Oleh Dr. Cecep Darmawan, M.Si (Direktur Kemahasiswaan UPI, Universitas Pendidikan Indonesia)
Indikasi pelanggaran dan kecurangan masih menyimpan persoalan dalam ujian nasional, baik di tingkat SMP maupun SMA dan sederajat, yang baru saja usai. Kebocoran soal sulit diungkap. Temuan ini merupakan salah satu catatan, sekaligus kecacatan penyelenggaraan ujian nasional (UN) yang hampir setiap tahun selalu berulang. Di Jawa Barat ditemukan juga sejumlah pelanggaran ringan lain, seperti pengiriman soal tidak dikawal aparat keamanan (polisi), dan petugas pengawas UN dari guru bidang studi bersangkutan, termasuk ada SMS liar yang berkeliaran di antara peserta UN.
Itulah sebagian dari potret buram UN di republik ini. Temuan-temuan itu perlu disikapi secara bijak dan ditindaklanjuti secara proporsional. Bahkan, saya memandang bahwa melalui temuan itu, serta dengan semangat nasional yang sedang berkembang saat ini pula, temuan-temuan pelanggaran penyelenggaraan pendidikan itu dapat dijadikan sebagai momentum pemberantasan “mafia pendidikan”.
Tanpa harus dimaknai ikut-ikutan dengan istilah yang sedang hangat saat ini, kebutuhan untuk membentuk satgas pemberantasan “mafia pendidikan” menjadi sangat penting, khususnya dalam mendorong penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas di Jabar khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.
Pembuktian terbalik
Ada beberapa alasan atau argumen penting yang bisa digunakan untuk melakukan pemberantasan mafia pendidikan.
Pertama, pembenahan model penyelenggaraan evaluasi pendidikan (seperti UN) ini adalah dalam rangka meningkatkan sistematika dan kesinambungan pembelajaran. Pihak perguruan tinggi belum memercayai model UN dan tidak mau menggunakan hasil UN sebagai standar kompetensi lulusan dalam memasuki perguruan tingginya. Fakta ini menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan lembaga pendidikan terhadap sistem evaluasi pendidikan (khususnya UN) masih minim. Kejadian ini bisa jadi turun pula pada rendahnya kepercayaan pengelola pendidikan di SMA/MA terhadap hasil UN SMP/MTs, atau yang lebih rendah lagi.
Rangkaian ketidakpercayaan ini merupakan refleksi akhir dari pengakuan pelaku pendidikan terhadap rentannya sistem evaluasi nasional (UN) dari kecurangan. Dan sudah tentu, hal ini memberikan dampak pada tidak efektifnya penyelenggaraan UN sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang sehat. Dengan kata lain, pemberantasan mafia pendidikan, termasuk penyehatan penyelenggaraan UN, adalah bagian penting dari penyehatan sistem pendidikan nasional.
Kedua, berbagai temuan pelanggaran UN, baik di Jabar maupun di luar Jabar, merupakan sebagian fakta bahwa penyelenggaraan UN belum sehat. Kendati temuan itu belum tentu fenomena gunung es, pelanggaran ini merupakan penyakit lama yang terus dipelihara sekelompok orang.
Dengan sistem penyelenggaraan UN yang dilakukan tahun 2010, pada dasarnya ruang gerak mafia pendidikan atau “tim sukses” UN jauh lebih sempit dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, kita masih tetap prihatin dengan penyelenggaraan UN ini.
Ketiga, meminjam istilah hukum, pembuktian ada tidaknya mafia pendidikan atau mafia UN dapat dilakukan dengan pembuktian terbalik. Melalui satgas pemberantasan mafia pendidikan (mafia UN), diharapkan dapat dilakukan pembuktian terbalik pada hasil UN.
Khusus untuk wilayah Jabar, misalnya, pada tahun 2009 ditemukan sekolah/madrasah yang memiliki rata-rata hasil UN di atas 8,00, bahkan tidak jarang ada siswa yang mendapatkan nilai hasil UN mendekati angka sempurna (nilai 10). Bila capaian nilai UN itu benar, ada tiga persoalan penting yang terjadi dalam kejadian ini, yaitu (1) kualitas soal UN sangat rendah karena ternyata hampir seluruh peserta UN dapat menyelesaikan soal dengan baik, (2) ketentuan pemerintah terhadap standar kompetensi lulusan (SKL) yaitu 5,00 masih terlalu rendah,dan (3) kualitas pendidikan di negeri kita sudah baik.
Sekali lagi perlu ditekankan, tiga dugaan itu perlu dijawab dengan terbuka. Andai kita dapat mengafirmasi terhadap pertanyaan-pertanyaan itu, kita dapat menerima hasil UN secara ikhlas. Namun, bila kita meragukan terhadap tiga hal itu, hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan UN masih jauh dari yang diharapkan. Dalam rangka menghapus keraguan, sekaligus menghapus mafia pendidikan ini, pembuktian terbalik perlu dilakukan.
Perguruan tinggi, tim independen, dan atau Dewan Pendidikan perlu melakukan kajian intensif terhadap masalah ini. Polisi sebenarnya bisa diajak bekerja sama mengusut kecurigaan lembar jawaban yang variasinya mirip bahkan sama. Asal muasal jawaban via SMS yang diterima sejumlah oknum siswa dapat ditelusuri melalui telepon seluler milik oknum siswa.
Keempat, kebutuhan kita melakukan pembenahan, pengawasan, dan pemberantasan mafia pendidikan ini diorientasikan untuk membangun penyelenggaraan UN yang sehat. Saya berpikir, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa hanya dapat diwujudkan bila didukung SDM bersih dan berwibawa. SDM yang bersih dan berwibawa tidak mungkin hadir tanpa adanya penyelenggaraan pendidikan yang bersih dan berwibawa.
Penyehatan
Pada konteks itulah, pemberantasan mafia pendidikan perlu diposisikan. Pada konteks itu jugalah, misi peningkatan kualitas pendidikan perlu dilakukan. Khusus terkait dengan agenda pendidikan di Jabar, upaya peningkatan indeks pendidikan manusia (IPM) Jabar dapat dilakukan melalui peningkatan penyehatan penyelenggaraan pendidikan. Minimal penyehatan penyelenggaraan evaluasi pendidikan nasional.
Kebutuhan melakukan penyehatan penyelenggaraan evaluasi pendidikan ini memang berdampak luas. Misalnya saja, isu mengenai pengetatan dan pendisiplinan penyelenggaraan UN ini ternyata berdampak psikologis yang sangat luar biasa. Karena tidak ada kesiapan mental, baik dari siswa maupun segelintir oknum guru, respons terhadap UN malah ditunjukkan dengan cara negatif. Tidak jarang, karena ada pengetatan kedisiplinan penyelenggaraan, UN malah berubah menjadi “stres nasional” (SN).
Terakhir, ulasan ini tidak dimaksudkan meruntuhkan kredibilitas penyelenggaraan UN. Upaya yang kita bangun ini justru mendukung dan berusaha keras membangun kredibilitas UN sehingga penyelenggaraan pendidikan nasional di negeri kita bisa berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Berdasarkan pertimbangan inilah, penyelenggaraan UN dan pasca-UN SMA, SMP dan SD ini dapat dijadikan momentum terbaik oleh perguruan tinggi khususnya untuk mengkaji secara intensif terhadap hasil dan proses UN. Sesungguhnya, pembuktian ada tidaknya pelanggaran bukan hanya dari proses tes itu sendiri, melainkan juga dapat dilihat dari hasil UN. CECEP DARMAWAN Direktur Kemahasiswaan Universitas Pendidikan Indonesia
memang benar fakta di lapangan seperti itu, buktinya banyak yang jadi tim sukses dalam UN, sehingga tidak heran ada yang nilai matematikanya 9,8, padahal kalau mau jujur rasa nya sangat tidak mungkin maka kalau begitu kita berantas mafia-mafia pendidikan yang akan menghancurkan bangsa ini
ffakta yang terjadi memang seperti itu.untuk memberants mafia pendidikan ini sebaiknya di mulai dari atas.Seorang guru tak akan berani menyuruh anak mencontek/memberikan contekan klau tidak ada instruksi dari atasan.pendidkan kita sudah ‘sakit’ perlu komitmen bersama agar sehat