KORUPSI DAN REKENING GENDUT PNS
Sunday, 11 December 2011 (11:05) | 451 views | Print this Article
Oleh: Dr. Cecep Darmawan, M.Si
Dosen Politik Program Doktor Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan Direktur Kemahasiswaan UPI.
Terkuaknya Rekening Gendut yang dimiliki PNS Muda, seakan mencitrakan PNS Muda menjadi Ikon Korup dalam Lingkungan Birokrasi.
Hari ini, Jum’at (9/12) seantero dunia memperingati Hari Anti Korupsi. Sementara dinegara kita, justru sedang hangat-hangatnya berbagai kasus korupsi khususnya dugaan dana haram pada rekening gendut para oknum pegawai negeri sipil (PNS) muda kita. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Muhamad Yusuf menyatakan, terdapat PNS muda yang memiliki rekening dengan nominal hingga miliaran rupiah bahkan ratusan miliar rupiah. PPATK mensinyalir masih banyak PNS yang memiliki rekening tidak wajar. Terkait hal itu, Mentri keuangan Agus DW Martowardojo mengatakan, hingga juni 2011, pemerintah telah menutup sekitar 8.060 rekening PNS yang didindikasikan Korupsi.
Sementara itu ada dugaan oknum PNS muda yang memiliki rekening gendut tersebut adalah hasil dari pengalihan dana-dana proyek APBN/APBD ke rekening pribadi pada akhir tahun anggaran. Terlepas benar atau tidaknya modus seperti itu, KPK dan aparat penegak hukum harus segera mengambil langkah hukum. Apalagi KPK telah memiliki ketua baru, Abraham Samad. Ditengah krisis keteladanan, kehadiran ketua KPK baru ini semoga membawa angin segar bagi pemberantasan korupsi di negeri ini.
Terkuaknya rekening gendut yang dimiliki PNS muda di Usia 30 tahunan, seakan mencitrakan PNS muda menjadi ikon korup dalam lingkungan birokrasi. Terbongkarnya kasus Gayus Tambunan, merupakan salah satu indikasi adanya rekening gendut di sebagian oknum PNS muda. Dalam konteks inilah, pembenahan PNS melalui reformasi birokrasiharus lebih cepat bergerak. Kegagalan reformasi birokrasidalam layanan publik juga menyuburkan kelahiran mafioso baru khususnya di lingkungan PNS.
Oknum PNS yang korupsi adalah bagian dari predator, yang suka sekali “memakan” hak-hak rakyat demi memperkaya dirinya. Korupsi birokrasipun memiliki hubungan yang asimetris antara PNS, pengusaha dan masyarakat. Triangulasi hubungan asimetris ini bertemu pada titik ordinat melalui transaksional yang mutualis berupa suap, upeti, kolusi, dan berbagai penyelewengan lainnya. Implikasi dari fenomena itu, tidak mengherankan bila kemudian muncul istilah mafia birokrasi. Birokrasi dijadikan ladang menggeruk dana haram untuk kepentingan pribadi. Birokrasi membuat atura yang berbeli-belit agar sulit di tembus sehingga membutuhkan “uang pelicin” untuk memuluskan berbagai layanan birokrasi
Korupsi sering didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi. LORD ACTON berpendirian, setiap kekuasaan itu berpotensi untuk korupsi ( power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely). Birokrasi seolah berpegang pada adagium, kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah. Birokrasi seperti ini tidak lain merupkan birokrasi seperti zaman Orde Baru yang tanpa karakter alias mengidap patalogi. Argumen ini disokong oleh Mas’oed (1997) bahwa dalam praktiknya birokrasi Orde Baru tidak lebih merupakan implikasi dari konsep-konsep bureaucratic polity, state corporatism, dan technocratic-state. Dalam konsep bureaucratic polity, riggs (1994) mencoba menjelaskan, birokrasi menjadi arena utama permainan politik yang dipertaruhkan dalam permainan itu seringkali adalah kepentingan pribadi, bukan kepentingan publik. Akibatnya, birokrasi menjadi enkapsulasi (Encapsulated) dan tidak tanggap terhadap kepentingan diluar dirinya atau terjadi imunitas birokrasi terhadap tuntutan masyarakat.
Memang birokrasi kita telah terkena patalogi birokrasi yang di sebut bureaumania, yaitu birokrasi untuk kepentingan sendiri (bureau-pathology) seperti yang ada dalam konsep karl marx, laski, robert michel, donal P, warwick, dan fred luthan. Birokrasi telah bertindak dan berpihak pada dirinya sendiri bukan pada rakyatnya. Pemberian suap yang dikaitkan denga perolehan akses kekuasaan birokrasi termasuk kategori tindakan sogokan (bribery) atau upeti (Kickbacks) yang tergolong tindakan korupsi. Padahal dalam bahasa sosio-religi, diyakini penyuap dan penerima suap diancam masuk neraka jahanam.
Birokrasi kitapun lebih dominan menghargai loyalitas bawahan daripada kinerjanya. Implikasinya kemudian, ramai-ramai bawahan penjadi kaum loyalitas penjilat. Denga kata lain, ekspektasi bawahan adalah bagaiman memunculkan loyalitas kepada atasan agar ada keuntungan timbal balik (reward) dari atasan. Alih-alih memberdayakan birokrasi, atasanpun lebih menginginkan bawahan yang loyal, “jinak”, penurut dan mudah diperintah. Akibatnya, korupsi kerap dilakukan secar bersama-sama antara bawahan dan atasan. Disamping bertujuan membobol uang rakyat sebanyak-banyaknya, korupsi birokrasipun diburu oleh para broker atau pencari rente.
Banyak sekali modus korupsi dilingkungan birokrasi. Survey yang dilakukan Transparency International (Eigen, 2000) pada 1995 menyatakan, korupsi disektor publik memiliki banyak kesamaan dari segi bentuk dan mempengaruhibidang-bidang yang sama baik dinegara maju maupun dinegara berkembang, seperti pengadaan publik, perubahan lahan, pengumpulan sumber-sumber pendapatan pemerintah, dan pengangkatan pejabat pemerintah. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan, ada delapan area yang rawan terjadi korupsi birokrasi, yakni pos anggaran pada APBN dan APBD, kemungkinan kolusi antara penguasa dan pengusaha, bisnis pejabat keluarga pada proyek di APBN/APBD, pengadaan barang dan jasa, penerimaan pajak dan bea cukai, pendaftaran pegawai, TNI/POLRI, dan pengurusan izin. Bukan rahasia lagi, bagaimana kebiasaan oknum pejabat yan mendapatkan fasilitas dari pemenang tender proyek mulai dari main golf, perjalanan ke luar negeri, dan berbagai fasilitas mewah lainnya. Secara keseharian, barangkali korupsi birokrasi berupa pungli terjadi pula pada layanan seperti perpanjangan surat-surat izin, surat izin mengemudi (SIM) kartu tanda penduduk (KTP), paspor dan lain-lain. Didalam tataran birokrasi ditemukan juga “hantu-hantu” birokrasi yang mengisi daftar hadir, mengambil gaji, dan munculnya lembaga-lembaga fiktif, padahal nyatanya tidak ada orangnya.
Untuk mencegah korupsi birokrasi maka birokrasi harus direvitalisasi, secara teoretik,upaya-upaya itu terus berlangsung sampai akhir abad ini seperti tercermin dalam tulisan Reinventing Governmant (1992) karya Osborne dan Geabler, Ring Of Power (1994) karya Champy dan Champy, Post Bureaucracy Organization (1994) karya Heckscher dan Donnellon, dan Reengineering Management (1995) karya Champy.
Berdasarkan fenomena tadi, alternatif revitalisasi birokrasi tidak akan banyak bermakna apabila tidak dibenahi beberapa hal. Pertama, perlunya menanamkan etika birokrasi. Kedua, birokrasi kita harus ditumbuhkan nilai-nilai yang sesuai dengan karakter dan budaya luhur bangsa. Ketiga, proses rekrutmen dan karir PNS harus secara profesional tanpa unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Keempat, yang tidak kalah pentingnya sistem kesejahteraan PNS. Kelima, fungsi kontrol dari masyarakat baik melalui media massa maupun melalui gerakan sosial termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), perlu terus digelorakan. Keenam, birokrasi harus benar-benar steril dari kepentinga langsung politik praktis. Terakhir, tentu saja laporan kekayaan PNS secara berkala perlu dilakukan sebagai bagian dari akuntabilitas dan transparansinya. Semoga PNS kita menjadi abdi masyarakat yang senantiasa membantu layanan publik yang paripurna, bukan PNS yang memperkaya diri dan selalu ingin dilayani.
Tulisan lain yang berkaitan:


2 Responses to "KORUPSI DAN REKENING GENDUT PNS"
Trackbacks
Check out what others are saying about this post...Visitor recommendations…
[…]Excellent blog I love your unique style[…]…
… [Trackback]…
[…] Informations on that Topic: ispi.or.id/2011/12/11/korupsi-dan-rekening-gendut-pns/ […]…