ISPI Berikan Pendapat Dalam RDPU Panja Evaluasi Dikdasmen DPR RI
Friday, 8 September 2017 (10:17) | 175 views | Print this Article

Ketua Umum ISPI, Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. saat menyampaikan pendapat kepada DPR RI, Senin (4/9/2017) di Gedung DPR RI.
Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) menghadiri undangan DPR RI untuk memberikan masukan terkait Panja Evaluasi Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) di Gedung DPR RI, Senin (4/9/2017) kemarin. Pengurus yang hadir Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. (Ketua Umum), Prof. Dr. H. Ahman, M.Pd. (Sekretaris Umum), Dr. Dr. Soepriyanto, M.Pd. (Wakil Sekretaris Umum), Prof. Dr. H. Udin S. Winataputra, MA (Dewan Pembina), dan Prof. Slamet (Anggota).
Berikut pendapat ISPI secara utuh.
PENDAPAT ISPI DALAM RDPU PANJA EVALUASI DIKDASMEN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT INDONESIA
4 SEPTEMBER 2017
Assalamu’alaikum wr wb.
Terima kasih dan apresiasi kami sampaikan atas undangan dan kesempatan yang diberikan kepada ISPI untuk menghadiri RDPU Panja Evaluasi Dikdasmen ini. Apresiasi dan terima kasih disampaikan juga kepada pihak Dikdasmen Kemdikbud yang telah berupaya keras mengawal penyelenggaraan pendidikan di tanah air. Dalam kesempatan ini ISPI tidak dalam posisi untuk memberikan penilaian kepada kinerja Dikdasmen, melainkan lebih melihat beberapa persoalan pendidikan di lapangan dan isu yang berkembang di masyarakat yang berimplikasi kepada perbaikan pendidikan masa depan dan apa yang harus dilakukan Negara dalam penyelenggaraan pendidikan. Pandangan ISPI ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan atau pengembangan rujukan yang dimaknai dalam konteks evaluasi yang dilakukan Panja, sehingga evaluasi tidak sebatas keterlaksanaan dan ketercapaian program secara kuantitatif melainkan secara kualitatif yang bermuara pada pengembangan kepribadian dan kesejahteraan warga negara.
1. Mengapresiasi kebijakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sebagai upaya menghidupkan kembali ruh pendidikan yang sesungguhnya. Esensi pendidikan dan fungsi pendidikan nasional yang digariskan UU No. 20/2003, khususnya Pasal 1 (1) dan Pasal 3 selama ini dirasakan terlupakan sebagai arah idealisme pendidikan. Dengan PPK idealism itu dicoba dikembalikan kepada posisinya. Kalau selama ini pendidikan nasional dipandang tidak membentuk karakter, itu disebabkan karena jiwa idealisme yang terkandung dalam pasal ayat dimaksud terabaikan di dalam regulasi, kebijakan, program, dan praktek penyelenggaraan pendidikan dan pendidikan dikooptasi oleh pencapaian hasil-hasil yang bersifat kognitif-kuantitatif. Pro-kons yang mengedepan di masyarakat pada saat ini adalah FDS dan LHS dan bukan PPK-nya. Kendatipun demikian FDS dan LHS sebagai dampak dari kebijakan PPK perlu mendapat perhatian karena berimplikasi terhadap sistem penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Studi Tim Universitas Pendidikan Indonesia (2017) merekomendasikan FDS dan LHS diterapkan secara kontekstual karena akan memberikan dampak yang berbeda bagi daerah perkotaan dan pedesaan, disamping harus memperhatikan aspek-aspek filosifis, historis, etnopedagogis, maupun ekonomi. PPK sebagai kebijakan perbaikan mutu pendidikan dan upaya mewujudkan pendidikan bermutu semestinya tetap diselenggarakan terlepas dari FDS dn LHS.
2. Dalam membangun pendidikan bangsa yang berkarakter, Pemerintah perlu menjadikan sekolah sebagai pusat kebudayaan. Untuk itu perlu reformulasi dan revitalisasi sekolah yang arahnya membangun kesadaran kultural peserta didik, memperkokoh jati diri kultural, membangun keunggulan lokal sebagai sumber inovasi dan kreativitas yang menumbuhkan daya adaptasi dan kompetisi, mewariskan nilai-nilai kehidupan, lingkungan, dan kesehatan, yang kesemuanya itu merupakan bahagian tak terpisahkan dan merupakan ciri dari kesuksesan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa kemaslahatan bagi bangsa dan ummat manusia.
3. Sisi lain yang perlu mendapat perhatian pada saat ini (masih terkait dengan pengembangan karakater) adalah mengembangkan sekolah aman dan damai (safe and peaceful school) untuk mengatasi dan mencegah perilaku kekerasan peserta didik. Perilaku kekerasaan baik verbal maupun non verbal dalam dunia pendidikan harus ditiadakan. Hasil penelitian (Kartadinata, 2016) menggambarkan dalam gaya berpikir (kognitif) anak SD tumbuh keyakian normatif bahwa tindakan kekerasan itu adalah sesuatu yang dibenarkan untuk dibalas dalam bentuk tindakan fisik dan agresif. Gaya berpikir seperti ini sangat membahayakan kehiduan berbangsa dan bernegara karena akan menumbuhkan potensi konflik dan kekerasan. Perlu ada perubahan mendasar paradigma pembelajaran dengan cara membangun iklim sekolah/kelas yang terintegrasi dengan substansi pelajaran sebagai strategi intervensi untuk memperbaiki dan mengembangkan gaya berpikir anak yang membentuk orientaasi nonviolent behavior. Negara tidak boleh terkecoh dengan dahsyatnya teknologi sehingga proses dan sumber-sumber pembelajaran dipandang bisa digantikan dan disiapkan dengan teknologi. Pikiran yang menempatkan teknologi sebagai substitusi pembelajaran adalah pikiran yang keliru, karena pendidikan bukan hubungan teknologis-kimiawi melainkan hubungan manusiawi yang memerlukan sentuhan-sentuhan emosional dan psikokultural. Teknologi dalam proses pendidikan dipandang dan diposisikan sebagai alat kerja (Griffin. 2012) dan yang harus dibangun sebagai cara kerja adalah komunikasi dan kolaborasi. Sistem manajemen dan kepimpinan sekolah secara struktural dan horizontal harus menumbuhkan kedamaian, motivasi, kerja keras, tanggung jawab, kolaborasi, etika dan tatakrama, serta penciptaan lingkungan fisik sekolah yang aman, bersih dan nyaman.
4. Penyelenggaraan Dikdas yang menyangkut Wajib Belajar 9 Tahun, sebagai satu keutuhan SD dan SMP harus diupayakan agar:
a. Penyelenggaraan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah. Ini berarti peserta didik: anak siapapun, di manapun, termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus, berhak mengikuti pendidikan tanpa membayar, dan memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu {Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20/2003}.
b. Setiap sekolah segera dilengkapi dengan fasilitas pendidikan yang memadai, termasuk lapangan oleh raga (sesuai dengan pasal-pasal dalam Bab VII PP No. 19/2005) dan kepada peserta didik diberikan (atau dipinjamkan) buku pelajaran dan buku tulis, terutama untuk mereka yang datang dari keluarga yang secara ekonomi tidak mampu. Di samping itu untuk daerah terpencil seperti Papua perlu dirintis sekolah berasrama.
c. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun mengakses seluruh anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, anak tak beruntung, populasi khusus, yang harus dilayanai dengan diversifikasi program layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi masing-masing, dan sekolah harus menyiapkan diversifikasi layanan secara inklusif. Implementasi layanan pendidikan inklusi di lapangan belum optimal karena regulasi yang ada belum disertai pengembangan dan pengawalan sistem secara utuh. Pemerintah perlu segera mereviu dan mengembangkan sistem pendukung penyelenggaraan layanan inklusi.
d. Sebagai persiapan memasuki pendidikan menengah, pada tingkat pendidikan dasar harus dirancang dengan sistematis sehingga hanya lulusan pendidikan dasar yang bersifat wajib, yang memenuhi syarat memasuki pendidikan menengah, dan yang tidak memenuhi syarat untuk untuk masuk SMA bisa dipersiapkan untuk memasuki SMK dan/atau latihan kerja (kursus) yang sifatnya jangka pendek untuk memasuki dunia kerja.
