Burung Walet dan Ayam Jago
Wednesday, 10 May 2017 (07:50) | 1,357 views | Print this Article
Oleh: Mukhlis, S.IP, S.Pd.
Guru SMP Negeri 3 Sragi, Pekalongan, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan pascasarjana (S2) di STAIN Pekalongan dan Anggota ISPI
Pengantar: Cerita mempunyai kekuatan dalam membentuk karakter. Melalui narasi yang mengalir, pembaca atau pendengar tidak terasa memperoleh pendidikan yang membentuk karakter dan kepribadian tanpa terbebani. Itulah kelebihan cerita atau dongeng; sehingga metode bercerita ataupun mendongeng (story telling) dari dulu digunakan dalam mendidik anak.
Di sebuah rumah sederhana yang terletak di ujung desa, tinggalah keluarga Pak Amat. Sebagaimana layaknya orang desa, Pak Amat beserta istrinya memelihara ayam. Tidak dalam jumlah banyak, tetapi hanya lima ekor saja. Pak Amat bukan peternak ayam, tetapi seorang petani. Memelihara ayam bukan kegiatan utama, tetapi hanya sebagai kegiatan tambahan saja.
Ayam Pak Amat terdiri dari empat ekor ayam betina dan satu “Jago” si ayam jantan. Si Jago terlihat paling gagah. Dengan bulu berwarna merah keemasan yang sangat indah, Jago merasa bangga. Lebih-lebih punya suara kukuruyuk yang melengking dan nyaring, membuat ayam-ayam betina kagum dan senang bila berada dekat dengan si Jago. Si Jago seolah-olah menjadi raja diantara ayam-ayam yang lain.
Di sudut rumah Pak Amat, tepatnya dibawah atap samping rumahnya, juga tinggal sepasang burung walet. Burung walet bertubuh kecil dengan bulu hitam sedikit ada warna putih di bagian dadanya. Suara burung walet hanya bercicit tidak nyaring. Keadaan burung walet sangat jauh berbeda dengan keadaan ayam jago yang gagah besar, berbulu indah, dan bersuara nyaring.
Kesempurnaan bentuk tubuh Jago yang gagah, dihiasi bulu-bulu berwarna keemasan dan suara kukuruyuk yang merdu, membuat Jago berbangga diri. Merasa dirinya paling gagah, timbul sikap sombong. Hal ini tampak sekali ketika melihat “Lena-Leni” sepasang walet yang juga membuat sarang di atap rumah Pak Amat.
“Hai, jelek! Lagi ngapain kamu di situ? Kerjanya bolak-balik terbang dan bertengger di atas. Apa kamu tidak bisa makan, kok tubuhmu kecil terus ndak besar-besar?!”
Mendengar kata-kata Jago yang bernada mengejek tersebut, Lena-Leni hanya bercicit. “Sudah, ndak usah hiraukan”, begitu kata Lena si walet jantan kepada Leni, dengan maksud menguatkan hati Leni untuk tidak terpancing emosinya dan menjadi marah.
“Hai! Mengapa hanya mencicit saja. Sini turun ke tanah, nanti saya beri makan biar badanmu besar seperti saya. Kukuruyuuuk!”
Kata-kata Jago terus keluar dari mulutnya dengan nada merendahkan walet. Lena dan Leni yang mendengar ejekan Jago semakin tak sabar untuk menyahut. Namun lagi-lagi Lena si walet jantan terus menghibur Leni untuk tidak meladeni ejekan Jago. “Sabar ya sayang, tidak usah terpancing emosi. Lebih baik mengalah, daripada ikut-ikutan sombong”, kata Lena si walet jantan.
“Kukuruyuuuk! Akulah Jago. Tidak ada burung yang lebih bagus dari aku. Kukuruyuuuk! Buluku indah, suaraku merdu; tidak seperti walet yang hanya bisanya mencicit. Kukuruyuuuk! Ayolah turun ke tanah walet, akan kuberi makan biar tubuhmu besar seperti aku”, suara Jago terus menerus seolah bernyanyi sambil mengejek burung walet.
Karena kata-kata Jago yang selalu mengejek, kesabaran yang dipertahnkan walet akhirnya jebol juga. Terutama Leni si walet betina tidak tahan mendengar ejekan ayam Jago. Leni pun menanggapi ejekan Jago dengan kata-kata yang cukup membuat Jago marah.
“Kami tidak kekurangan makan Jago! Justru di atas makanan berlebihan. Makanya sering juga berjatuhan ke tanah dan dikais-kais oleh mu kan?” begitu kata Leni si walet betina sedikit menyombongkan diri.
Mendengar jawaban walet, ayam Jago tersinggung juga karena memang kebiasaan ayam selalu mengais-ngais sesuatu di tanah dengan mengorek-korek menggunakan kaki (cakar)-nya.
“Hei, hei…, walet! Kalau kamu tidak kekurangan makan, mengapa tubuhmu kecil terus? Lihatlah tubuhku nih! Besar, gagah, dan perkasa. Tidak seperti kamu yang bertubuh kecil mungil.”
“Ha ha ha…, perkasa katamu? Bukan! Bukan perkasa, tetapi gendut tahu? Makanya kamu tidak bisa terbang. Buat apa mempunyai sayap kalau tidak bisa terbang. Percuma!” kata Leni menanggapi ejekan si Jago.
Kata-kata walet tadi betul-betul membuat Jago marah. Dengan sigap, seketika itu pula Jago mengepakkan sayapnya terbang dan hinggap di atas jemuran baju yang berada di samping rumah Pak Amat sambil berkukuruyuk. Maksudnya ingin menunjukkan bahwa dirinya juga bisa terbang. Namun pada saat yang sama istri Pak Amat melihat ayam jagonya bertengger di jemuran baju, langsung mengusirnya.
“Hus… hus… hus! Ayam kok naik-naik. Ayo turun!” begitu kata istri Pak Amat sambil membawa bilah bambu untuk mengusir ayam jagonya.
Melihat peristiwa tersebut, si walet tambah metertawakan Jago dengan suara cicitannya yang riuh. “Makanya kalau ndak bisa terbang, sudahlah di bawah saja, gendut?!” ledek Leni si walet betina.
Mendengar ledekan Leni, ayam Jago semakin geram. Rasa-rasanya ingin mengejar walet, namun apa daya dirinya tidak bisa terbang tinggi seperti walet. Ayam Jago baru merasa kalau dirinya ternyata mempunyai kekurangan. Kalau selama ini ia memandang burung walet itu lemah, tidak bisa apa-apa, ternyata mempunyai kelebihan juga. Ia bisa terbang gesit, lincah, meliuk-liuk di udara. Tidak seperti dirinya yang tidak mampu mengangkat tubuhnya yang memang lebih gendut dari burung walet. Penilaian diri yang dilakukan oleh ayam Jago, sebenarnya menyadarkan kalau dirinya mempunyai kelemahan yaitu tidak bisa terbang seperti burung walet. Namun karena diliputi perasaan bangga diri yang terlalu besar, menyebabkan Jago tetap sombong.
“Kukuruyuuuk! Huh, awas kau walet. Jika aku sudah bisa terbang tinggi, akan kukejar kau sampai ujung langit!”, kata-kata Jago sambil kesal.
“Mana mungkin, Jago bisa terbang sampai ujung langit?! Yang bener aja Jago. Kalau kenyataannya tidak bisa melakukan, itu namanya orang sombong, tau?” lagi-lagi Leni si walet betina mencoba menghentikan kesombongan Jago.
“Sudah-sudah. Jangan bertengkar terus. Kalau mencari kesalahan orang lain, pasti tidak ada habis-habisnya. Ayo pergi!”, kata Lena mancoba menghentikan pertengkaran yang dari tadi tidak selesai. Kedua walet itupun terbang tinggi meninggalkan ayam Jago.
“Kukuruyuuuk!” Dengan perginya walet Jago merasa menang. Jago tetap merasa paling hebat dan menyombongkan diri. Jago pun memanggil-manggil ayam betina dengan cara berkokok sambil mengorek-korek tanah. Bahkan kali ini Jago pergi ke pinggir jalan umum untuk mencari perhatian banyak orang.
Dengan bangganya Jago menunjukkan keperkasaannya di depan ayam-ayam betina, bulunya yang indah merah keemasan, menjadi daya tarik ayam-ayam betina. Ayam Jago terus berkokok sambil mengajak ayam-ayam betina berkeliaran di pinggir jalan.
Sampai pada suatu saat, terjadi peristiwa nahas menimpa ayam-ayam Pak Amat. Ketika ayam-ayam itu berkeliaran dipinggir jalan, ada seorang pengendara sepeda motor ngebut dari arah barat. Karena begitu kencang dalam berkendara, ketika berpapasan dengan pengendara lain dari arah yang berlawanan, maka si pengendara motor yang ngebut tadi agak ke tepi jalan dan kurang terkendali, akhirnya menabrak kerumunan ayam-ayam Pak Amat yang berada di pinggir jalan.
“Keoook! Keok…keok! Wuush!” antara suara ayam dan deru motor yang ngebut bercampur. Tampak satu ekor ayam menggelepar-gelepar, dan yang lain bubar lari tunggang langgang sambil bersuara keok, keok, kencang sekali.
Rupaya, ayam betina teman si Jago tewas menjadi korban tabrak lari. Jago sendiri kesakitan karena kaki kirinya terluka ikut terserempet sepeda motor. Sekarang Jago berjalan pincang karena kaki kirinya sakit.
Pak Amat yang baru pulang dari sawah segera menghampiri ribut-ribut suara ayam berkotek. Dijumpainya satu ekor ayam tergeletak sudah mati di pinggir jalan. “Wah, rugi besar ini! Ayamku mati tertabrak motor. Kalau begini terus, lama kelamaan bisa habis ayamku nih. Ini harus dikandang, biar tidak berkeliaran di jalan”, begitu kata Pak Amat sendirian.
Pak amat tidak marah-marah, karena bukan pengendara motor yang salah. Menurut pemikiran Pak Amat, kalau sarana jalan dibuat oleh manusia memang tujuannya adalah untuk digunakan berlalu lintas. Apabila ada kendaraan yang lewat di jalan, berarti sudah benar. Sebaliknya jika ayam berkeliaran di jalan, itu yang kurang benar. Sehingga apabila terjadi peristiwa ayam tertabrak sepeda motor bukan salah pengendara motor, tetapi ayamlah yang salah. Dari kejadian ini, akhirnya mendorong Pak Amat berpikir untuk membuatkan kandang bagi ayam-ayamnya.
***
Malihat musibah yang dialami Jago, Lena dan Leni ikut sedih. Bagaimanapun juga, sebagai tetangga ikut merasakan penderitaan yang dialami Jago dan teman-temannya. Lebih-lebih melihat keadaan Jago yang biasanya gagah perkasa kesana kemari sambil berkokok, kini lebih banyak berdiam diri. Bahkan untuk mengorek-korek tanah pun sekarang tidak bisa karena kakinya sedang sakit.
Lena dan Leni terbang rendah mendekat ke tempat Jago yang sedang berbaring. Dengan gerakan-gerakan terbang yang lucu, akhirnya dapat menarik perhatian Jago. Si Jago sedikit merasa terhibur. “Maaf Jago, kami ikut berduka atas meninggalnya teman kamu. Kami juga ikut sedih karena Jago sakit. Bolehkah kami membantu kamu agar cepat sembuh? Kami punya obat yang sangat baik untuk menyembuhkan siapa saja yang sakit. Mau ya?”, begitu kata-kata Leni kepada Jago.
“Terima kasih walet. Tetapi sesungguhnya saya malu. Saya merasa bersalah, karena kemarin-kemarin telah mengejekmu. Mungkin musibah ini karena akibat dari sikapku yang sombong dan selalu mengejekmu. Sungguh aku minta maaf atas sikap sombongku kepadamu. Apakah kamu mau memaafkan?”, begitu kata Jago dengan suara lirih memelas.
“Ah, ndak apa-apa. Kami sudah memaafkanmu kok”, kali ini gantian Lena si walet jantan yang berbicara. “Yang penting sekarang adalah bagaimana kamu bisa cepat sembuh, agar kita kisa bercanda lagi, bisa bermain bersama lagi. Mau ya, saya beri obat?” begitu sambung Lena.
“Wah, terima kasih sekali, tetapi kamu punya obat apa?” kata Jago
“Begini; sarang burung walet dikenal oleh manusia mempunyai khasiat yang luar biasa untuk menyehatkan. Bahkan manusia sangat menghargai sarang walet dengan harga mahal. Karena khasiatnya yang menyehatkan itulah sarang walet dicari oleh manusia. Oleh karena itu jika kamu mau makan sarang walet pasti kamu cepat sembuh. Mau ya saya beri sarangku sebagai obat?”, begitu penjelasan Lena panjang lebar.
Sambil menahan rasa sakit, si Jago menjawab, “Ya, ya. Saya mau.” Dengan tertatih-tatih ayam Jago berjalan ke bawah sarang walet. Lena dan Leni pun menjatuhkan sedikit demi sedikit sebagian sarangnya agar dimakan ayam Jago.
Benar juga setelah tiga hari berturut-turut Jago makan sarang burung walet, kesehatan Jago pulih. Jago sudah bisa berkokok kembali. Di malam menjelang subuh, terdengar suara “Kukuruyuuuk!” Lena dan Leni yang sedang tidur pulas di sarangnya terkejut mendengar suara Jago berkokok. Namun keduanya merasa lega, karena ternyata bantuan pengobatan yang mereka lakukan tidak sia-sia. “Alhmdulillah, teman kita sudah sehat!” bisik Lena kepada Leni.
Pada pagi harinya, buru-buru burung walet menghampiri ayam Jago. “Hai, Jago! Bagaimana kabarmu?” sapa leni membuka percakapan.
“Alhamdulillah, saya sudah sembuh. Terima kasih ya, atas pertolonganmu, saya sudah sehat kembali.” Jawab Jago penuh semangat.
Kini Jago sudah mulai terbiasa dengan ucapan terima kasih. Jago sudah mengerti betapa berharganya pertolongan orang lain. Jago juga mulai mengerti betapa pentingnya sahabat dalam hidupnya. Ternyata menghargai orang lain akan membawa kebaikan kepada dirinya, sebaliknya sikap sombong yang dulu sering ia lakukan hanya merugikan diri sendiri.
Kehadiran walet ke kandang ayam, membawa suasana bersahabat. Hubungan walet dan ayam yang sama-sama tinggal di rumah Pak Amat, terasa rukun. Tidak ada lagi ejek-mengejek satu sama lain. Keduanya sama-sama saling membutuhkan. Terbukti ketika tiga hari yang lalu, ketika subuh dini hari ayam Jago tidak berkokok karena sakit, burung walet bangun kesiangan. Akibatnya walet terlambat mencari serangga sebagai makanannya. Oleh karena itu ketika mendengar Jago sudah bisa berkokok di waktu subuh, walet sangat bergembira.
Demikian pula bagi ayam, khususnya si Jago. Kunjungan walet ke kandang ayam mengingatkan perlunya berbagi kepada siapa pun yang memerlukan. Lebih-lebih kepada tetangga. Jago merasakan betul betapa bantuan walet yang telah memberi sarangnya untuk obat bagi dirinya sangat bermanfaat sekali bagi kesembuhan dari sakit. Jago pun menggerak-gerakkan kakinya sambil melompat-lompat ingin menunjukkan kepada walet kalau dirinya sudah sembuh.
“Hati-hati Jago! Jangan terlalu keras, kakimu kan baru sembuh?!” kata Lena mengingatkan ayam Jago yang menggerakkan kaki dan lompat-lompat.
“Ah, ndak apa-apa. Aku sudah sembuh kok. Terima kasih ya, obat pemberian kamu memang hebat,” jawab Jago dengan wajah yang berseri-seri menampakkan betapa gembiranya dengan kesembuhan dan bantuan obat dari walet.
“Ya, memang sarang walet terkenal baik untuk kesehatan. Menurut penelitian manusia, sarang walet itu sangat baik untuk pemulihan tenaga dan membantu mempercepat kesembuhan bagi yang sedang sakit. Oleh karena itu manusia mau membeli sarangku dengan harga yang tinggi,” begitu penjelasan Leni panjang lebar tentang kehebatan sarang walet yang juga sudah terbukti membantu kesembuhan Jago. “Oh, ya. Saya mendengar kamu akan dibuatkan kandang ya?” tanya Leni kepada Jago.
“Ya, betul. Kata Pak Amat, karena peristiwa tabrak lari yang menelan korban satu ayam sahabatku itu, kami ayam-ayam akan dibuatkan kandang agar tidak berkeliaran mengganggu lalu lintas.”
“Syukurlah, kami ikut bahagia. Artinya kalian tidak usah mencari-cari makan sendiri karena makanan ayam sudah disediakan oleh Pak Amat,” begitu kata Leni si walet betina.
“Betul, tetapi sebenarnya kami lebih senang kalau bisa mencari makan sendiri, tidak merepotkan orang lain. Lihat, kakiku bisa mengorek-korek tanah dengan kuat!”
Tiba-tiba, “Hai, awas! Jangan keras-keras dulu!” teriak Lena. “Kakimu baru sembuh, jangan mengorek-korek tanah dulu nanti sakit lagi,” sambung Lena mengingatkan.
“Ah, ndak! Kakiku sudah sembuh. Lihat, sudah tidak sakit lagi,” kata Jago sambil mengorek-korek tanah lagi, ingin memastikan bahwa dirinya sudah betul-betul sembuh dan kuat.
“Syukurlah, kalau kamu betul-betul sudah kuat. Artinya kamu sudah bisa menjadi kebanggaan bagi teman-teman. Termasuk kebanggaan bagi kami,” kata Lena.
“Kebanggaan bagi kamu? Bagaimana maksudnya? Bukankah selama ini aku suka mengejekmu Walet?”, tanya Jago dengan nada penuh penyesalan.
“Tidak, Jago. Saya yakin kamu tidak sunguhan untuk mengejek kami. Kalaupun memang mengejek, saya yakin karena kamu belum tahu bahwa kami menyayangimu. Bagi kami Jago adalah pahlawan kehidupan,” si Lena menjelaskan.
“Ah, menyindir ya?! Sungguh saya betul-betul menyesal telah bersikap sombong dan suka mengejek. Oleh karena itu tolong maafkan aku,” begitu kata Jago dengan serius.
“Iya, kami sudah memaafkanmu kok. Pujian kami bahwa Jago itu adalah pahlawan kehidupan itu memang pujian yang tulus dan sangat tepat. Coba bayangkan, pagi-pagi buta, suaramu sudah mengingatkan semua makhluk hidup untuk menyambut datangnya hari yang cerah. Dengan mendengar ‘kukuruyuk’ suaramu, semua makhluk hidup diingatkan untuk berdo’a memohon kesuksesan dalam mengarungi kehidupan. Oleh karena itu kami sangat berterima kasih kepadamu Jago! Setiap pagi kami bisa berdo’a dan memperoleh kesuksesan dalam hidup sehari-hari. Hidup kami sangat dihargai oleh manusia. Itu karena kami bisa memberi manfaat kepada manusia. Sarang burungku setiap hari diambil dan dimanfaatkan oleh manusia. Tidak apa-apa, malah kami merasa bangga karena telah memberi manfaat kepada orang lain.”
Mendengar penjelasan Lena seperti itu, Jago semakin menyesal mengapa dirinya suka menyombongkan diri, sukanya mengejek orang lain. Tidak seperti Lena dan Leni yang mengisi hidupnya untuk memberi manfaat kepada orang lain. Ternyata hidup itu menjadi berharga karena mau memberi manfaat kepada orang lain. Kemudian Jago pun memberanikan diri untuk bertanya tentang dirinya, “Lantas manfaat apa yang bisa saya berikan?” tanya Jago kepada Walet.
“Banyak, Jago. Suaramu! Suaramu yang nyaring, merdu lagi. Itu menjadi hiburan bagi yang mendengarnya. Lebih-lebih suara kukuruyuk pada waktu dini hari menjelang subuh. Wah, luar biasa! Makanya kamu itu diberi julukan ‘Pahlawan kehidupan’, oleh karena itu teruslah berkokok setiap subuh, pasti semua makhluk hidup akan merasa senang mendengarnya.” Penjelasan Lena panjang lebar menjadikan Jago lebih percaya diri. Kini rasa bersalah kepada walet semakin bergeser menjadi rasa senang bisa bersahabat dengan walet yang ternyata sangat pandai. Jago pun merasakan betapa bahagianya punya sahabat walet.
***
Sejak peristiwa ayam milik Pak Amat tertabrak sepeda motor, ayam-ayam Pak Amat tidak dilepas. Keempat ayamnya dikurung, termasuk Jago. Sepertinya Pak Amat tidak mau kehilangan ayamnya lagi. Pak Amat pun segera membuat kandang ayam dengan memanfaatkan bambu yang banyak tersedia di belakang rumahnya.
Pada saat sedang bekerja membuat kandang ayam, Pak Amat juga melihat ke atap rumah tempat walet membuat sarang. Sambil duduk dan mengerjakan pembuatan kandang yang belum selesai, Pak Amat memperhatikan beberapa burung walet yang mondar-mandir terbang dan meliuk-liuk ke sarangnya. “Loh, kok kelihatan semakin banyak sih, burung waletnya?!” kata Pak Amat. Memang seiring berjalannya waktu, burung walet yang bersarang di rumah Pak Amat semakin bertambah. Tadinya hanya sepasang Lena dan Leni saja, tetapi karena telah beranak-pinak, kini walet yang membuat sarang di rumah Pak Amat telah berkembang semakin banyak.
Karena penasaran Pak Amat bangkit dari duduknya dan mengamati dengan teliti sarang burung walet yang ada di atap samping rumahnya. “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Wah, sudah ada enam sarang ternyata,” gumamnya. Pak Amat pun membayangkan bahwa dirinya akan memperoleh untung besar. Dengan banyaknya sarang burung walet yang berada di bawah atap rumahnya, akan ada orang kaya dari kota yang membeli rumahnya dengan harga mahal; dan selanjutnya uang hasil penjualan rumah sarang walet tersebut bisa digunakan untuk membangun rumah baru yang lebih bagus lagi di sebelah pekarang yang masih kosong.
Pada saat Pak Amat sedang memperhatikan sarang walet yang semakin banyak tersebut, datanglah istri Pak Amat membawa kopi panas dan jagung rebus. “Pak, minum dulu. Mumpung masih hangat nih jagung rebusnya!” kata Bu Amat.
Pak Amat pun menghampiri tempat dimana minuman itu dihidangkan oleh istrinya. “Ada apa Pak, kok senyum-senyum tampak gembira?” tanya Bu Amat.
Sambil menikmati kopi panas dan jagung rebus, Pak Amat mengemukakan apa yang ada dalam benak pikirannya, “Gini Bu, bagaimana kalau kita membuat rumah baru? Itu di sana, sebelah sana, di pekarangan yang masih kosong?” sambil menunjuk arah selatan sebelah bangunan rumah.
“Terus, rumah kita ini mau untuk siapa? Punya rumah sebesar ini saja, hanya kita berdua yang menempati, kalau buat rumah lagi untuk siapa? Bagaimana sih bapak ini?!” kata Bu Amat dengan nada kurang setuju. Memang rumah yang sudah ada cukup besar. Kedua anak Pak Amat semuanya sedang sekolah di luar kota sehingga sehari-harinya hanya Pak Amat dan istrinya yang menempati rumah sebesar itu. Pantaslah kalau istri Pak Amat kurang setuju.
“Sebentar, Bu! Coba perhatikan. Burung walet yang ada di rumah kita semakin banyak. Dari hari ke hari terus bertambah. Ini harus dibuatkan rumah khusus untuk burung walet sehingga mereka tidak terganggu oleh kita, Bu!” begitu penjelasan Pak Amat, sambil menikmati jagung rebus. Sesekali Pak Amat melempar jagung-jagung yang sedang dimakan ke arah ayam dan jagonya yang berada dikurungan. Ayam dan jago pun segera mematuk jagung-jagung tersebut dengan senang hati.
Tempat ayam dan jago yang berada dikurungan, hanya berjarak satu meter dengan Pak Amat dan istrinya yang sedang ngopi. Sambil terus minum kopi panas dan jagung rebus, mereka melanjutkan pembicaraan serius tentang rumah walet. Jago mendengar dengan jelas semua isi pembicaraan mereka perihal rumah walet. Dalam benak pikiran Jago, ada rasa ingin segera memberitahukan kabar baik ini kepada sahabatnya Lena dan Leni. Sayangnya Jago tidak bisa ke mana-mana karena dirinya sedang berada di kurungan.
***
“Kukuruyuuuk, kukuruyuuuk! Ayo bangun, sambutlah mentari pagi, sukses untuk semua di hari ini!” suara Jago di subuh terdengar nyaring penuh semangat. Semenjak berteman dengan walet, Jago semakin tampak berperilaku baik. Memang begitulah manfaat berteman dengan orang baik, akan menjadi baik. Sebaliknya kalau berteman dengan penjahat, biasanya akan menjadi jahat pula.
“Hai, Jago. Bagaimana kabarmu hari ini?!” sapa walet menghampiri ayam Jago di kurungannya. “Terima kasih ya, do’amu untuk semua makhluk sangat baik, menjadikan kami semua bersemangat bangun pagi-pagi. Wah, rupanya kandang tempat tinggalmu sebentar lagi akan selesai, Jago!” suara cicit walet sambil menunjuk pada kandang yang hampir selesai.
“Oh ya, kabar baik sahabatku. Kami semua sehat. Kemarilah! Ada berita gembira untuk kamu,” kata Jago ingin segera memberitahu temannya walet.
“Berita gembira apa, untuk siapa?”
“Ya berita gembira untuk kamu. Kamu juga akan dibuatkan rumah sendiri, khusus untuk kamu, agar tidak menempel pada rumah Pak Amat,” kata Jago dengan penuh semangat.
“Ah, yang benar?!” kata Lena si walet jantan, kurang begitu percaya. “Kamu dengar dari siapa?”
“Tentu dari Pak Amat lah,”
“Bagaimana, bagaimana coba ceritakan yang jelas,” pinta Lena dan Leni penasaran.
“Begini, kemarin sore sewaktu Pak Amat menyelesaikan kandang untukku, Pak Amat bercerita kepada istrinya kalau rumahnya yang besar ini mau digunakan khusus untuk rumah walet. Katanya agar kamu dan teman-temanmu bisa bebas bersarang dan tidak terganggu oleh Pak Amat, begitu katanya,”
“Terus Pak Amat sendiri mau tinggal dimana?” tanya Leni si walet betina dengan perasaan cemas kalau-kalau Pak Amat akan pindah jauh.
“Pak Amat akan membuat rumah baru di lahan pekarangan sebelah rumah yang sekarang,” kata Jago menjelaskan.
“Kalau begitu, ndak masalah. Artinya kita masih sama-sama hidup bersama Pak Amat. Saya senang hidup bersama Pak Amat. Orangnya sabar, penyayang, kepada semua orang termasuk kita. Iya kan?! Makanya saya betah di sini. Nanti kalau rumah ini sudah betul-betul untuk rumah walet, saya akan mengajak teman-teman untuk tinggal di sini.” Kata Leni penuh semangat.
“Iya, kita tetap tinggal bersama dengan keluarga Pak Amat yang baik hati. Saya juga senang, masing-masing kita dibuatkan rumah oleh Pak Amat.” Kata Jago kepada kedua walet temannya. Pada saat itu datang Bu Amat membawakan makanan untuk ayam-ayam dan jagonya. Lena dan Leni pun terbang meninggalkan Jago yang sedang diberi makan pagi oleh Bu Amat.
***
Tiga bulan kemudian, rumah baru Pak Amat sudah jadi. Rumah lama Pak Amat dibeli oleh pengusaha sarang burung walet dari kota dengan harga sangat mahal. Uangnya digunakan untuk membuat rumah baru dan separuhnya digunakan untuk biaya sekolah anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Sementara Pak Amat sendiri dipercaya oleh pengusaha sarang burung walet untuk menjaga rumah walet dimana Lena dan Leni serta teman-temannya tinggal. Walet-walet dan ayam Jago tetap berkumpul seperti keluarga sendiri.
Tiap subuh Jago tetap berkokok dengan suara yang merdu mengingatkan kepada semua makhluk hidup untuk berdo’a menyambut kehidupan baru, dihari itu. “Kukuruyuuuk, kukuruyuuuk! Ayo bangun, sambutlah matahari pagi, sukses untuk semua di hari ini!” dengan setianya Jago mendo’akan untuk semua makhluk hidup, sehingga hidupnya menjadi bermanfaat untuk orang lain. Demikian juga Lena-Leni dan walet-walet yang lainnya, dengan tekun membuat sarang terus menerus. Walupun beberapa sarang walet setiap bulan ada yang diambil oleh manusia, tetapi walet terus membuat sarang untuk memberi manfaat kepada orang lain. Walet merasa bahagia kerena hidupnya bisa bermanfaat.[]
Tulisan lain yang berkaitan:




