Purnama. 2006. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Jakarta. PT Remaja Rosdakarya.
Widyastono, Tonny. 2008. Menulis Artikel (Materi Pelatihan Penulisan Harian Umum Kompas). Semarang: Tidak diterbitkan.
Tulisan lain yang berkaitan:
