BENAHI PENDIDIKAN PANCASILA
Thursday, 20 June 2019 (07:33) | 145 views | Print this Article
Oleh: Mukhlis, S.Pd., S.Ip.
Guru SMP 3 Sragi Pekalongan, Jawa Tengah
Dalam suatu kesempatan Presiden Jokowi meminta kepada jajaran institusi pendidikan untuk memperkuat pendidikan Pancasila kepada siswa. Tentu bukan tanpa alasan. Permintaan tersebut merupakan sikap Kepala Negara yang prihatin terhadap situasi akhir-akhir ini yang dirasa siswa kurang memahami Pancasila. Bukan berarti saat ini pendidikan Pancasila belum diajarkan di sekolah-sekolah, barang kali maksudnya untuk lebih ditingkatkan lagi kualitas pendidikan Pancasila tersebut agar sampai pada tataran perilaku yang mencerminkan para siswa mengerti betul apa itu Pancasila.
Kalau mau jujur, pelaksanaan pendidikan Pancasila yang diajarkan di sekolah memang masih sebatas pengetahuan, Oleh karena itu hasilnya mereka tahu (knowing). Sementara itu, seorang yang tahu belum bisa menggerakkan orang tersebut mau melaksanakan. Ia harus merasa (feelling) kalau yang ia tahu bernilai, bermanfaat bagi dirinya sehingga hatinya tergerak dan akhirnya mau bertindak (doing), melakukan sesuai pengetahuan dan perasaan yang ia yakini kebenarannya. Dengan kata lain, prasyarat keberhasilan pendidikan Pancasila, pendidikan yang dilaksanakan harus menyentuh pada aspek knowing, feelling, dan doing. Dua aspek yang terakhir ini yang belum dibiasakan dalam pendidikan Pancasila selama ini.
Apalah artinya siswa kita tahu banyak tentang Pancasila, bisa menjawab soal ujian tentang Pancasila dengan nilai seratus, tetapi masih saja suka tawuran antar pelajar? Sungguh model pendidikan macam ini rasanya kurang tepat dan jauh dari harapan upaya pembentukan karakter bangsa yang baik. Model pendidikan, khususnya model pendidikan Pancasila harus dibenahi. Pendidikan Pancasila harus mencakup pengetahuan (knowledge) yang mampu mendorong tumbuhnya rasa (feeling) nilai-nilai Pancasila itu sebagai sesuatu yang penting dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga hatinya tergerak untuk menerapkan nilai tersebut dalam perbuatan perilaku sehari-hari (doing).
Untuk mencapai kualitas pendidikan yang mencakup ketiga unsur tersebut, perlu ada pembenahan pembelajaran pendidikan Pancasila di sekolah. Dalam kurikulum terbaru, jumlah jam tatap muka untuk mata pelajaran Pancasila sudah ditambah dari dua jam menjadi tiga jam pelajaran. Namun sesungguhnya bukanlah sekedar penambahan lamanya jam pelajaran, melainkan pembenahan kualitas pembelajarannya. Kualitas pembelajaran Pancasila harusnya lebih menekankan pada olah rasa sehingga nilai-nilai Pancasila mampu menjadi karakter siswa. Atau bahkan pendidikan Pancasila ini bisa mewarnai upaya pendidikan karakter siswa Indonesia secara umum, sehingga pendidikan karakter bisa diarahkan menjadi karakter Pancasila.
Apa itu karakter Pancasila? Secara sederhana karakter Pancasila adalah karakter siswa (generasi muda) yang diwarnai nilai-nilai Pancasila; yakni sosok siswa yang pluralis mau menerima perbedaan dan paham betul bahwa perbedaan itu merupakan sunatullah, sesuatu yang datang dari ketentuan Tuhan. Oleh karenanya ia harus menerima dengan baik sebagai bagian sikap takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ia juga seorang siswa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, juga seorang siswa yang mengutamakan persatuan walaupun dalam suasana yang berbeda; selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa/ negara Indonesia dengan menyadari betul kebhinekaan yang ada.
Tentu untuk terbentuk kualitas pembelajaran semacam itu perlu dibenahi dulu keterampilan mengajar guru-guru mata pelajaran Pancasila, sehingga para guru pendidikan Pancasila mampu dan terampil melaksanakan pembelajaran Pancasila yang berkualitas, yang mengukur keberhasilan belajar siswanya tidak lagi dari sisi ‘knowledge’ pengetahauannya saja melainkan lebih komprehensif lagi dengan memperhatikan sisi sikap dan karakter siswa.
Pendidikan Pluralisme
Dari sekian banyak aspek pendidikan Pancasila yang selama ini dipelajari, barangkali yang paling penting dan mendesak adalah terbentuknya sikap pluralis pada diri siswa. Mengapa demikian? Untuk menjawabnya, silakan kita menganalisis pada setiap kejadian tawuran antar pelajar, ataupun kekerasan antar etnik dan kelompok yang berbeda, semua itu terjadi karena tidak adanya pemahaman pluralitas diantara pelakau-pelaku kekerasan tersebut. Dengan kata lain, selama ini siswa terlewatkan dari pendidikan pluralisme.
Para siswa mengetahui kalau bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku, budaya, adat-istiadat, bahasa, agama yang dianut. Tetapi sayangnya pengetahuan tersebut tidak diimbangi pemahaman pentingnya bersikap menghargai satu sama lain. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, sikap plural pada siswa belum terbentuk. Yang menonjol dalam benak pikiran mereka adalah semangat kesukuan, mementingkan kelompoknya, kesamaan agamanya dan menolak hal-hal yang berbeda. Seolah-olah sesuatu yang berbeda tidak boleh terjadi. Pemahaman seperti inilah yang harus dibenahi.
Harapan yang mungkin bisa untuk membenahi kondisi pemahaman yang kurang tepat ini adalah melalui pendidikan Pancasila yang benar, yakni pendidikan Pancasila yang mengupayakan siswanya mengetahui (knowing), dan merasa (feelling) nilai-nilai Pancasila itu penting untuk diterapkan sehingga pada akhirnya mau berbuat (doing), bertindak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila tersebut. Pendidikan pluralisme perlu menjadi inti pendidikan Pancasila, sehingga konsep bhineka tunggal ika yang terdapat dalam simbol negara Garuda Pancasila bisa dipahami oleh seluruh anak bangsa.
Pentingnya nilai pluralisme bagi bangsa Indonesia dalam pendidikan Pancasila harus ditekankan kepada setiap siswa. Ini penting untuk membentuk warga negara yang bisa hidup rukun damai dalam nuansa perbedaan. Sebagaimana kita ketahui bangsa Indonesia merupakan bangsa yang multi etnik, multi budaya, sehingga perbedaan dalam kehidupan sehari-hari itu adalah sesuatu hal yang pasti ada. Perbedaan harus dipahami sebagai sesuatu yang wajar, alami, sehingga tidak perlu lagi harus sama.
Sikap bisa memahami perbedaan inilah inti dari nilai pluraisme. Nilai ini pula yang dipesankan oleh para pendiri negara ini untuk selalu dilaksanakan dalam hidup bersama dalam rumah besar bernama Negara Republik Indonesia. Bhineka Tunggal Ika: walaupun kita ini (bangsa Indonesia ) bermacam-macam suku, adat, ras, dan agamanya, namun kita ini satu keluarga, menjadi bagian dari rumah besar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu oleh para pendiri negara, sesanti (semboyan) Bhineka Tunggal Ika dijadikan bagian simbol negara: Garuda Pancasila.
Pendidikan Karakter Pancasila
Pendidikan Pancasila yang selama ini diajarkan di sekolah, perlu dibenahi dengan menjadikan nilai pluralisme menjadi inti dari pembentukan karakter siswa. Pluralisme bukanlah hal yang baru bagi bangsa Indonesia, karena sejak berdirinya negara ini sudah ditancapkan kuat-kuat oleh para pendiri negara dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai simbol negara. Masihkah kita mencari nilai-nilai lain dalam pendidikan karakter bagi siswa, jika kita sudah mempunyai nilai-nilai Pancasila?
Pendidikan merupakan jalan utama bagi suatu bangsa untuk melestarikan kebudayaannya. Budaya yang dibentuk dari kumpulan nilai-nilai luhur secara terus menerus dilestarikan dan berkembang selanjutnya menjadi pranata yang menjaga kehidupan bangsa tersebut. Nilai-nilai yang melekat, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan mewarnai kehidupan itulah menjadi karakter bangsa. Bagi bangsa Indonesia karakter bangsa yang dipilih bersendikan Pancasila. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa karakter bangsa Indonesia adalah karakter Pancasila.
Berdasar kenyataan ini pula hendaknya pendidikan Pancasila di sekolah harus mampu mewujudkan pendidikan karakter Pancasila bagi siswanya. Jika pelaksanaan pendidikan Pancasila masih sebatas un tuk tujuan nilai prestasi akademik yang disimbolakn dengan nilai ujian yang tinggi belaka, maka pendidikan Pancasila bisa dikatakan belum berhasil. Dan faktanya saat ini masih banyak yang mempertanyakan sejauh mana pendidikan Pancasila bisa membentuk karakter siswa.
Mari benahi pendidikan Pancasila menjadi semakin berkualitas.
***
Tulisan lain yang berkaitan:




