Oleh : Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd.
Guru Besar Ilmu Pendidikan bidang Bimbingan dan Konseling, Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua Umum ISPI dan Rektor UPI periode 2005-2010 dan 2010-2015
Orasi Ilmiah, disampaikan pada acara Dies Natalis ke 60 Universitas Pendidikan Indonesia, 20 Oktober 2016
Pengantar
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) merupakan sebuah sistem, struktur, dan kultur kehidupan baru abad 21 di kawasan ASEAN, sebuah pasar tunggal dan basis produksi. MEA adalah sebuah pasar bebas yang akan menjadikan berbagai aspek kehidupan, seperti barang dan jasa, ketenagakerjaan, arus modal dan investasi akan bergerak bebas antar negara ASEAN. MEA adalah masyarakat dengan mobilitas dan kompetisi tinggi namun harus berjalan di atas prinsip keadilan sehingga tidak terjadi eksploitasi satu sama lain. Kesenjangan antar negara dipersempit melalui standarisasi produk dan kesepakatan memanfaatkan produk, khususnya dalam bidang pendidikan, profesi, dan tenaga kerja terampil dalam bentuk Mutual Recognition Arrangement (MRA). Tantangan bagi dunia pendidikan adalah membangun kesiapan manusia Indonesia, sebagai negara yang memiliki bonus demografi tinggi, untuk mencapai dan menguasai kualifikasi kompetensi yang disepakati di kawasan ASEAN, memperoleh akses luas dalam mobilitas kehidupan dan pekerjaan di kawasan ASEAN, menjadi bangsa pendidikan dan bangsa inovasi yang berjati diri kultural Indonesia yang berada di dalam dan melintasi keragaman antar negara-negara ASEAN. Dunia kerja dan pendidikan juga dihadapkan kepada kecenderungan dan tatangan kehidupan abad 21 yang ditandai dengan perubahan dunia yang amat cepat dalam berbagai aspek, dunia yang dirasakan semakin sempit, karakteristik manusia abad 21 sebagai generasi digital, tuntutan akan penguasaan kecakapan kognitif tinggi, dan penguasaan kecakapan psikologis dalam kaitannya dengan sustainabilty kehidupan dan karir. Pemenuhan standar yang mengacu kepada kerangka kualifikasi rujukan (qualification framework references) dan sistem akreditasi di dalam dunia pendidikan, menjadi penting dalam kaitan dengan keterbukaan dan mobilitas yang disebutkan, karena manusia boleh hidup dan bekerja dimanapun di berbagai belahan dunia ini asal memenuhi persyaratan dan kualifikasi yang ditetapkan. Mempersiapkan manusia hidup di dalam MEA dan dunia kerja global berarti mendidik manusia untuk menguasai pengetahuan dan kecakapan secara adaptif terhadap tuntutan dan standar dunia kerja. Namun demikian manusia sebagai organisma yang berkepribadian dan berjati diri tidak boleh kehilangan jati diri dan nilai-nilai kultural yang menjadi akar kehidupan baik sebagai pribadi, warga negara, maupun bangsa dan manusia tetap menjelma menjadi pribadi yang sejahatera (well-being).
Implikasi Masyarakat Ekonomi ASEAN
Tahun 2015 adalah awal efektif kehidupan MEA sebagai pasar tunggal dan basis produksi dan implementasi kesepakatan antar negara ASEAN yang terwujud dalam bentuk Mutual Recognition Arrangment (MRA), khususnya dalam persaingan delapan profesi, yaitu insinyur, perawat, surveyor, arsitek, dokter gigi, tenaga kesehatan, dan akuntansi. MEA bercirikan tata kehidupan baru sebagai (1) wilayah kesatuan pasar dan basis produksi tunggal yang membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah besar, dan tenaga terampil/profesional menjadi tidak ada hambatan bergerak dari satu negara ke negara lainnya di kawasan ASEAN; (2) kawasan ekonomi kompetisi tinggi yang akan membawa implikasi kepada kebijakan kompetisi, perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektul, sistem perpajakan, dan perdagangan elektronik atau online yang akan harus dilandaskan kepada iklim persaingan yang adil; (3) kawasan perkembangan ekonomi yang memprioritaskan UKM, memfasilitasi akses informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan SDM, peningkatan kemampuan keuangan, dan teknologi; yang kesemuanya itu (4) diintegrasikan secara penuh ke dalam sistem perekonomian global. (Arya Baskoro. 2015).