5. Penyelenggaraan Dikmen yang menyangkut SMA dan SMK perlu diupayakan agar:
a. Pendidikan menengah, terutama SMA harus benar-benar menjadi lembaga yang fungsi utamanya adalah menyiapkan peserta didik yang paling berbakat secara akademik memasuki Perguruan Tinggi. Dengan demikian, Universitas/Institut benar-benar menjadi melting pot antara excelent young generation dengan excelent schoolars.
b. Pendidikan menengah kejuruan dikembangkan sesuai dengan prinsip link and match dan disesuaikan dengan perkembangan dunia kerja. Lulusan SMK yang akan melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi harus diarahkan sesuai dengan kemampuan dasarnya sehingga dapat tersalurkan ke politeknik, program diploma, dan program profesional lainnya.
c. Untuk mengarahkan pilihan program dan pengembangan karir peserta didik baik di SMA maupun SMK hendaknya dilakukan asesmen keberbakatan akademik dan vokasional disertai dengan layanan bimbingan dan konseling (mencakup bimbingan karir) secara komprehensif yang diselenggarkan oleh Guru Bimbingan dan Konseling Profesional.
6. Pengawalan implementasi Kurikulum dan sistem asesmen di sekolah, yang diwujudkan dalam bentuk Bimtek, harus mendorong dan menumbuhkan kreativitas guru dan pimpinan sekolah dengan menguatkan guru dan pimpinan sekolah dalam:
a. Pemahaman merancang dan melaksanakan kurikulum dalam kaitannya dengan pencapaian Tujuan Utuh Pendidikan Nasional.
b. Pemahaman fungsi dan peran jenis dan jenjang pendidikan yang berada dalam tanggung jawabnya (guru dan pimpinan sekolah) sebagai terjemahan dari tujuan utuh pendidikan nasional.
c. Pemahaman dan kecakapan pengembangan proses pembelajaran yang tidak hanya di dorong oleh ujian nasional (examination driven curriculum), dimana pembelajaran semacam ini harus dihindari, karena tidak akan dapat mengembangkan seluruh kepribadian anak yang diperlukan untuk berkompetisi dan berkolaborasi dalam menghadapi tuntutan kemajuan dunia. Perhatian harus diberikan kepada pengembangan soft skill disamping hard skill yang pada saat ini lebih mendominasi proses pembelajaran. Asesmen otentik perlu mendapat perhatian sebagai alternatif dalam evaluasi pendidikan.
d. Pemahaman dan optimalisai peran bimbingan dan konseling sebagaimana ditegaskan dalam Permendikbud No. 111 Tahun 2014. Bimbingan dan Konseling perlu diberikan porsi yang proporsional sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagaimana digariskan pada Permendikbud dimaskud. Pada saat ini bimbingan dan konseling belum diperankan secara optimal dan masih dipandang tidak sama pentingnya dengan layanan pembelajaran bidang studi/ mata pelajaran.
7. Pengembangan dan pembinaan Guru (Pendidik) sebagai pemeran utama dalam implementasi kurikulum (penyelenggaraan pendidikan) harus dilaksanakan secara utuh dalam bingkai pemikiran:
a. Guru professional tidak sebatas guru yang menguasai kompetensi sebagaimana digariskan dalam UU atau sebagaimana diukur dengan UKG yang hanya mengukur sebahagian dari kompetensi, melainkan guru yang memiliki misi dan jati diri professional. Guru harus hadir di kelas dengan misi dan jati diri, yaitu pemahaman mendalam dan kesadaran untuk membawa peserta didik sebagai warga negara ke tujuan jangka panjang sesuai dengan tujuan pendidikan dan tujuan negara yang terhayati di dalam cara guru berpikir dan mengambil tindakan pendidikan. Pembinaan guru tidak berakhir dengan asesmen kompetensi sebagaimana diukur dengan UKG, karena hal-hal yang terkait dengan misi dan jati diri tidak terukur dalam uji kompetensi dimaksud. Misi dan jati diri perlu menjadi trajektori pengalaman belajar dan karir guru yang harus disiapkan oleh Pemerintah bersama-sama dengan organisasi profesi guru.
b. Sistem rekrutmen dan seleksi calon guru harus terkoordinasi dengan baik antara Kemristekdikti dengan Kemdikbud. Perlu dikembangkan sistem rekrutmen dan seleksi calon mahasiswa pendidikan guru secara khusus yang berbeda dari sistem rekrutmen dan seleksi calon mahasiswa non-guru. Persyaratan minimal bagi calon mahasiswa pendidikan guru seyogyanya lulusan SMA yang nilai matematikanya 7,0. atau sebagai lulusan unggul di sekolahnya. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk menyelenggarakan program ikatan dinas dan pendidikan guru berasrama bagi calon guru, ( perintah UU No. 14 tahun 2005 Pasal 23 (1)) agar lulusan terbaik dari SMA dan berasal dari keluarga yang kurang mampu, dapat ditarik menjadi mahasiswa calon guru.
c. Pendidikan prajabatan guru harus dilaksanakan sebagai pendidikan profesional yang utuh (bukan semata-mata S1 plus), seperti halnya pendidikan kedokteran. Sejak tahun pertama calon guru harus sudah mulai berkenalan dengan profesi kependidikan. Penguasaan disiplin ilmu harus dilaksanakan bersamaan (concurrent) dengan ilmu dan praksis pendidikan. Dengan demikian, pendidikan guru di mulai dari orientasi profesional dan di akhiri dengan kepemilikian kemampuan profesional. Bagaimanapun juga ISPI memandang perlu ada peninjauan kembali UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
d. Guru SMK, terutama guru-guru produktif, yang tidak mungkin dihasilkan seluruhnya oleh LPTK disiapkan secara kolaboratif dengan PT lain sesuai dengan bidang dan kompetensi yang diperlukan. Alih fungsi guru dari guru adaptif atau normatif ke guru produktif harus dipandng sebagai upaya darurat dan bersifat sementara.
e. Jaminan kesejahteraan bagi guru harus ditingkatkan meliputi perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan disamping gaji pokok dan tunjangan profesional, sehingga putra-putri terbaik bangsa akan mempunyai motivasi menjadi guru, dan guru akan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik profesional dapat berlangsung secara tenang dan penuh pengabdian.
8. Pendidikan sebagai tanggung jawab bersama antara keluarga, pemerintah, dan masyarakat perlu memperoleh penguatan dan penegasan peran dan fungsi sebagai satu keutuhan sistem, dalam bingkai pemikiran:
a. Pendidikan nonformal perlu mendapat perhatian khusus dan diberi penguatan akan fungsi dan perannya di dalam menyelenggarakan pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan universal 12 tahun, pendidikan untuk semua, pendidikan vokasional dan karir, pendidikan kebangsaan, dan penguatan pendidikan karakter. Pendidikan nonformal harus diposisikan sama dengan pendidikan formal sebagai proses dan upaya membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa pendidikan dan bangsa inovasi.
b. Pendidikan informal yang berlangsung di dalam keluarga adalah pendidikan pertama dan utama yang perannya tidak bisa digantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Pendidikan di dalam keluarga perlu mendapat perhatian Pemerintah untuk memberikan penyadaran dan pemahaman kepada masyarakat dan orang tua akan tanggung jawab terhadap pendidikan anak. Paradigma pendidikan harus bergeser dari paradigma pendidikan “dimonopoli” sekolah ke paradigma pendidikan berbagi dengan keluarga. Tanggung jawab keluarga perlu diposisikan sebagai hal yang utama di dalam pendidikan. Orang tua harus ambil tanggung jawab dalam perilaku anaknya, sehingga perilaku menyimpang dan kekerasan yang terjadi pada peserta didik tidak serta merta dilemparkan sebagai kesalahan sekolah melainkan lebih sebagai tanggung jawab pribadi anak dan keluarga. Perilaku semacam itu harus dikembalikan sebagai tanggung jawab pribadi anak dan orang tua sebagai wujud tanggung jawab keluarga dalam pendidikan anak. Sekolah diperankan sebagai pihak yang membantu anak dan orang tua dalam mengatasi/ menyelesaikan perilaku menyimpang dan kekerasan anak. Dengan demikian keluarga sebagai lembaga pendidikan turut menanamkan karakter dan tanggung jawab kepada anak sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan bangsa.
9. Otonomi pendidikan seyogyanya hanya sampai pada tingkat provinsi (hal ini berarti harus merivisi UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah dan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas). Otonomi pendidikan diberikan kepada daerah, mestinya berdasarkan hasil evaluasi nasional berbagai komponen penyelenggaraan pendidikan, terutama guru, sarana dan prasarana, dan pembiayaan telah memenuhi syarat. Otonomi pendidikan harus dimaknai sebagai otonomi untuk mengelola pendidikan nasional di daerah, agar mampu memenuhi standar nasional yang ditetapkan dan memperkokoh rasa kebangsaan. Oleh karena itu salah satu hal yang patut dipertimbangkan ialah mengembalikan pengelolaan ketenagaan guru secara terpusat ke tingkat nasional.
10. Anggaran pendidikan perlu disiapkan dalam kebijakan:
a. Pemerintah dan DPR secara sungguh-sungguh memahami makna yang tersurat dan tersirat dari pasal 31 tentang pendidikan dan melaksanakannya dalam wujud mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen APBN untuk penyelenggaraan pendidikan nasional.
b. Pemerintah dan DPR dapat melaksanakan ketentuan seperti diamanatkan UUD 1945, model penyusunan anggaran harus mengikuti pola Anggaran Negara Kesejahteraan (Social Market Economy System) yang mengalokasikan sekurang-kurangnya 60 persen dari APBN untuk pendidikan, kesehatan, pertahahanan nasional, administrasi negara, dan infrastruktur dasar, dan tidak menganut model anggaran negara liberal yang menganut Open Market Economy.
c. Anggaran yang dialokasikan diprioritaskan untuk pelaksanaan Wajib Belajar Dikdas 9 tahun, beasiswa untuk mahasiswa berbakat, beasiswa pelajar SMA yang berprestasi dan secara ekonomi kurang mampu, ikatan dinas mahasiswa calon guru, dan insentif bagi guru dan dosen.
11. Karena Pendidikan merupakan “bisnis” yang bukan hanya padat modal, tetapi juga padat karya dan padat moral serta melibatkan aset bangsa yang amat besar dengan taruhan (stake) yang besar pula (kemampuan bangsa untuk menjaga survival dan kemampuan berkompetisi), maka:
a. Sistem pengelolaan untuk seluruh jajaran dan jenjang dalam struktur sistem pendidikan nasional harus diletakkan atas dasar profesionalisme. Pengaruh politik praktis yang hanya mementingkan keuntungan golongan atau pribadi, atau fanatisme tertentu harus dihindarkan dan segera ditiadakan.
b. Pemilihan dan penunjukkan pengelola di seluruh jenjang struktur birokrasi sistem pendidikan harus didasarkan atas kemampuan dan komitmen moral seseorang untuk mengelola dan didasarkan atas merit sistem, bukan atas dasar KKN yang dalam jangka panjang amat merugikan bangsa dan negara.
c. Pendidikan adalah upaya yang hasilnya baru dapat dilihat pada masa ke depan yang cukup panjang. Oleh karena itu, pengambilan keputusan yang didasarkan atas kepentingan jangka pendek harus dihindarkan. Keputusan-keputusan yang diambil dalam pengelolaan pendidikan harus melalui pengkajian analisis dampak jangka panjang, dan bukan semata-mata kemauan pejabat pada saat menempati posisinya.
d. Sebagai akuntabilitas terhadap publik, pengelolaan sistem pendidikan harus dilakukan secara transparan, bebas KKN, terbuka, dengan mengembangkan dialog dengan stakeholders. Kritik bagaimanapun bentuknya harus dianggap sebagai masukan yang berguna, dan bukan dipersepsikan sebagai usaha merongrong kewibawaan, sehingga perlu dimusuhi.
e. Mengembalikan posisi dan peran keluarga dan masyarakat dalam partisipasi dan tanggung jawabnya secara bersama-sama dengan Pemerintah di dalam menyelenggarakan pendidikan. Kebersamaan bukan hanya dalam konteks sumber dana pendidikan melainkan dalam konteks pengembangan perilaku dan kepribadian anak. Pada saat ini terjadi persepsi seolah-olah pendidikan ini menjadi monopoli sekolah. Persepsi ini harus diluruskan dan dikembalikan kepada persepsi yang benar, karena akan sangat membahayakan atmosfir pendidikan yang bisa mengarah kepada munculnya potensi konflik antara sekolah dan keluarga atau masyarakat.
f. Partisipasi masyarakat dalam bentuk Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan Daerah perlu direvitalisasi (dan ini sudh terjadi) untuk memberikan penguatan kepada sistem manajemen, kepmimpinan, dan kolaborasi dengan berbagai pihak, dan partisipasi pembiayaan pendidikan untuk mewujudkan budaya pendidikan yang sehat.
g. Dewan Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang sampai saat ini belum jelas keberadaannya, semestinya perlu segera dibentuk dan diperankan dalam mengawal pendidikan nasional bersama-sama Pemerintah.
12. Di dalam keseluruhan penyelenggaraan pendidikan dengan mengacu kepada Srandar Nasional Pendidikan, Pemerintah perlu:
a. Melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional serta akreditasi tingkat kelayakan sekolah di seluruh Indonesia. Evaluasi diperlukan untuk memperoleh gambaran nyata tentang mutu pelayanan pendidikan dalam sembilan komponen penyelenggaraan pendidikan yang tertuang dalam Pasal 2 PP No. 19/2005.
b. Menyusun program dan melaksanakan secara konsisten program-program tersebut untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang ditetapkan dalam PP No. 19/2005 dengan urutan prioritas; guru, sarana dan prasarana, isi dan proses, penilaian, pembiayaan, pengelolaan dan yang terakhir kompetensi lulusan.
13. Sebagai catatan akhir, ragam regulasi, kebijakan, program, dan kegiatan yang diluncurkan untuk perbaikan mutu pendidikan perlu divalidasi konsistensinya secara filosofis dan konstitusional, disertai dengan penyiapan sistem yang mendukung implementasi kebijakan dalam line of command yang jelas dari pusat sampai sekolah/ satuan pendidikan.
Jakarta, 4 Sptember 2017
Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia
Ketua Umum , Sekretaris Umum,
Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. Prof. Dr. Ahman, M.Pd.
Daftar Pustaka
Kadarohman, Asep dan Tim. 2017. Kajian Akademik Tentang Hari Sekolah Trkait
Penguatan Pendidikan Karakter. Universitas Pendidikan Indonesia
Kartadinata, Sunaryo dan Tim. 2016. Strategi Pengembangan Gaya Kognitif Untuk
Mengendalaikan Perilaku Kekerasan Pada Anak Sekolah Dasar. Universitas Pendidikan Indonesia
Griffin, Patrick and Team. 2012. Assessment and Teaching of the 21st Century Skills.
Springer. Melbourne, Australia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Bimbingan dan
Konseling pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah
Tulisan lain yang berkaitan: