Oleh ROTO (Ketua Umum AGUPENA Cabang Kabupaten Semarang)
“WES ewes bablas angine,” demikian bunyi iklan produk jamu yang dipopulerkan oleh almarhum Basuki, kemudian penulis plesetkan menjadi: “Wes ewes bablas malese, bablas bandele dan seterusnya,” dengan konotasi positif untuk menatap masa depan yang penuh tantangan. Tantangan adalah kenyataan yang harus dihadapi bukan dihindari. Jika mampu mengatasi tantangan tersebut, hasilnya adalah kecerdasan selanjutnya menjadi juara.
Masa depan adalah milik kita, milik pribadi kita, sekaligus milik anak cucu kita yang sedang diperingati Hari Anak Nasional 23 Juli 2010, bulan lalu. Siapapun tidak akan mampu membendungnya, jika suatu pribadi telah menentukan pilihannya. Sepanjang pilihan tersebut di sadari dan diyakini nilai kebenarannya. Maka, mendidik mindset juara, dan mengaplikasikannya merupakan bagian utama dari tugas guru dan tugas orang tua, sekaligus tugas pribadi individu siswa.
Manusia adalah juara
Mengutif pendapat Munif (penulis buku Sekolahnya Manusia) yang sedang ngetren pada tahun belakangan dan layak direnungkan: “Semua manusia adalah cerdas.” Mencermati pendapat tersebut dapat ditafsirkan, dengan kecerdasan manusia dapat meraih juara. Pernyataannya: “Bagaimanakah implementasinya?”
Silang sengkarut dalam menyikapi pendapat tersebut sangat beragam. Sebab, fenomena yang berkembang pada era global menunjukkan kecenderungan nilai-nilai moral generasi muda bangsa mengkhawatirkan, yaitu terindikasi penurunan dekadensi moral. Contoh tindak asusila video mesum Ariel Peterpan dengan Luna Maya dan Cut Tari, yang sempat menghebohkan pada bulan belakangan.
Bahkan, presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato pada perayaan hari anak nasional menyebutnya sebagai tragedi moral atau tragedi akhlak, (berita SCTV, 24 Juli 2010).
Konon, imbasnya merasuki para remaja. Bahkan anak-anak belia SMP dan SD yang sempat mengunduh (mengunggah) adegan yang belum layak disaksikan oleh generasi seusia SMA apalagi usia SMP dan SD. Fakta tersebut jelas sangat masif.
Contoh, diantara siswa SMK daerah tertentu, memperkosa pacarnya (bulan lalu), kemudian digilirkan pada teman kelompoknya. Sehingga, komentar hantah berantah mengindikasikan kekhawatiran rusaknya moral generasi bangsa muncul dari berbagai kalangan. Mulai dari pakar telematika, pakar hukum, pakar pendidikan, pakar agama, tokoh masyarakat, bahkan sampai menjadi sorotan dunia.
Fakta tersebut tidak mengada-ada, memang kita harus bersegera dan bersigap untuk mencegah dan mengantisipasinya, agar kasus serupa tidak terulang, sekaligus bisa membuat pelakunya jera.
Berkait dengan fenomena tersebut, judul artikel pada koran Wawasan, 23 Juli: Habis Ariel terbitlah ‘sapu angin’, layak dijadikan pijakan untuk optimis menyikapi sekaligus menatap masa depan. Artikel tersebut mengulas kesuksesan para wakil mahasiswa Institut Teknologi Surabaya (ITS) yang mampu menjuarai lomba mobil hemat energi se-Asia di Malaysia yang diikuti 10 negara Asia. Begitu juga berita gembira datang dari kejuaraan Olimpiade Fisika Internasional ke 41 di Zagreb, Kroasia Lima siswa Indonesia yang dikirim, empat di antaranya meraih medali emas dan satu medali perak. (Senin, 26-7-2010 http://edukasi.kompas.com).
Merujuk pendapat Munif di depan, sudah sewajarnya dapat dijadikan renungan sekaligus sebagai inspirasi para peserta didik, orang tua dan pendidik, agar kita mampu menjabarkan, mengimplementasikan dalam kehidupan berrumah tangga, bermasyarakat dan sekaligus dapat dijadikan rujukan mindset para guru dalam mengajar & mendidik sekaligus meneliti, bahwa semua manusia adalah memiliki kecerdasan, agar di dorong untuk berkembang maksimal dan menjadi juara.
Kahlil Gibran sebelumnya telah menulis slogan yang layak dikedepankan: “Anak Anda adalah bukan Anda.” Slogan tersebut dapat ditafsirkan, didalam mengajar dan mendidik kita wajib memahami bahwa anak adalah pribadi yang unik dan khas. Dengan maksud, agar kita (orang tua dan guru) tidak mudah berbuat gegabah atau berbuat semena-mena terhadap anak apalagi terhadap peserta didik.
Persoalannya adalah bagaimana agar kita mampu menghantarkan anak dan peserta didik menjadi juara, atau paling tidak juara pada dirinya. Sehingga, setiap siswa mampu menerima dirinya, dan selanjutnya mampu mengoptimalkan potensi atau bakatnya untuk diaplikasikan menjadi juara, yang benar-benar juara di keluarga, masyarakat, sekolah, negara, bahkan juara dunia.
Untuk mengaplikasikan pilihan mulia tersebut, membutuhkan kerja keras dan kerja ikhlas. Penulis teringat pendapat mantan Mendiknas Malik Fajar dalam memberi materi kuliah kepada mahasiswa pascasarjana di UMS Surakarta 2009, berbunyi demikian: “Keberhasilan diperoleh dari kebiasaan yang kita lakukan di setiap harinya.” Artinya, kita bisa menjadi juara, bermula dari membiasakan perilaku untuk meraih juara. Dengan berlatih (belajar) di setiap saat, dan hari serta pada gilirannya menjadi juara dunia.
Maka, betapa pentingnya mendidik dan mengaplikasikan mindset juara, yaitu membiasakan perilaku positif berulang-ulang kepada anak dan kepada peserta didik agar mampu melahirkan kecerdasan yang berkarakter dan pada gilirannya melahirkan juara yang telah direncanakan oleh masing-masing pribadi, keluarga, sekolah, dan negara.
ROTO, merupakan Pendidik di SMP1 Sumowono, Ketua Agupena Kab. Semarang. Mahasiswa Pascasarjana UMS
Comments 1,208