Oleh Mi’raj Dodi K,. S.Pd. *
Kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan dalam filsafat ditimbulkan oleh kegagalan kita untuk memahami logika dan bahasa kita sendiri (J. S. Suriasumantri, 2007: 296).
Makna bahasa memang bergantung kesepakatan penggunanya. Namun suka atau tidak suka, orang-orang perlu menekankan pakem makna dan penggunaan peristilahan dalam berbahasa. Hal ini menjadi penting, mengingat arena kehidupan manusia selalu berkenaan manusia vis a vis pengetahuan dan ilmu; hal mana kedua yang terakhir disebutkan hampir selalu ditransformasikan lewat bahasa.
Ketidaktepatan menggunakan atau abai terhadap pakem berbahasa akan membuat makna-makna bahasa berserakan, tak keruan, dan gagal menyampaikan maknanya kepada orang lain. Dalam konstruk ini pula munculnya fenomena verbalisme, suatu kondisi dimana orang yang mengetahui dan kerap menyebutkan sebuah atau beberapa istilah, namun ia sendiri tidak tahu pengertiannya.
Bagi cara berpikir yang universal dan teratur, semua hal adalah sederhana. Kerumitan yang dialami, sesungguhnya bukan semata-mata obyeknya yang rumit, melainkan sangat ditentukan oleh cara berpikir yang parsial, dan terutama, pola berpikir yang tidak teratur (awut-awutan). Sebagai sebuah obyek ilmu, filsafat juga sederhana. Namun karena gagal memahami logika dan bahasa kita sendiri, maka filsafat acap disebut rumit. Lebih jauh lagi, filsafat dimitoskan, very danger!
Padahal manakala mampu memahami logika dan bahasa kita sendiri, hampir semua hal yang menjadi obyek pengetahuan dan ilmu, adalah sederhana. Hal ini lahir dari cara berpikir universal dan teratur, lantas dipertajam dengan memahami logika dan bahasa kita sendiri. Itu sebabnya penulis merasa berkepentingan untuk – semoga benar dan lahir dari kerendahhatian penulis – menerangkan sketsa sederhana dari filsafat, sebelum mengejawantah dalam variasi madzhab dan sekte.
Tetapi sebelum itu, ada baiknya menukil pendapat Will Durant, The Story of Philosphy, 1933: 1-4, dalam J.S. Suriasumantri (2007: 22-24) yang mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini, katanya, sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Setelah penyerahan dilakukan, maka filsafat pun pergi. Dia kembali menjelajah laut lepas; berspekulasi dan meneratas.
Bagi para pengkritik kegunaan filsafat, filsafat, dengan demikian, memang tidak membuat roti. Ia bukan teknik pembuatan sesuatu yang jelas bentuknya. Tetapi ia adalah pijakan bagi cakrawala pengetahuan dan ilmu. Yang mana tanpa itu, pengetahuan dan ilmu akan menjadi seperti anak ayam yang kehilangan induknya, atau ibarat penerbang yang harus terus melayang di angkasa, dengan tanpa hinggap di landasan karena landasannya memang tidak ada. Filsafat adalah landasan bagi aktualisasi dan akselerasi pengetahuan dan ilmu di jagad ini.
Pada sisi yang lain, terlepas adanya variasi penggunaan pengetahuan dan ilmu di blantika forum ilmiah dan keseharian kita, penulis mengidentifikasi istilah pengetahuan untuk sesuatu (apa pun) yang detail atau spesifik yang hadir dalam benak. Sedangkan ilmu merupakan kumpulan dari sejumlah pengetahuan yang dihubungkan satu sama lain, baik dalam lajur kausalitas maupun tidak. Dengan kata lain, jika kita tahu, maka tahu di sini hanyalah mengenai hal spesifik. Sedangkan ilmu menghubungkan sejumlah pengetahuan yang spesifik, sehingga jika kita berilmu, maka kita mampu menjelaskan, misalnya mengapa hal itu terjadi, bagaimana proses terjadinya, dan seterusnya.
Jika sebuah pesawat terbang jatuh dan kita melihat proses jatuhnya, maka bagi kita, hal ini baru berupa pengetahuan. Akan tetapi jika kita mengetahui penyebab jatuhnya pesawat terbang sehingga mampu menjelaskan secara teratur dan masuk akal, maka kita, dalam hal ini, berilmu.
Si buyung mengetahui bahwa pelampung kailnya selalu terapung di air, tentu ia akan membantah jika dikatakan gabus pelampung itu tenggelam. Ini merupakan pengetahuan. Manakala si buyung bahwa berat jenis pelampung lebih kecil dari berat jenis air, dan ini mengakibatkan pelampung itu selalu terapung, maka hal ini menjadi ilmu baginya (Drs. Mundiri, 2002: 5).
Tiga Kerangka: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
Terdapat tiga kerangka isi dalam filsafat: ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Melalui kerangka ini tiap madzhab filsafat mengejawantah dan bersliweran di arena pemikiran berdimensi ilmiah maupun ideologis. Dalam konteks ini pula akurasi dan relevansi sebuah falsafah: ilmiah maupun ideologis, dimejahijaukan untuk dihakimi kebenaran atau kesalahannya.
Penulis buku best seller Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, J.S. Suriasumantri (2007: 293) menerangkan bahwa ontologi merupakan batasan obyek pengetahuan untuk mengetahui obyek apa yang ditelaah sehingga membuahkan pengetahuan. Umpamanya ekonomi menelaah hubungan antara manusia dengan benda/jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan manajemen mengkaji kerja sama manusia dalam mencapai tujuan yang telah disetujui bersama. Karenanya dapat diidentifikasi dan dibedakan daerah penjelajahan atau bidang telaah pengetahuan masing-masing.
Epistemologi berisi mengenai cara yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan. Dari konstruk ini pula tiap sesuatu yang disebut pengetahuan atau ilmu dapat ditelusuri validitas kebenarannya. Di sisi yang lain, epistemologi untuk tiap bentuk pengetahuan manusia berbeda-beda. Misalnya landasan epistemologis matematika adalah logika induktif (dari umum ke khusus) dan landasan epistemologis kebiasaan adalah pengalaman dan akal sehat.
Jika terbersit pertanyaan, untuk apa pengetahuan tentang sesuatu itu? Atau nilai kegunaan apa yang ditawarkan oleh pengetahuan tentang sesuatu itu? Maka kita sedang berbicara di wilayah aksiologi. Dalam konteks ini pula terkuak nilai guna seni pencak silat dengan nilai guna filsafat, fisika nuklir, atau sejarah. Dengan demikian, sesuatu yang ada di benak dapat disebut sebagai pengetahuan bilamana ada obyek ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Setelah memahami kerangka filsafat tadi, maka marilah kita susun dan bangun arsitektur filsafat kehidupan ini beserta ragam ilmu yang membentang ke cakrawala dan menghunjam ke perut bumi. Sebuah falsafah yang ilmiah (ilmu) maupun ideologis tentu harus kokoh dan tajam untuk memudahkan jalan menuju kesempurnaan. Sebab jika tidak, relakanlah bangunan falsafahnya reyod lalu hancur, seiring hancur-leburnya peradaban manusia. Tabik.
* Penulis lulusan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Bandung Periode 2004- 2005.
Comments 5