Sebagai sebuah tata kehidupan baru, MEA mengandung dampak positif terhadap perdagangan, investasi, dan ketenagakerjaan tetapi juga mengandung dampak negatif dalam kompetisi yang bisa menimbulkan eksploitasi. Celah kesenjangan antara negara ASEAN semacam itu harus dipersempit melalui semangat kolaborasi dan membangun kesetaraan di antara negara-negara ASEAN, dan kerja keras masing-masing negara di dalam mencapai kualifikasi yang disepakati. Perubahan struktur dunia kerja global yang menuntut kualifikasi kecakapan tinggi berimplikasi kepada ragam kecakapan yang harus dikuasai seseorang. Merujuk penelitian Patrick Griffin tahun 2003 (Griffin, h. 3. 2012) menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan perubahan struktur dunia kerja dan ketenagakerjaan dari pekerjaan yang menuntut tugas-tugas rutin dan manual bergeser secara cepat ke arah pekerjaan yang menuntut tugas-tugas abstrak. Menjelang tahun 2020 sekitar 70% pekerjaan di dunia ini akan menuntut tugas-tugas abstrak dan kecakapan berpikir tinggi, dan kecenderungan ini akan terus berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Tata kehidupan global sebagai sebuah sistem membawa dampak kepada cara manusia dalam berinteraksi, berhubungan dengan dunia kerja, dan memaknai kehidupan budaya. “Globalization is not just a trend, not just a phenomenon, not just an economic fad. It is the international system that has replaced the cold-war system. And like the cold war system, globalization has its own rules, logic, structures, and characteristics…” “The advent of globalization is changing the way in which people relate with each other, the way in which people relate to their work lives, and the way in which culture is defined”. (Friedman . 1999 dalam Leong: 2001)
Pada saat ini manusia sudah dan sedang berada di dalam tata kehidupan global sebagaimana digambarkan, bahkan sudah dalam era paska global, dan manusia diperhadapkan kepada tantangan kehidupan yang memerlukan kecakapan dan pola-pola respons yang adekuat seiring dengan kompleksitas kehidupan yang dihadapi. Kemajuan teknologi informasi yang sangat dahsyat telah mengubah cara berpikir, cara hidup, dan pola interaksi manusia dalam berbagai hal. Kompleksitas kehidupan dan defisit lingkungan, termasuk perubahan iklim yang ekstrim dan krisis sumber energi merupakan kondisi yang menuntut manusia mampu merespons kompleksitas masalah. Kondisi yang digambarkan merupakan tantangan bagi manusia untuk membangun pola-pola respons atas kompleksitas kehidupan dalam nuansa kolaboratif, tidak dalam nuansa kompetisi yang saling mengalahkan, dan pengembangan ilmu pengetahuan secara berkelanjutan.
Kecakapan berpikir tinggi, pemanfaatan teknologi informasi, semangat kolaborasi, dan kesadaran sebagai warga dunia merupakan esensi dari kecakapan yang harus dikuasai manusia dalam kehidupan dan dunia kerja global termasuk kehidupan manusia di dalam MEA. Hasil penelitian Patrick Griffin (2012) tentang kecakapan abad 21, melaporkan bahwa kecakapan abad 21 adalah pola respons yang harus dikuasai oleh manusia. Intisari dari penelitian Griffin (2012) menegaskan bahwa kecakapan manusia abad 21 mencakup kecakapan cara berpikir, cara bekerja, alat bekerja, dan hidup di dalam dunia.
Kecakapan berpikir yang dikembangkan adalah kecakapan berpikir tinggi yang mencakup problem solving, berpikir kritis, kreativitas dan inovasi, dan meta kognisi. Cara bekerja yang harus dibangun adalah kolaborasi shingga manusia dituntut cakap dalam hal komunikasi dan kolaborasi. Teknologi informasi harus dikuasai manusia abad 21 sebagai alat bekerja karena hampir seluruh pekerjaan di abad 21 akan menggunakan teknologi informasi. Kesadaran dan kecakapan hidup sebagai warga dunia harus tumbuh pada setiap warga negara sehingga mereka hidup tidak sebatas sebagai warga negara di negara masing-masing melainkan hidup sebagai warga dunia yang memerlukan kesadaran kultural, tanggung jawab kolektif, dan keberlanjutan karir. Dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila kecakapan yang dirumuskan Griffin mesti diutuhkan dengan aspek iman dan taqwa dan jati diri kultural bangsa.
Manusia Indonesia sebagai bahagian dari MEA harus memiliki kecakapan-kecakapan sebagaimana digambarkan agar mereka mampu bergaul dan berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dalam MEA. Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang disepakati negara-negara ASEAN menginsyaratkan adanya standar kualifikasi yang disepakati harus dipenuhi oleh warga ASEAN agar dia bisa diterima bekerja di seluruh negara ASEAN. Bagi Indonesia standar kualifikasi dimaksud dirumuskan dalam KKNI, yang kini telah menjadi rujukan wajib bagi pengembangan kurikulum di tanah air, khususnya kurikulum perguruan tinggi.
Ada hal menarik untuk difahami secara mendalam atas penggolongkan capaian belajar (learning outcomes) ke dalam 9 tingkatan dalam KKNI dan 8 tingkatan dalam Asean Qualification Reference Framework (AQRF). Terdapat keragaman jumlah tingkatan kualifikasi di antara berbagai negara sesuai dengan filosofi kebijakan kompetisi dan kebutuhan masing-masing negara. Dalam keragaman tingkatan kualifikasi bisa terjadi ada tingkatan kualifikasi yang tidak bisa dipadankan atau dipadankan ke tingkat kualifikasi yang lebih rendah, bahkan dalam tingkat kualifikasi yang sama sekalipun. Namun yang pasti ketika masuk ke dalam pasar bebas ASEAN kualifikasi kecakapan manusia (baca: kecakapan bangsa) harus ekwivalen dengan kualifikasi yang disepakati atau dipersyaratkan dalam MRA. Sistem akreditasi menjadi penting untuk memastikan penyelenggaraan pendidikan ada dalam standar mutu yang menjamin tercapainya tingkat kualifikasi yang ditetapkan. Perlu kerja keras dalam upaya pendidikan untuk membawa bangsa ini menggapai tangga demi tangga tingkatan kualifikasi kecakapan. Pembelajaran ibarat sebuah proses yang membantu peserta didik menaiki scaffolding.
Bangsa Pendidikan, Bangsa Inovasi: Tantangan Pendidikan saat ini
Pendidikan dibangun berlandaskan kepada hakikat manusia dan tujuan hidup manusia. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara maka pendidikan berlandaskan kepada dan bertujuan untuk membawa manusia ke arah pencapaian dan perwujudan tujuan negara dalam mensejahterahkan warganya. Rujukan konstitusional yang tercantum dalam alinea empat Pembukaan UUD 1945 adalah sebuah kondisi tentang bagaimana seharusnya kehidupan bangsa Indonesia menjadi (becoming) dan mengada (being). Dua aspek pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…dan…memajukan kesejahteraan umum lebih berorientasi inward looking, dan dua aspek lainnya, … mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, lebih berorientasi outward looking. Pendidikan bermutu terwujud jika kedua orientasi itu tumbuh dan tercapai secara seimbang. Ini berarti pendidikan turut bertanggung jawab di dalam mencapai tujuan hidup bernegara.
Pendidikan akan harus punya misi untuk membangun tata pikir (mind set) dan kecakapan hidup (life skills) bangsa, dalam ragam potensi yang dimiliki warganya, untuk mendukung terwujudnya kehidupan bangsa yang diharapkan. Pendidikan adalah sebuah power, (perspektif knowledge is power akan harus bergeser atau diikuti dengan perspektif education is power), sebagai kekuatan yang memberi pengaruh kepada kehidupan “politik” dan budaya peserta didik sebagai warga negara yang berjati diri bangsanya dalam pergaulan dan berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.
Pendidikan sebagai kekuatan akan harus menjadi prioritas tinggi secara nasional di dalam pembangunan bangsa ini untuk membawa bangsa Indonesia menjadi Bangsa Pendidikan. Bangsa Pendidikan adalah “…learning society where the education of children and adults is the highest national priority, on par with a strong economy, high employment, and national security. Where resources from public and private sources fund a “ladder of learning” for learner of all ages, from pre-K through “gray”. Where learners take courses through the formal institutions of high quality school and universities and take advantage of informal experience offered through museum, libraries, church, youth groups, and parks as well as via the media. (Chen, Milton: 2010:1).
Bangsa Pendidikan adalah bangsa terdidik yang menguasai kecakapan hidup bermutu, sebagai bangsa beradab yang berjati diri kultural, inklusif, bertatakrama terhadap kearifan lokal dan lingkungan, berdaya adaptasi secara kreatif dan inovatif, hidup dalam budaya damai dan kesehatan emosional spiritual yang didukung oleh sumber-sumber kehidupan ekonomi dan finansial yang kuat dalam jejaring sosial yang luas. Bangsa Pendidikan adalah juga Bangsa Inovasi, sebuah kondisi dinamis kehidupan bangsa yang memiliki daya adaptasi tinggi, karena manusianya memiliki kekuatan berpikir tingkat tinggi dalam bentuk berpikir kritis, kreatif dan inovatif, pemecahan masalah, dan meta kognisi. Bangsa Inovasi adalah bangsa yang atraktif yang akan mampu menarik orang-orang pintar (talent), modal dan investasi serta sumber-sumber bisnis datang kepada bangsa itu.
Pertanyaan kita adalah, apakah kita Bangsa Pendidikan dan Bangsa Inovasi? Dari kondisi yang kita alami, kita belum masuk ke dalam kategori Bangsa Pendidikan dan Bangsa Inovasi. Tapi untuk masuk dan hidup di dalam MEA dan berperan dalam dunia kerja global, bangsa Indonesia harus menjadi Bangsa Pendidikan dan Bangsa Inovasi. Inilah tantangan dan tanggung jawab besar pendidikan saat ini, yang tidak bisa ditunda, dalam membawa manusia Indonesia siap hidup dalam MEA dan dunia kerja global.
Akan harus terjadi pergeseran peran pendidikan dan sekolah, dari peran yang berorientasi defisit, (orientasi yang menekankan kepada penanganan kesulitan peserta didik dan asesmen dalam bentuk ranking), kepada peran yang berorientasi perkembangan (orientasi yang menekankan kepada pengembangan ragam potensi peserta didik dan asesmen autentik). Inovasi pendidikan persekolahanpun mesti menyangkut banyak aspek secara komprehensif. Aspek-aspek untuk inovasi sekolah (Milton Chen (2010) menyangkut: (1) pengembangan cara berpikir peserta didik yang menekankan kepada cara berpikir tinggi (higher order thinking), (2) kurikulum yang mengakomodasi ragam peserta didik dan ragam belajar (diverse learner diverse learning) dan diikuti dengan asesmen autentik, (3) pemanfaatan teknologi sebagai alat bekerja dan alat belajar, (4) waktu, tempat, dan sumber belajar yang dimungkinkan terjadi kapan saja dan dalam tempat dan sumber yang beragam, (5) pembelajaran kolaboratif yang melibatkan orang tua dan sumber-sumber atau lembaga lain, (6) pemahaman mendalam terhadap peserta didik yang hidup sebagai generasi digital.
Potensi bonus demografi yang saat ini dimiliki bangsa Indonesia, dan pernah menjadi topik popular pembicaraan para pemimpin bangsa ini, adalah generasi bangsa yang berada dalam generasi Y dan Z dan generasi selanjutnya berada pada generasi Alpha. Generasi Y dan Z adalah generasi milenia atau digital yang dibedakan sebagai generasi digital imigran dan generasi digital natif. Kedua generasi ini memiliki karakteristik yang berbeda, namun keduanya hidup dalam kultur digital, yang berimplikasi terhadap strategi upaya pendidikan yang harus disiapkan bagi pendidikan mereka. Sudahkah kita secara sistematis menyiapkan langkah-langkah untuk mendidik generasi bangsa yang disebutkan untuk menjadi warga negara yang baik tetapi juga sekaligus menjadi warga global?
Kehidupan pada saat ini sudah ada pada era paska globalisasi atau era paska modernisme (postmodernism). Teori-teori ilmu pengetahuan tidak lagi mengutamakan prinsip universalitas, totalizing thought, dan grand narrative tetapi bergeser ke perspektif kritis, kepada pemahaman dan pemaknaan keunikan etnografis/etnokultur di dalam konteks global dan proses transformasi masyarakat dan individu untuk menumbuhkan daya kreasi adaptif dan sustainability manusia. Hal yang sama terjadi pada (teori-teori) ilmu pendidikan, baik ilmu pendidikan teoritis, keguruan, maupun praktis, yang harus diletakan dalam perspektif kritis yang memahami peserta didik dalam hakikatnya sebagai manusia di dalam konteks kultural secara konkrit dan di dalam tatanan kehidupan global. Perspektif kritis ini memunculkan tantangan bagi pendidikan (persekolahan khususnya) dalam cara bagaimana sekolah berkontribusi kepada kehidupan politik dan kultural peserta didik.
Peserta didik yang hidup dan dididik di era paska globalisasi adalah generasi digital yang akan dihadapkan kepada kondisi dan tantangan yang ditandai dengan: (1) perubahan dunia yang sangat cepat dalam berbagai aspek kehidupan, (2) kemudahan akses informasi yang membuat dunia terasa sempit seperti mengkerut, (3) belajar di dalam kultur digital, (4) pengembangan kognitif dalam tataran tinggi terutama berpikir kritis, kreatif, dan inovatif, dan (5) pengembangan (kecakapan) psikologis yang menumbuhkan ketahanan diri, sustainability hidup dan karir, dalam suasana perubahan dunia yang cepat dan kompleks.
Menyiapkan bangsa Indonesia memasuki dan hidup di dalam masyarakat global, jelasnya MEA, dan dunia kerja global juga tidak cukup sebatas menyiapkan manusia trampil dalam tingkatan kualifikasi yang dirujuk. Tataran ini lebih bersifat responsif, dalam tataran mengelola dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, dan harus bergerak maju ke tataran yang lebih tinggi yaitu tataran kualifikasi ilmuwan yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Tataran ini mulai dimasuki bangsa yang sudah maju, antara lain di kawasan Asia adalah Korea. (Joon-Chul Eom. 2016)
Dalam konteks seperti yang digambarkan, sekolah saat ini mesti membawa dan membelajarkan peserta didik membangun kesiapan diri memasuki dunia kerja global yang ditandai dengan dan menuntut untuk: (1) pekerjaan semakin kompleks, memerlukan pemikiran inovatif dan kreatif, (2) pekerjaan akan banyak diselesaikan oleh komputer, (3) pekerjaan rutin dan kognitif menengah akan semakin menghilang, (4) pekerjaan kreatif dan analitis non-rutin dalam diasin, pemasaran, penelitian dan teknik akan semakin meningkat, (5) menyiapkan manusia masa depan dengan mengajak mereka belajar keras dan cermat, (6) membelajarkan peserta didik untuk bertanya secara tajam dan mendalam (deep learning), dan tidak hanya sekedar menemukan jawaban yang benar. Dapat dipastikan dalam tantangan belajar seperti yang digambarkan akan menghendaki guru terbaik betah tinggal di sekolah.
Menyiapkan Guru Terbaik
Memaknai hal-hal yang diuraikan sebelumnya, betapa berat dan kompleksnya tugas dan tanggungjawab seorang guru. Menyiapkan manusia memasuki masa depan, jelasnya MEA dan dunia kerja global dimana kita sudah berada di dalam era itu, harus merupakan proses berkelanjutan sejak pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi. Pendidikan karir dan bimbingan karir harus berlangsung sejak pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi, tidak sebatas membelajarkan dan membimbing peserta didik menguasai kecakapan vokasioanl tetapi juga kecakapan manajerial karir agar manusia mampu memelihara sustainability karir. Guru tidak lagi mengajarkan akumulasi pengetahuan tetapi harus membelajarkan peserta didik tentang masa depan, belajar tentang masa depan tanpa melupakan masa lalu. Perspektif historis harus diposisikan secara tepat,dan masa depan dipelajari melalui transformasi diri. Belajar pada saat ini tidak lagi pada kurva belajar 1.0 (learning 1.0 yang menekankan pada akumulasi pengetahuan) melainkan pada kurva learning 2.0, belajar (tentang) masa depan. (GFF. 2013)
Pembelajaran akan harus menekankan kepada proses mendalam (deep learning) yang membangun kecakapan berpikir tinggi dan mengedepankan otonomi dan tanggung jawab peserta didik. Pembelajaran bertanggung jawab mengembangkan hard skills dan soft skills sebagai siklus perkembangan berpikir, sebagaimana digambarkan Howard Gardner dalam teori “Five Minds for the Future”. Tugas guru tidak sebatas menyampaikan substansi pelajaran tapi menciptakan atmosfir belajar sebagai ekologi perkembangan peserta didik. Dalam perspektif ini pendidikan tidak mungkin menjadi monopoli sekolah dan oleh karena itu keluarga harus ambil peran dan tanggung jawab efektif secara kolaboratif dengan sekolah di dalam proses pendidikan peserta didik seutuhnya.
Titik kritis pendidikan guru terletak terutama dalam sistem rekrutmen dan seleksi calon mahasiswa, proses pembelajaran calon guru, dan penjaminan mutu. Standar Nasional Pendidikan Guru (SNPG) yang sedang dalam proses perumusan akhir harus dipastikan mengandung dan merefleksikan ruh jati diri professional guru dan tidak sekedar merupakan daftar rangkaian pasal dan ayat regulasi yang satu sama lain lepas konteks. Mendidik guru terbaik adalah proses membangun jati diri professional guru. Kecakapan guru mengajar bukanlah sekedar penampilan kumpulan (agregasi) teknik mengajar melainkan sebuah keputusan utuh secara kontekstual yang merefleksikan trajektori belajar guru yang akan semakin mengokohkan jati diri professional dan karir guru.
Mendidik guru professional tidak sebatas membelajarkan calon guru menguasai perangkat kompetensi, apalagi kompetensinya dirumuskan secara fragmentasris, melainkan harus mendidik mereka menumbuhkan dan menginternalisasi jati diri professional guru ( professional teacher identity). Ini adalah nilai inti guru professional yang akan mampu menghadirkan guru membelajarkan peserta didik dengan misi dan tidak sekedar mentransfer pengetahuan dan keterampilan. Guru calon guru alias dosen membelajarkan calon guru belajar tentang mengajar, membuat tacit knowledge yang ada pada dirinya menjadi explicit knowledge yang bisa dipelajari para calon guru.
Pembelajaran praktikum bagi calon guru dalam berbagai bidang studi mestinya tidak berhenti pada asesmen hasil praktikum para calon guru melainkan harus masuk pada langkah lanjut yaitu membelajarkan calon guru untuk mengajarkan praktikum sejenis kepada para peserta didik dalam konteks pendidikan di sekolah. Inilah keunikan pendidikan guru. Oleh karena itu, UPI sebagai LPTK yang bereputasi mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pedagogik pendidikan guru sebagai ilmu.
Kehadiran guru dengan misi di tengah peserta didik, sebagaimana disinggung sebelumnya, mengisyaratkan bahwa guru hadir dengan penuh kesadaran untuk membawa peserta didik ke arah tertentu. Fokus dan tujuan pembelajaran adalah dua hal yang akan harus menjiwai misi dimaksud. Disinilah titik temu akan terjadi antara misi guru dengan misi negara dan bangsa karena misi guru mesti mengalir dari misi negara dan bangsa. Disini pula mengapa seorang guru perlu memahami kekuasaan dan politik bangsa. Kehadiran guru dengan misi memungkinkan guru dan sekolah berkontribusi kuat terhadap kehidupan politik dan kultural peserta didik sebagaimana disebutkan sebelumnya. Tantangan dan kondisi yang digambarkan sesungguhnya mustahil dikerjakan sendirian oleh guru. Oleh karena itu sebagaimana juga digambarkan, pembelajaran harus bersifat kolaboratif, masuk pada paradigma diverse learner diverse learning.
