Oleh Prof. Engkoswara, M.Ed (Dewan Pembina ISPI, Mantan Ketua Umum ISPI, Guru Besar UPI)
Gerakan peningkatan anggaran pendidikan telah lama didengungkan, misalnya sidang MPRS 1962 mengajukan anggaran pendidikan 20%, ISPI dalam kongres pertama 1984 mengajukan biaya pendidikan 25%, selanjutnya ISPI pada dengar pendapat umum 1998 lagi-lagi mengusulkan pembangunan yang memprioritaskan pendidikan dengan biaya minimal 20% tetapi kurang mendapat tanggapan yang sungguh-sungguh. Menjelang sidang MPR 2001 dalam rangka amandemen UUD 1945 ISPI berperan lagi mengajukan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (Prof. Sudijarto dkk) dengan mengadakan studi banding ke berbagai belahan dunia. Akhirnya pada sidang MPR 2002 terjadilah amandemen UUD 1945 ke IV dengan mencantumkan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN dan APBD. Tapi ketetapan ini tidak secara otomatis, maka PGRI dan ISPI menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan gugatannya dikabulkan tahun 2006 bahwa Pemerintah harus memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%. Berbagai gonggongan terus dilakukan, sekalipun dengan penuh gerutuan akhirnya baru disetujui yang dipidatokan Presiden dalam sidang MPR 2008 bahwa Pemerintah akan memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% APBN mulai tahun 2009.
Apakah yakin dengan anggaran yang besar pendidikan akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia pemilik hari esok yang lebih baik? Secara teoritis jawabannya ya, tetapi dalam praktek bisa lain bahkan bisa malapetaka yang tidak diharapkan. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengawal APBN pendidikan minimal 20% secara demokratis. Jimly Assidiqi, dalam ceramah ramadhan 5 September 2008 di Orwil ICMI Jawa Barat menuturkan sangat urgen membahas tuntas upaya untuk mengawal APBN 20%. Bagaimana? Ada beberapa langkah yang perlu diadakan untuk mengawal anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%.
Pertama, tegakkan komitmen. Keyakinan dan semangat untuk meningkatkan produktivitas manusia melalui pendidikan yang merata, berkualitas, relevan, bernilai ekonomik dan efisien harus tetap ditegakkan oleh semua. Tak ada satu komponen bangsa pun yang mundur setapak pun, baik bagi pejabat tinggi negara maupun rakyat. Bahkan secara bertahap dan berangsur-angsur harus ditingkatkan. Sejarah menunjukkan bahwa negara-negara yang maju, mereka komit terhadap upaya meningkatkan kualitas sember daya manusia melalui pendidikan yang produktif dalam rangka menumbuh-kembangkan ekonomi kerakyatan. Betapa tidak, manusia adalah tujuan dan penggerak untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Manusia yang akan merasakan pahit manisnya kehidupan dan manusia sendiri yang menggerakan dirinya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Kedua, dasar untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah dinamika sistem nilai atau budaya (lokal, nasikonal dan global)
Dewasa ini Indonesia masih dihinggapi krisis multi dimensi yang berkepanjangan dan memprihatinkan serta belum menemukan apa sebab utama yang mendasar, masih berkutat sekitar agama dan kemasyarakatan, politik dan ekonomi. Tawuran terus berlanjut, antar kampung, desa, aparat bahkan anatar dan inter kampus tempat para intelektual menimba ilmu terjadi dan korupsi sulit berhenti. Malas berusaha, belajar dan bekerja sehingga pengangguran tubuh subur dan kemiskinan meraja lela. Kreativitas mengerdil ada yang lebih suka miras, kekerasan, mutilasi dan pembunuhan yang sadis di luar peri kemanusiaan dan HAM.
Apa yang salah dengan Indonesia?
Kehidupan beragama? Bukan, kelas menengah ke atas sangat subur dan semangat sehingga berapapun biaya pelatihan spiritual dan kalbu terus diburu dengan biaya mahalpun di bayar.
Politik? Bukan, pilkada marak di mana-mana dan DPR dengan multi patai bergairah.
Ekonomi? Bukan, uang banyak pinjam-pinjam juga, berapapun mobil dan motor dibuat habis terjuan, komunikasi sangat maju dan merakyat si empok tukang sayur gendangpun memiliki telepun genggam.
Disinyalir ada sistem nilai atau budaya tematik yang diabaikan bahkan ditinggalkan (Juono Sudharsono, Menhan RI). Indonesia mempunyai budaya yang adi luhung. Falsafah negara dan pandangan hidup bangsa ialah Pancasila yang begitu luhur, absetrak dan mendunia, langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga seolah-olah bisa berbuat apa saja dengan payung Pancasila. Tak ada filter yang membingkai karakter bangsa yang tematik yang menjadi budaya bangsa. Pada hal ini ada dalam budaya daerah, nasional maupun global. Konkritnya dalam budaya Sunda dan Sulawesi Selatan, Pembukaan UUD 1945 yang sakral dan kebal amandemen tetapi hanya dikeloni saja, budaya global dan ajaran agama dunia. Ada 3 aspek budaya dasar yang menjadi simpay trilogi kompetensi kehidupan di Indonesia yang dituruntas dari Pancasia secara tematik yang diharapkan dikjadikan filter:
Iman yang membawa kehidupan yang damai.
Manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa bersifat universal, sama di hadapan-Nya. Kesamaan terletak pada iman dan taqwa kepada-Nya. Iman yang membawa kedamaian yang teriri atas: 1) Kehidupan yang bersih lahir batin dan bersih lingkungan. Kebersihan sebagian dari iman. 2) Sehat jiwa raga, “men sano incopori sano”. 3) Disiplin terhadap aturan atau pedoman hidup (bagi ofrang Islam Al Qur’an), terhadap undang-undang, peraturan dan konvensi yang berlaku, 4) Hormat kepada orang tua dan pemimpinnya yang baik. 5) Jujur yang ikhlas. 6) Mempunyai pandangan hidup atau wawasan masa depan yang baik.
Iman yang membawa kedamaian diturunkan dari sila Ketuhan Yang Maha Esa adalah dasar kehidupan sebagai warga negara yang bertanggungjawab (civics responssibilities). Damai, rukun, laras dan luyu, menjauhi permusuhan, tawuran dan kerusuhan. Iman hasil olah hati atau kalbu dan olah raga yang menghasilkan manusia yang sehat lahir batin sebagai etika dalam pergaulan antar sesama manusia.
lmu amaliah yang membawa kehidupan mandiri.
Manusia makhluk Tuhan Yang Maha Esa hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa atau berkelompok-kelompok untuk saling mengenal saling nasihat menasihati. Manusia tidak dapat melepaskan diri dari manusia lain sehingga menjuluki dirinya sebagai makhluk sosial. Pengelompokan yang terbaik sekarang ini ialah berdasarkan pekerjaan atau profesi yang dilandasi penguasaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dari yang sederhana sampai kepada yang sangat canggih. Pekerjaan untuk mendapatkan nafkah yang layak sehingga apabila setiap orang mau dan mampu mencari nafkah minimal untuk dirinya sendiri dan menafkahkan sebagian kecil rizkinya kepada yang membutuhkan maka pengangguran berangsur-angsur menyusut dan kemiskinan menipis bahkan menghilang dari Bumi Pertiwi. Mempunyai ilmu sedikitpun diamalkan untuk kehidupan yang lebih baik sehingga terjadi ilmu amaliah, suatu kehidupan yang mandiri yang tidak tergantung kepada orang lain sebagai tanggung jawab sosial ekonomi (social economic responssibilities).
Ilmu amaliah yang membawa kehidupan mandiri diturunkan dari sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ilmu amaliah hasil olah pikir, otak, akal, terampil dan mahir sebagaai logika dalam berbuat yang sistematis dan ajeg.
Indah yang membawa kehidupan yang adil.
Manusia makhluk Tuhan Yang Maha Esa mempunyai karakteristik sendiri yang khas dan berbeda satu sama lain. Tidak ada dua makhluk yang sama sekalipun pada kembar siam yang berasal dari satu telur. Keragaman terletak pada kreatifitas peribadi terpuji masing-masing yang selalu ingin menampilkan yang terbaik yang mempunyai nilai lebih atau tambah yang adil bila mendapat penghargaan.
Adil diturunkan dari sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kreatif pribadi terpuji itu suatu seni hidup yang tinggi yang bernilai indah atau estetika dalam kebersamaam. Penghargaan diterima oleh yang bernilai lebih atau tambah. Indah yang membawa kehiduoan yang adil hasil olah kreatif pribadi terpuji atas tanggung jawab pribadi (personal respossibilities).
Keutuhan, keselarasan dan keharmonian ketiga sistem nilai atau budaya iman, ilmu amaliah dan indah (3I) merupakan trilogi kompetensi kehidupam atau karakter yang seyogyanya diacu oleh setiap insan untuk mencapai kehidujpan yang lebih baik di masa depan yang semakin rumit, sulit dan dinamik tetapik kaya akan peluang.
Ketiga, program prioritas
Program utama menanamkan budaya itu ialah pendidikan sepanjang hayat yang sinambung antara pendidikan dalam kelurga (informal), pendidikan dalam masyarakat (nonformal) dan sekolah (formal) yang produktif (Merata, berkualitas, relevan dan efisien) dan murah/terjangkau oleh rakyat. Pendidikan yang gayut dengan kesehatan bagi semua, perluasan lapangan kerja bagi remaja dan pemuda/i dan ekonimi kerakyatan yang menjadi masalah dewasa ini. Semangat ini harus diinformasikan dan dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat dan rakyat Indolnesia sehingga menjadi darah dagingnya sendiri.
Pendidikan itu masalah besar, sebesar kehidupan sendiri, sehingga biaya 20% tak akan cukup, oleh karena itu perlu ada prioritas yang tepat supaya biaya yang besar itu bermanfaat di ataranya:
Pertama, guru dan tenaga kependidikan yang profesional dan sejahtera.
Masa depan generasi muda berada di tangan guru dan tenaga kependidikan yang mampu dan mumpuni. Itu sebabnya mereka harus dipersiapkan secara profesional dan mahir dalam membekali mereka di masa depan yang semakin baik tetapi rumit, sulit dan banyak tantangan. Selain dari itu guru dan tenaga kependidikan seyogyanya sejahtera supaya kerjanya konsentrasi pada jawabatan yang diembannya. UU Guru dan Dosen akan meningkatkan kesejahteraan mereka tetapi kalau basis dasarnya terlalu rendah seperti sekarang masih sekitar di bawah dua juta memaksa guru dan tenaga kependidikan pontang panting mengajar di tempat lain dari kampus ke kampus. Karana itu masih harus diperjuangkan gaji guru minimal yaitu minimal 4 juta per bulan secara progresif dan gaji guru swasta menyesuaikan.
Kedua, wajar pendidikan dasar 9 tahun menuju wajar 12 tahun yang berkualitas dan fungsional. Syarat minimal ialah pendidikan dasar 9 tahun yang bermutu dan fungsional dan berangsur-angsur menuju wajib belajar 12 tahun. Tentu tidak sekadar lulus tetapi harus kuat dan mempunyai nilai ekonomi. Dewasa ini tamatan SMP tidak semua langsung meneruskan ke SMA/K baru sekitar 40%, sedangkan tamatan SMA/K baru 25% langsung ke Perguruan Tinggi. Selebihnya terjun ke masyarakat untuk persiapan bekerja. Karena itu perlu dibekali dengan kecakapan hidup berbasis unggulan lokal sebagai persiapan untuk memulai bekerja yang baik yang sungguh-sungguh dipersiapkan.
Ketiga, pendidikan tinggi yang profesional dan menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna untuk keperluan masyarakat yang sedang membangun.
Pendidikan tinggi bukan hanya menyiapkan tenaga profesional yang mahir tetapi dituntut untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna dari yang sederhana sampai kepada yang sangat canggih untuk membangun masyarakat desa yang dewasa ini masih sangat tertinggal yang harus diberdayakan.
Keempat, pendidikan anak usia dini dan pendidikan berkelanjutan.
Anak usia dini memerlukan pembekalan yang baik sebagai bahan masukan untuk pendidikan selanjutnya. Selain dari itu pendidikan berkelanjutan berguna untuk meningkatkan manusi di luar sekolah yang belum beruntung memasuki sekolah sampai pendidikan orang dewasa dan lansia masih diperlukan pendidikan lanjutan.
Kelima, pencegahan narkoba dan HV Aid.
Penyalahgunaan narkoba dan HV Aid mutlak perlu disembuhkan dan dicegah yang menjadi penyakit masyarakat Indonesia khusunya generasi muda di masa depan.
Keenam, anggaran yang efektif dan efisien, jangan ada kebocoran.
Ahirnya tentu perencanaan, penggunaan dan pengawasan anggaran pendidikan yang besar itu harus jujur yang efektif dan efisien, tidak ada kebocoran sehingga bermanfaat bagi semua.
Itulah beberapa upaya untuk mengawal anggaran pendidikan 20% APBN yang akan diberlakukan mulai 2009 dan diikuti dengan APBD. Semoga ada manfaatnya dengan ridlo dan naungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Comments 706