Oleh : Maswito
Pengurus ISPI Pulau Bintan, Kepri
MENCARI pekerjaan memang tak semudah yang dibayangkan. Ijasah yang diperoleh dibangku pendidikan tak bisa jadi jaminan untuk mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak. Begitu peliknya persoalan yang satu ini. Itulah sebabnya ketika diterima di sebuah perusahaan, aku tiada henti mengucapkan rasa syukur kepada Nya. Doa yang kupanjatkan selama ini ternyata dikabulkan-Nya. Akupun berupaya bekerja tulus dan ikhlas.
Ada yang membuat rasa penasaran di perusahaan tempat kerjaku yang baru ini. Yakni penampilan pemilik sekaligus pimpinan perusahaannya. H. Muhammad Rasyid Sayuti nama lengkapnya. Akrab dipanggil Pak Ngah. Setiap hari jejak langkahnya tak pernah luput dari perhatianku. Saat pergi ke kantor, menerima tamu, memimpin rapat, meninjau anak perusahaannya yang tersebar diberbagai tempat, termasuk berpergian ke luar negeri menemui kolega dan rekan bisnisnya, bakiak itu selalu dipakainya. Bakiak itu tak terpisahkan lagi darinya. Begitu lengket bakiak itu dengan kaki mulusnya itu.
Aku penasaran mengapa orang sekaya Pak Ngah selalu berpenampilan sesederhana itu. Dengan omset perusahaan miliaran rupiah setiap tahunnya, Pak Ngah sebenarnya bisa membeli apa saja yang diinginkannya. Uangnya tidak akan habis hanya untuk membeli sepatu mengkilat merek terkenal sekalipun di dunia. Tapi itu tak pernah dilakukannya. Pak Ngah begitu bangga dengan bakiak itu. Sebuah kebanggaan yang selalu dipupuknya, tapi tak pernah ditularkan kepada karyawan yang bekerja di perusahaannya.
Rekan-rekan sekerjaku secara bergurau pernah bilang bila bakiak itu kini telah menjadi “istri” Pak Ngah, setelah Encik Fatimah, isteri tercintanya yang cantik rupawan meninggal dunia dua tahun lalu. Kendati itu hanya sekedar gurauan belaka, tapi ini bisa dijadikan gambaran betapa identiknya bakiak itu dengan Pak Ngah.
Rizpan, salah seorang kepercayaan Pak Ngah suatu ketika makan siang disaat rehat bekerja pernah bercerita kepadaku tentang bakiak itu. “Pak Ngah pernah menunda keberangkatannya ke luar negeri menemui rekan bisnisnya karena bakiaknya tertinggal di rumah,” kata Rizpan memulai ceritanya.
Aku simak cerita itu dengan seksama. Sesekali kutingkahi dengan pertanyaan mengelitik untuk menghidupkan suasana. “Kenapa Pak Ngah begitu bangga dengan bakiaknya itu?” tanyaku sama Rizpan.
Rasa penasaranku selama ini tentang Pak Ngah dengan bakiaknya belum pernah terjawab tuntas. Aku pikir Rizpan yang sudah puluhan tahun menjadi “tangan kanan” Pak Ngah mampu menjawab tuntas rasa penasaranku selama ini.
“Murad, kamu mau tahu jawabannya,” Rizpan serius bertanya kepadaku.
“Ya…..!” jawabku meyakinkannya.
“Kamu tidak lagi bercanda atau main-main Murad?” Rizpan seakan tak percaya dengan apa yang baru kuucapkan kepadanya.
“Pan, aku bukan bercanda. Aku serius ni!” aku berusaha menyakinkan Rizpan.
Rizpan terdiam sejenak. Selesai menarik napas, Rizpan melanjutkan kata-katanya.
“Aku juga tak tahu jawabannya. Aku juga tak pernah bertanya soal itu,” Rizpan memberikan jawaban.
“Tidak tahu atau pura-pura tidak tahu…….,” aku menggoda Rizpan sambil berseloroh.
“Ya……………., aku tidak tahu Murad. Sebelum bekerja di perusahaan milik Pak Ngah, aku dengar bakiak itu sudah dipakainya,” katanya memberi alasan.
“Mengapa kamu tak bertanya soal itu Rizpan?” tanyaku penasaran.
“Aku takut kena PHK. Aku juga takut Pak Ngah tersinggung,” Rizpan memberikan alasan singkat.
“Ooooooooooo…. begitu.” ujarku mengakhiri pertanyaan. Aku takut Rizpan tersinggung jika pertanyaan itu kuajukan lagi kepadanya.
oo00oo
Sebagai seorang karyawan yang bekerja di perusahaan milik Pak Ngah, aku berniat mengikuti jejaknya memakai bakiak ke mana saja, termasuk ke kantor. Alasannya sederhana, aku sudah bosan dengan penampilan mewah yang dibuat-buat selama ini. Namun baru saja kuutarakan niat itu, anak dan istriku sudah protes.
“Apa bapak sudah sinting,” Zainab, istriku ketus ketika kuutarakan niatku memakai bakiak itu.
Belum sempat memberi alasan, istriku kembali nyeloteh. “Sudahlah pak! Apa gaji yang bapak terima setiap bulannya tidak cukup lagi untuk membeli sepatu yang ada di pasar loak sekalipun. Pikir dong Pak. Malu…. malu dong sama tetangga dan teman-teman se kantor.”
Atan, anak sulungku yang tadi diam ikut pula protes meningkahi ibunya yang ngomel tak karuan itu.
“Kalau nanti bapak pakai bakiak ke kantor, lalu di PHK, siapa lagi yang membiayai sekolah Atan? Bakiak itu kan kuno pak. Hanya orang-orang tua di desa yang memakainya,” Atan protes tak kalah garangnya.
Aku tersenyum geli mendengar protes mereka. Kusimpan dalam hati protes itu. Aku pikir melayani protes itu juga tak ada untungnya karena mereka tak tahu niatku memakai bakiak itu.
Tanpa sepengetahuan istri dan anakku ketika berangkat kerja diam-diam kumasukan bakiak yang telah kubungkus rapi ke dalam tas yang biasa kubawa ke tempat kerja. Di tengah perjalanan kubuka sepatuku yang mengkilat itu. Kutukar dengan bakiak yang telah kupersiapkan dari rumah. Di sepanjang perjalanan menuju kantor, rekan kerjaku memandangku dengan tatapan aneh. Ada yang tersenyum sambil mencibir, adapula yang menggelengkan kepala.
“Mungkin dia agaknya sudah gila,” kulihat rekan kerjaku berbisik ke rekannya yang lain.
“Ya, dia mungkin juga sudah siap di-PHK,” rekanku yang lain terlihat tampak meningkahi.
Kudengar samar-samar ucapan rekan-rekanku itu. Hampir saja kutanggalkan bakiak yang sudah kupakai saat itu. Tapi niat itu aku urungkan. Tekadku sudah bulat. Apapun yang terjadi, bakiak ini tidak akan kutanggalkan kecuali atas perintah Pak Ngah. Sekali lagi atas perintah Pak Ngah, pimpinan sekaligus pemilik perusahaan tempatku bekerja.
oo00oo
Sesampainya di kantor, kurasakan suasana agak lain dari biasanya. Tak tampak lagi keceriaan seperti biasanya. Semua mata tertuju kepadaku. Aku tau mengapa mereka seperti itu, namun aku cuek dan pura-pura tidak tahu saja.
Pak Karim, kepala bagianku di kantor marah begitu melihat memakai bakiak. Dia memanggilku ke ruang kerjanya. Saking emosi dan tak mampu menahan amarah, dia ngomel tak karuan dan mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan seorang atasan kepada bawahan.
“Murad….., kamu ini bagaimana? Karyawan lain pakai sepatu, kamu malah pakai bakiak di kantor ini. Apa perusahaan ini milik moyangmu. Kamu sudah gila ya…. Pakai ini dong!” ujar Pak Karim sambil menunjuk jari telunjuk ke keningnya.
“Jangan kau ikuti jejak Pak Ngah pemilik perusahaan ini. Dia pakai bakiak tak akan ada orang yang melarangnya,” Pak Karim terlihat ketus.
Jantungku berdenyut, darahku menggelegar, keringatku keluar bercucuran menahan emosi dan amarah. Kalau tidak mengingat anak dan istri di rumah sudah kuinjak-injak Pak Karim, namun hal itu urung kulakukan. Dalam keadaan terjepit seperti itu protespun tidak ada gunanya. Apalah arti protes seorang bawahan.
“Murad…, tunggu di sini! Pak Ngah akan memanggilmu!” suara Pak Karim makin keras dan tak bersahabat.
Aku sangka itu hanya gertakan sambal belaka, tapi itu benar. Pak Ngah, sang pemillik perusahaan sekaligus orang yang kukagumi karena kesederhanaannya selama ini memanggilku ke ruang kerjanya yang sederhana dan dipenuhi tumpakan bakiak.
Aku sudah pasrah. Apapun hukuman yang diberikan Pak Ngah aku sudah siap menerima. Hukuman itu adalah sebuah risiko yang harus kutanggung. Berani berbuat harus berani pula bertanggungjawab.
Setelah duduk sejenak, Pak Ngah bertanya. ”Murad…. kenapa bakiak ini kamu pakai di kantor ini? Apa sepatumu dicuri orang?” tanyanya ramah.
Tak kelihatan nada marah di wajahnya yang bersih dan berseri itu. Yang tampak hanyalah senyuman manisnya. Betul-betul tak kubayangkan sebelumnya. Rasa ketakutan hilang begitu saja.
Sebelum kujelaskan duduk persoalan yang sebenarnya, aku minta maaf kepada Pak Ngah. Aku takut dia tersinggung dengan kata-kata yang akan kuucapkan. Kukatakan sejujurnya kepada Pak Ngah, bila yang kusampailkan ini benar, itu semata-mata karena petunjuk dari Nya. Jika salah, itu adalah kebodohanku sebagai anak manusia yang tak tahu apa-apa.
“Pak Ngah….., aku memakai bakiak ini karena aku merasa sandal jepit ini telah berjasa dalam hidupku. Bakiak ini juga telah mengangkat derajat kehidupan keluargaku,” aku berusaha sedetail mungkin menyampaikan alasannku memakai bakiak.
Tak kunyana sebelum aku mengucapkan alasan yang lain, tiba-tiba Pak Ngah mengulurkan tangannya lalu mengenggam erat tanganku. Dari mulutnya kudengar ucapan. “Murad…….., di antara ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan ini, hanya kamu sendirilah yang punya visi sama denganku. Yang lain, kamu tengok sendirilah, tak usah kuceritakan karena kamu sendiri sudah tau jawabannya,” ujar Pak Lung bercerita.
“Murad…, bakiak ini adalah produksi perusahaan kita. Kalau tidak kita yang bangga memakainya siapa lagi?” ujarnya sembari menepuk pundakku. Suara Pak Ngah begitu berwibawa dihadapanku.
“Bakiak ini telah menyelamatkan ribuan orang yang bekerja di perusahaan ini, termasuk kamu dan juga aku. Di sini banyak orang yang malu memakai bakiak ini tapi ………… di seberang sana memakai bakiak ini sebuah kebanggaaan,” ujarnya.
“Orang luar bangga memakai bakiak ini sebagai alas kakinya. Mengapa kita tidak?” katanya.
Hatiku riang tak terkira, ternyata pikiranku sama dengan Pak Ngah. Tapi berbeda jauh dengan pikiran rekan-rekan sekerjaku yang lain. Rambut boleh sama hitam, tapi pikiran setiap orang berbeda.
Setelah keluar dari ruangan kerja Pak Ngah, tak henti-hentinya aku menebar senyum. Hanya itulah yang bisa kulakukan saat itu. Rekan-rekan kerjaku tampak beraksi. Ada yang mencibir, adapula yang tersenyum sambil menyindir.
Dalam benak mereka mungkin hari itu adalah hari terakhirku bekerja bersama mereka. Ternyata dugaan mereka keliru. Seminggu setelah peristiwa “menghebohkan” itu aku mendapakan “kado istimewa” yang tak pernah kubayangkan sebelumnya dari Pak Ngah.
Aku termasuk salah seorang karyawan yang mendapat promosi jabatan di perusahaan milik Pak Ngah kendati masa kerjaku masih baru dibandingkan dengan karyawan-karyawan lain yang juga mendapat promosi. Jabatan yang dipercayakan Pak Ngah kepadaku cukup strategis sebagai kepala bagian pemasaran dan pencitraan bakiak . Akulah yang diberi tanggungjawab memasarkan bakiak itu.
Ketika dilantik menduduki jabatan yang baru itu aku tak bisa menahan haru. Apalagi ketika Pak Ngah menyalamiku. Tak terasa buliran air mataku mengalir dari kelopaknya dan membasahi kedua belah pipiku. Istriku yang semula melarangku memakai bakiak tampak tersipu malu. Begitu juga dengan rekan-rekan sekerjaku yang lain.
Lama Pak Ngah menyalami dan mengenggam erat tanganku Sebelum genggaman itu lepas, dia tersenyum dan berbisik samaku. “Selagi kamu bekerja di peruasahaanku, pakailah bakiak ini. Jangan ragu dan bimbang, apalagi ragu.” Kata-katanya betul-betul menusuk ke kalbuku yang paling dalam.
Rekan-rekan sekerja termasuk istri dan anakku kaget dengan jabatan yang baru kusandang. Tapi semua itu biarlah mejadi rahasia hidup yang akan kusimpan rapi sampai ajal menjemputku.*)
*) Bakiak = sandal yang terbuat dari kayu.
Comments 856