Dengan tantangan yang digambarkan UPI dan juga LPTK lain yang bereputasi perlu didorong untuk meyakinkan birokrasi bahwa pendidikan guru harus dikembangkan secara otonom oleh perguruan tinggi yang kompeten dengan dukungan penuh dari Pemerintah dan menjadi prioritas tinggi secara nasional. Keunikan pendidikan guru memerlukan sistem penjaminan mutu tersendiri yang berbeda dari pendidikan perguruan tinggi lain. Pendirian lembaga akreditasi mandiri (kita berharap LAM Masyarakat dan bukan LAM Pemerintah) yang sedang dikembangkan pada saat ini harus segera diwujudkan dalam semangat kolaboratif dan pengawalan mutu pendidikan guru di tanah air. Aspek legal lembaga ini telah dijamin oleh UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Ke depan, BAN PT tidak lagi mengakreditasi prodi melainkan mengakreditasi institusi sedangkan akreditasi prodi dilakukan oleh lembaga akreditasi mandiri. Dalam konteks ini sistem penjaminan mutu harus memastikan bahwa pendidikan guru akan menghasilkan guru yang berjati diri profesional yang siap memfasilitas peserta didik belajar tentang dan menyiapkan diri untuk memasuki masa depan dan dunia kerja global.
Pada era saat ini, membuat guru terbaik betah tinggal di sekolah adalah sebuah keniscayaan. Terkandung makna dan implikasi bahwa guru harus dikelola sebagai profesi dan bukan sebagai aparat birokrasi. Namun kondisi yang dihadapi mungkin tidak mendukung tata kelola ketengaan guru secara ekstrim dan harus dicari sinergi antara sisi birokrasi dan profesi. Hal yang harus dipastikan adalah tidak terjadinya politisasi guru. Guru harus bebas dari intervensi politik dan tidak digunakan untuk kepentingan politik praktis. Perlu ada satu garis komando nasional yang kuat dalam tata kelola ketenagaan guru. Pertanyaannya, cara apa yang harus dilakukan?. Apakah dengan cara menarik kembali tata kelola guru ke tingkat nasional dan menjadikan tata kelola guru sebagai kewenangan Pemerinah dengan disertai garis komando nasional yang kokoh akan menjadi alternatif terbaik di dalam menyelsaikan kompleksitas masalah guru di tanah air? Sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab secara sungguh-sungguh dan dengan diikuti penyampaian pemikiran kepada Pemerintah. Kita berharap dan perlu mendorong UPI melahirkan pemikiran alternatif tata kelola guru secara nasional.
Rujukan
Baskoro, Arya. (Associate Researcher). (2015). “Peluang, Tantangan, Dan Risiko Bagi Indonesia Dengan Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN”. http://crmsindonesia.org/knowledge/crms-articles/peluang-tantangan-dan-risiko-bagi-indonesia-dengan-adanya-masyarakat-ekonomi
Brotherton, Susan, J. (1996). Counselor Education for the Twenty-First Century. Bergin & Garvey. USA Griffin, Patrick. et.al. (2012). Assessment and Teaching of 21st Century Skills. Springer, New York
Chen, Milton. (2010). Education Nation, Six Leading Edges of Innovation in our Schools. Jossey-Bass, San Francisco
Gardner, Howard. (2008). “Five Minds for the Future”. Geneva GFF. (2013), http://globalfuturist.com/wp-content/uploads/GFF-2013.pdf
Joon-Chul Eom. (2016). ‘TVET System in Korea”.(pdf.ppt) Keynote Address. KONASPI VIII, Jakarta 2016. http://www.seminars.unj.ac.id/konaspi
Leong, Frederick T.L. (2001). “Career Education as Part of National Competitive Strategies” Keynote Address. The 9th Asia Regional Association for Career Development (ARACD) Conference. Singapore
Manzala, Teresita R. (2015). “The ASEAN Qualification Reference Framework”. (pdf.ppt) http://ceap.org.ph/upload/download/20138/27222725873_1.pdf
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012. “Tentang Kerangka Kualfikasi
Nasional Indonesia”
Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi