Oleh: Momon Sudarma, S.Pd., M.Si.
Pengajar di AKPER/AKBID Aisyiyah Bandung, STIKOM Bandung dan MAN 2 Kota Bandung.
Abstrak
Bagi manusia modern, tidur tidak sekedar fungsi biologis. Tidur bukan sekedar memejamkan mata untuk beristirahat. Dalam tidur ada makna dan pemaknaan terhadap ruang dan waktu. Seiring perkembangan zaman, ada pergeseran makna dan pemaknaan terhadap ruang, termasuk ruang publik. Oleh karena itu, tidur di kantor, di terminal dan atau di tempat kerja, perlu dimaknai sebagai bagian penting dari strategi kebudayaan dalam memanfaatkan waktu dan ruang. Wacana ini, bermaksud untuk menganalisis perubahan dan konstruksi pemaknaan ruang publik dari pemikiran geografi.
Kata Kunci : tidur, fungsi ruang, makna
Dia tampak santai. Tidak merasa terganggu, dan mungkin juga tidak merasa menggangu. Dengan posisi yang tidak teratur, kadang sambil duduk di kursi, kadang pula sambil membaca koran. Lembaran koran seolah tetap terbuka, namun wajah dan matanya sudah tertunduk lesu. Tertidur. Sahabat yang satu ini, memang sudah dikenal oleh sejumlah rekan, orang yang sangat mudah tertidur. Di meja kerja pun, kalau tidak ada yang mengajaknya berbicara, kadang tak ketahuan lagi kapan ngantuknya, tahu-tahu dia sudah tertidur. Di meja kerja, dia tertidur. Di kelas dia tertidur. Di tempat ibadah pun, tidur. Bahkan, menurut seorang sahabat yang sempat diboncengnya, dia pun sempat terkantuk sesaat sehingga arah jalannya motor yang dikendarainya sempat berbelok arah tak karuan. Untung dengan seketika, dia sadar dan jalan kendaraan kembali normal. Sahabat yang satu ini, di kenal sebagai orang yang sangat mudah tidur dan setiap tempat bisa dijadikan tempat tidur.
Tidur atau tetiduran (sleepness) adalah bagian penting dari kehidupan manusia. Setiap orang memiliki hasrat untuk tidur. Dalam timbangan Kraftl dan Horton (2007) , sepertiga kehidupan manusia dihabiskan untuk tidur. Rata-rata kebutuhan tidur manusia antara 7-9 jam (Colbert, 2008:59) , atau 37 % dari total hidup hariannya. Lamanya waktu tidur ini, masih diyakini sebagai waktu yang cocok untuk kepentingan kesehatan atau produktivitas kerja manusia.
Entah dalam pengertian memenuhi kekurangan jam tidur, atau telah menjadi budaya hidupnya, kini kita sering melihat orang tidur (atau tertidur) di tempat-tempat umum. Di meja kerja, di kendaraan umum, halte terminal, atau ditrotoal bahu-bahu jalan umum. Bagi para pelaku, di tempat-tempat yang menurut pertimbangannya nyaman akan digunakannya sebagai tempat tidur. Mereka tidak membutuhkan waktu dan ruang yang luas. Sesempit apapun ruang, dan sesempit apapun waktunya, bila sempat dan bisa digunakan, maka akan tertidur juga.
Fenomena budaya tidur dan pilihan tempat tidur ini, menjadi fenomena sosial yang menarik untuk dicermati. Setidaknya kita melihat ada tiga pertanyaan pokok, yang dapat diajukan dalam wacana ini. Pertama, di mana orang terbiasa tidur ? Kedua, mengapa mereka tertidur di ruang tersebut ? dan, terakhir, bagaimana kontribusi geografi dalam memandang fenomena budaya tidur di masa sekarang ini ?
Melalui pertanyaan-pertanyaan itu, diharapkan ditemukan solusi praktis dalam menata ruang hidup manusia, serta mampu dijadikan sebagai bagian penting dalam membangun tata ruang yang manusia serta mampu mengembangkan kualitas kehidupan manusia itu sendiri. Tata ruang yang manusiawi, sudah tentu adalah ruang hidup yang memberi kesempatan yang luas dan terbuka bagi teraktualiasikannya hak-hak manusia sebagai manusia.
Kerangka Pemikiran
Sebagaimana dimaklumi bersama, konsep keruangan merupakan pendekatan formal yang digunakan dalam geografi. Konsep ini, bukan saja menjadi bagian penting dalam memperjelas identitas geografi, melainkan memiliki fungsi yang sangat strategis dalam memahami fenomena sosial atau fenomena geosfera. Meminjam pandangan Sunarto (2008:100), wujud hakiki fisik geografi ada tiga, yaitu wadah, isi dan interaksinya. Wadahnya yaitu bentuk lahan atau ruang, isi adalah penghuninya (manusia),dan interaksinya adalah pemanfaatan atau pemaknaan terhadap ruang .
Terkait hal ini, analisis akan dikembangkan berdasarkan pemikiran bahwa (a) setiap ruang memiliki fungsi dan (b) setiap orang memiliki kebebasan atau hak untuk memberikan interpretasi, makna dan pemanfaatan terhadap ruang. Melalui dua asumsi itulah, diharapkan dapat membantu untuk menjelaskan fenomena tidur atau ruang istirahat yang berkembang dalam kehidupan manusia modern.
Dalam perspektif geografi, ruang memiliki fungsi. Setiap ruang memiliki fungsi, baik langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan manusia. Sungai, laut, danau, sawah, hutan, dan gunung api memiliki fungsi bagi kelangsungan hidup manusia. Baik langsung maupun tidak langsung, berbagai fenomena geosfera yang ada memiliki fungsi bagi kelangsungan hidup manusia.
Membantu menjelaskan hal ini, setidaknya kita menemukan ada 5 fungsi ruang bagi kehidupan manusia. Penjelasan ke lima fungsi ruang ini, kita kembangkan dari pemetaan fungsi ruang dalam sebuah rumah. Rumah dalam pengertian bangunan tempat tinggal manusia. Namun selanjutnya, konsep ”rumah” ini, bukan saja menggambarkan bangunan yang dijadikan tempat tinggal manusia, namun “rumah” dalam pengertian global yaitu “planet bumi”. Merujuk pada pemetaan fungsi ruang dalam ”home” itulah, ditemukan 5 fungsi ”rumah global” (life).
Dalam konteks Rumah Gadang, Ika Mutia menyebut area ini sebagai sebuah ruang komunal. Ruang komunal merupakan ruang yang bersangkutan dengan wilayah tertentu yang ditandai oleh pemilikan dan pemakaian secara bersama-sama, biasanya ditandai dengan suku yang sama. Ruang komunal ini berada di ruang luar rumah Gadang. Ini bisa terlihat dari pengelompokan beberapa rumah Gadang dengan arah pintu masuk saling berhadapan. Jarak antar bangunanlah yang menciptakan ruang komunal termasuk didalamnya rangkiang (lumbung padi) dan kuburan.
Pertama, halaman rumah. Kawasan ini adalah kawasan bermain, baik anak-anak kita maupun tetangga. Di ruangan ini, setiap orang bisa mengekspresikan berbagai hal terkait dengan diri dan pribadinya dalam konteks sosial. Aturan yang berlaku di wilayah ini pun, adalah aturan publik yang kadang tidak selamanya tersurat. Oleh karena itu, kita sebut halaman rumah sebagai ruang publik tak terkendali (unconditioned public spatial). Artinya, ruang-ruang ini mengandung fungsi bagi pembebasan manusia untuk mengekspresikan diri secara total dan terbuka.
Habermas merumuskan unsur normatif dari ruang publik, yakni sebagai bagian dari kehidupan sosial, dimana setiap warga negara dapat saling berargumentasi tentang berbagai masalah yang terkait dengan kehidupan publik dan kebaikan bersama, sehingga opini publik dapat terbentuk. Ruang publik ini dapat terwujud, ketika warga berkumpul bersama untuk berdiskusi tentang masalah-masalah politik. Refleksi Habermas tentang ruang publik berdasarkan deskripsi historisnya selama abad ke-17 dan ke-18, ketika cafe-cafe, komunitas-komunitas diskusi, dan salon menjadi pusat berkumpul dan berdebat tentang masalah-masalah politik. Refleksi atas deskripsi historis tersebut diperluas Habermas untuk merumuskan konsep ideal partisipasi publik didalam masyarakat demokratis dewasa ini .
Kedua, ruang tamu. Berbeda dengan unconditioned spatial, di ruang tamu ini posisi dan fungsi pihak terkait sudah jelas, yaitu ada tamu dan pribumi. kedua belah pihak itu, memiliki peran sosial yanga berbeda. Kendati masih merupakan ruang publik, namun fungsi ruang ini berbeda dengan ruang publik tak tekendali. Ada aturan yang lebih spesifik dan fokus berlaku bagi pihak-pihak yang terkait. Dengan kata lain, ruang tamu ini kita sebut sebagai ruang publik terkendali (conditioned public spatial), atau istilah Wardani (2009) yaitu limitedly public (ruang publik terbatas) .
Ruang pendidikan, ruang rumah sakit, ruang pelatihan, dan ruang pertemuan adalah beberapa contoh lain yang menggambarkan adanya ruang publik terkondisikan. Wilayah ini bukanlah wilayah publik yang bebas ekspresi. Setiap orang terkena aturan formal atau protokoler tersendiri. Ruang tamu adalah ruang pertemuan antar dua kelompok manusia yang memiliki peran dan status sosial yang berbeda, dalam melakukan satu fungsi sosial tertentu.
Ketiga, ada ruang dapur. Ruangan yang ketiga ini, memiliki fungsi sebagai ruang produksi. Seluruh kebutuhan anggota keluarga dipenuhi dari ruang produksi ini. Ruang dapur ini kita sebut ruang kerja (works spatial). Perbedaan nyata antara ruang public terkendali dengan ruang kerja adalah pada fungsi individu hadir di ruangan tersebut. ruang public terkendali mengandung nilai jasa lebih tinggi daripada ruang produksi. Dalam ruang kerja, motivasi aksi yang dikembangkannya adalah meningkatkan nilai tambah untuk mendapatkan nilai ekonomis.
Keempat, tempat ibadah. Wacana ini mengandung asumsi bahwa setiap orang memiliki nilai spiritual atau religiusitas tertentu. Merujuk pada teori psikologi terakhir, bahwa dalam diri manusia memiliki God Spot (titik spiritualitas) yang berkembang . Dalam mengekspresikan nilai-nilai spiritual atau religiusitas itu, manusia mengambil ruang-ruang khusus. Mushola, Masjid, Gereja, Pantekosta, Vihara, atau Pure adalah ruang spiritual bagi agama formal. Sedangkan Gua atau tempat meditasi merupakan ruang spiritual bagi pengembang spiritualitas atau religiusitas di luar agama formal (catatan menurut versi Indonesia) .
Terakhir, yaitu ruang pribadi (private spatial). Di sebuah rumah terdapat sejumlah kamar pribadi, mulai dari kamar tidur, kamar hias, kamar ganti pakaian sampai kamar mandi. Kamar-kamar tersebut, merupakan bentuk nyata dari kamar tidur. Kehadiran ruang-ruang pribadi ini, mulai bermunculan di tempat-tempat umum. Sebuah pesawat terbang, misalnya, menyediakan tempat istirahat bagi seorang pramugari. Tempat tidur di pesawat terbang, adalah bentuk lain dari ruang pribadi yang hadir di ruang publik. Begitu pula dengan hadirnya ruang ganti pakaian di tempat olahraga atau mall.
Pemetaan fungsi ruang ini, merupakan pengembangan terhadap konsep ruang yang selama ini dikenal. Dari sudut pembagian kerja, selama ini banyak yang membagi ruang itu menjadi dua wilayah saja, yaitu ruang publik dan ruang domestik. Ruang domestik, yaitu peran dan status sosial seseorang dalam kehidupan rumah tangga, sedangkan ruang publik adalah peran dan status sosial seseorang di masyarakat. Pemetaan seperti ini, selain tidak mencukupi juga belum mampu menjawab masalah-masalah yang kita ajukan. Karena ternyata, tidur bukan merupakan masalah domestik, tidur dapat dimaknai sebagai masalah publik. Untuk sekedar contoh, marahnya SBY kepada peserta rapat menunjukkan bahwa orang tidur itu sudah dianggap sebagai pengganggu kelancaran masalah publik.
Dari sudut pandang inilah, pertanyaan pokok yang bisa diajukan adalah “bagaimana geografi memandang fenomena tidur atau tertidurnya manusia modern ?”
Ruang-ruang Tetiduran
Untuk menjelaskan fenomena tidur, orang tidur atau tetiduran, perlu dilihat pula upaya manusia dalam pemanfaatan waktu untuk kerja. Colbert (2008) menegaskan bahwa waktu tidur manusia, sudah tidak terkonsentrasi pada malam hari. Bahkan, tidak terkonsentrasi pada satu tempat. Manusia tidur bisa pada siang hari, sore hari, malam hari atau pagi hari. Hal itu bergantung pada jam kerjanya masing-masing.
Atkinson, et.all (tt. : 352) , perubahan jam tidur merupakan bentuk respon manusia atau proses adaptasi manusia terhadap perubahan jadwal hidup sehari-hari. Karena ada perubahan agenda hidup itu, kemudian menuntun adanya perubaham irama sirkadian, atau jam internal (jam biologis) manusia. Perubahan lingkungan hidup manusia, berkepengaruh terhadap perubahan budaya manusia, dan kemudian memberikan efek pada perubaham irama sirkadian. Implikasi lanjutan dari fakta ini, maka fenomena tidur atau tertidurnya manusia diberbagai tempat menjadi fenomena geografi budaya dalam pemanfaatan waktu dan ruang hidup manusia. Dalam konteks ini, budaya tidur tidak bisa dipisahkan dari pemaknaan manusia terhadap konsep kerja, dan waktu kerja.
Rojak, begitulah dia menyebut dirinya, seorang warga Sidoarjo mengemukakan pandangannya terhadap kebiasaan masyarakatnya dalam bertidur siang .
Sejak aku pindah dari kampung halamanku (Tarik) ke rumah (Buduran) masih tetap di Kabupaten Sidoarjo, aku mulai sadar kalo tidur siang itu bukan cuma kebiasaan dirumah orang tuaku dulu, tapi lebih pada kebiasaan orang Sidoarjo. Sebelumnya aku pikir karena daerah Buduran ini lebih berdekatan dengan kotanya Sidoarjo, maka orang2nya akan lebih bersaing dalam mencari nafkah lewat tokonya. Ternyata sama aja, disini jam 11 siang sampai jam 3 sore merupakan waktu yang susah buat sekedar mencari toko yang masih buka, karena rata2 pada tutup, mungkin PADA TIDUR SIANG itu.
Tulisan Colbert (2008:82) memberi penguatan terhadap pandangan yang dikemukakan tersebut. Pada saat Colbert mengikuti pertukaran pelajar di Meksiko, semua orag mengambil ”siesta” (atau waktu tidur siang) selama hari kerja. Perdagangan berhenti. Orang menutup toko-toko mereka dan beristirahat. Itu sepenuyhnya berbeda dengan gaya hidup di Amerika Serikat yang menekankan pentingnya bekerja terus menerus. Colbert mengemukakan hasil temuan peneliti di Loughborough Univesity’s Sleep Research Laboratory, yang mengatakan bahwa manusia dirancang untuk dua waktu tidur dalam sehari, yang utama pada malam hari dan todur pada siang hari. Tidur siang memulihkan kewaspadaan dan meningkatkan performance kerja seseorang.
Relevan dengan masalah ini, pandangan klasik yang membicarakan hubungan kerja dengan kebutuhan untuk beristirahat atau bermalas-malasan. Paul Lafargue (2008) menegakan mengenai pentingnya waktu istirahat, atau waktu malas. Manusia tidak bisa – dan tidak boleh—menghabiskan waktu hidupnya hanya untuk kepentingan bekerja. Manusia butuh istirahat. Lafargue (1907:80-81) mengutip sair dari Antiparos, seorang penyair Yunani di era Cicero.
Spare the arm which turns the mill, O, millers, and sleep peacefully. Let the cock warn you in vain that day is breaking. Demeter has imposed upon the nymphs the labor of the slaves, and behold them leaping merrily over the wheel, and behold the axle tree, shaken, turning with its spokes and making the heavy rolling stone revolve. Let us live the life of our fathers, and let us rejoice in idleness over the gifts that the goddess grants us
Namun sayangnya, menurut pandangan Lafargue, mimpi datangnya ketenangan hidup manusia, dengan digantikannya beban kerja oleh mesin itu ternyata tidak datang. Padahal, tujuan dari pengembangan teknologi itu sendiri yaitu menggantikan sebagian peran manusia. Teknologi sebagai produk budaya manusia, mengambil peran fungsional bagi kehidupan manusia untuk memainkan sebagian peran kehidupan manusia (Perseun, 1988) . Namun lagi-lagi, manusia terjebak oleh budayanya sendiri, sehingga dirinya tidak bisa menambah jam istirahat. Jumlah jam kerja malah semakin meningkat, dan menyebabkan jam istirahat atau jam tidur menjadi terganggu.
Berdasarkan pemikiran itu, analisis menggunakan dua sudut pandang bersamaan. Satu sisi, menggunakan konsep ruang dan konsep fungsi atau nilai sebagaimana yang dikembangkan dalam geografi. Konsep ruang digunakan untuk memaknai variasi-variasi ruang dalam kehidupan manusia, dan konsep fungsi digunakan untuk menemukan makna fungsi ruang atau fungsi waktu. Dengan menggunakan dua konsep dasar geografi tersebut, dapat dijelaskan mengenai fenomena tidur sebagai budaya manusia dalam pemanfaatan ruang.
Setiap manusia membutuhkan ruang, dan setiap manusia memiliki makna-makna subjektif tentang ruang, berikut makna kolektif tentang ruang. Makna kolektif tentang ruang tumbuh kembang sebagai kesadaran bersama mengenai ruang-ruang hidup manusia. Ketika makna kolektif tentang ruang dipahami, setiap manusia akan mampu menunjukkan sikap yang moderat terhadap budaya manusia dalam pemanfaatan ruang tersebut. Sebagai contoh, masjid dalam perspektif teologi adalah ruang suci bagi kaum muslim. Namun demikian, secara empiric masjid pun kerap dimaknai sebagai ruang istirahat (ruang pribadi). Oleh karena itu, tidak mengherankan bila banyak kaum muslim, baik yang mukim (menetap) maupun musafir (di tengah perjalanan) yang mengambil waktu untuk istirahat di masjid.
Meunasah (masjid) di Aceh misalnya, adalah tempat public yang digunakan anak remaja untuk bermain dan tidur. Anak-Anak Aceh yang beranjak dewasa, secara sosiologis akan berpindah tempat dari rumah (kamar tidur di rumah) ke Meunasah. Inilah yang kita sebut, bahwa ruang tidur tengah mengalami perluasan atau ruang public penyempitan. Dalam kaitan ini, Zoelfadli (2010) memberikan ulasan bahwa :
Selain sebagai tempat ibadah, tempat pengajian, dan tempat musyawarah, meunasah juga menjadi tempat bermalam para pemuda Gampong setempat dan pemuda Gampong lain serta menjadi tempat peristirahatan bagi orang yang kemalaman di jalan, karena perjalanan jauh, meunasah juga sebagai tempat tidur anak muda Gampong yang baru tiba dari rantau, dan sekedar tempat istirahat anak muda yang pulang dari warung kopi, tempat hiburan atau dari kota, atau mereka yang baru selasai mengikuti pengajian, sehingga setiap subuh mereka juga bisa Shalat Subuh secara berjamaah……
Kebiasaan para orang tua di Aceh Utara dan Pidie, tidak mengharuskan anak laki-lakinya untuk tidur di rumah. Dengan kesadarannya, para pemuda tidak lagi tidur di rumahnya, karena kamar tidur di rumah mereka sudah diperuntukkan untuk Anak Dara, dan pengantin baru. Sehingga anak muda (lajang) memilih Meunasah sebagai temapat bermalam.
Hal ini menunjukkan bahwa ruang istirahat berkembang dan berubah sesuai dengan pemaknaan yang diberikan terhadapnya. Dalam diri manusia ada kesadaran utama mengenai tidur, yaitu tidur sebagai bentuk istirahat, dan tidur sebagai lawan dari kerja. Orang tidur artinya orang yang tidak bekerja. Pemisahan ruang seperti ini, melahirkan tuntutan adanya kebutuhan manusia untuk mentaati makna atau fungsi ruang secara bertepatan. Orang yang tidur di tempat produksi, atau tempat public terkendali, akan diposisikan sebagai pelanggaran ‘fungsi”. Implikasi dari pemikiran itu, menunjukkan bahwa (a) ada ruang yang memiliki fungsi yang berbeda dengan ruang yang lainnya, dan (b) ada ruang-ruang yang tidak bisa digunakan untuk tidur.
Presiden SBY, Presiden ke-6 Republik Indonesia, pernah marah-marah kepada peserta rapat yang tertidur di tempat pertemuan. Teguran Presiden SBY pun meluncur di sela sambutannya membuka pembekalan konsolidasi pemerintah daerah di Gedung Lemhannas, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (8/4/2008). SBY bahkan sampai mengetuk meja podium. Teguran tersebut ia tujukan pada salah seorang peserta pembekalan yang tertidur. Posisi tempat duduk yang bersangkutan di tengah ruangan membuatnya mudah dipergoki SBY dari podium.
“Yah, bangunkan yang tidur itu. Kalau mau tidur silahkan di luar saja,” ujar SBY mengetuk podium.
Mendengar teguran ini, spontan saja seratusan orang pimpinan DPRD, Bupati/walikota menegakkan badan. Terutama yang tidur, langsung saja bangun.
Sikap SBY itu, menunjukkan adanya ruang yang memiliki fungsi yang berbeda dengan ruang tidur. Bagi pelaku, ruang pertemuan masih bisa digunakan untuk nilai ruang pribadi, sedangkan bagi SBY ruang rapat adalah ruang yang terkendali (conditioned spatial), dan memiliki normal yang berbeda dengan ruang istirahat atau ruang tidur.
Trans-spatial atau pelacuran fungsi ruang, dapat terjadi pula di tempat terkendali yang lebih ketat. Pada wilayah ini, tidur menjadi satu “kesalahan” atau “kejahatan”. Tidur mereka anggap sebagai pelanggaran terhadap aturan. Sebuah tempat yang dijadikan terlarang untuk tidur, kemudian menjadi alasan untuk memaksakan kehendak satu kelompok kepada pihak lain.
Ada banyak kejahatan dalam interogasi yang dilakukan CIA terhadap para tahanan Mujahidin, antara lain pencabutan hak tidur dan ancaman bunuh jika tahanan tertidur. Metode itu diungkap dalan dokumen CIA yang diserahkan ke Departemen Kehakiman Amerika Serikat.
Bentuk kekerasan lain, kepala tahanan dibenturkan ke dinding penjara, serta direndam ke dalam air. Semua itu dilakukan demi mendapat informasi dari tahanan sehingga dapat dikatagorikan high value detainees (HVD). Demikian seperti diberitakan Reuters, Rabu (26/8/2009).
Geografi Tidur
Fakta bahwa tidur yang sehat memberikan makna positif bagi kesehatan dan pemulihan ingatan (memori), tidur merupakan kebutuhan biologis manusia, merupakan fakta yang sudah banyak diketahui. Hal yang menjadi masalah dalam budaya modern ini, yaitu adanya pemanfaatan ruang-ruang publik untuk memenuhi kebutuhan tidur.
Manusia tidur bukan saja di ruang pribadi, tetapi sudah masuk ke ruang produksi (tempat kerja), dan juga ruang-ruang publik, seperti terminal, di kendaraan umum atau di bandar udara. Hal ini menunjukkan adanya ’perluasan wilayah tidur’ (ekspansi ruang tidur). Fenomena perluasan wilayah pribadi (ruang tidur) ini, bila tidak diiringi dengan pemindahan pemaknaan terhadap budaya tidur, potensial akan melahirkan konflik kekuasaan. Karena, ruang publik atau ruang terkendali memiliki ’aura kekuasaan’ yang bebeda dengan ruang pribadi.
Di ruang pribadi seorang pemilik memiliki otoritas penuh terhadap pemaknaan dan pemfungsian ruang. Sedangkan di ruang publik, ada pemilik otoritas tertentu yang mengklaim sebagai pemilik regulasi. Pada bagian inilah, kasus teguran SBY terhadap peserta rapat, merupakan bentuk penerapan kekuasaan terhadap para pengguna ruang. Sebagai pemilik otoritas terhadap pemaknaan ruang, SBY ’mengklaim’ sebagai pemilik kekuasaan pada ruang itu. Bila ada yang tertidur dai ruang publik itu, mengandung makna tengah melakukan pengurangan ’kewenangan’ dan ’kekuasaan’-nya terhadap ruang. Andri Wongso mengatakan budaya tidur yang salah ruang salah waktu, adalah tidur yang erat kaitannya dengan runtuhnya keangkeran kekuasaan.
Dengan memperhatikan analisis tersebut, dapat dikemukakan bahwa (a) pada satu sisi tidur adalah kebebasan manusia dalam memberikan makna terhadap fungsi ruang, dan (b) pada sisi lain setiap orang memiliki makna ’kekuasaan’ terhadap ruang itu sendiri. Seorang guru yang otoriter akan mengklaim sebagai pemilik makna ruang apapun dan dimanapun. Sikap itu, berbeda dengan guru demokratis atau liberal. Dengan kata lain, budaya tidur menuntun adanya pengakuan dari komunitas, mengenai praktek dan makna-makna ruang itu sendiri. Pada masyarakat yang belum memiliki ’konvensi’ atau kesadaran kolektif mengenai peran dan fungsi tidur terhadap kesehatan dan pemulihan kesehatan, akan memandang tidur di sela-sela jam kerja sebagai sebuah pelanggaran atau ketidakpatutan. Hal itu, akan berbeda dengan kesadaran kolektif di lingkungan masyarakat Jepang, yang mengizinkan seseorang untuk tidur di tempat umum.
Pada masyarakat Jepang dikenal ada budaya ’inemuri” atau tidur di tempat umum. Pada Wikipedia, ada ulasan sebagai berikut :
Inemuri is the Japanese practice of sleeping over on the job. It literally means, “sleeping while present”. It is a way to show how committed you are to working. In other words, you spend so much time working that you sleep too little at home and have to do inemuri.. Rules of Inemuri, (1) You have to stay upright to show that you are still “socially engaged”, (2) You have to be either high up or low down in the company.
Kultur Jepang ini mulai ditiru di Eropa dan di Amerika, terutama di perusahaan besar. Konsep yang populer untuk fenomena tidur siang ini yaitu Power Nap, yaitu tidur untuk jangka waktu singkat (15-30 menit).
Dari analisis ini, ada beberapa simpul pemikiran yang bisa dikemukakan terkait dengan pemfungsian ruang istirahat.
Pertama, seiring perkembangan zaman ada perubahan makna ruang. Pertukaran waktu dan ruang istirahat terjadi diberbagai wilayah dan negara. Malam hari bukanlah satu-satunya waktu istirahat, dan tempat tidur (di rumah), bukan satu-satunya tempat istirahat. Inemuri adalah salah satu pengakuan kolektif terhadap kebutuhan dan pemaknaan ruang untuk kepentingan pribadi.
Fenomena ini menuntut adanya regulasi dari berbagai ruang publik untuk memberikan ruang-pengakuan terhadap kebutuhan pribadi manusia. Beberapa lembaga khusus, sesungguhnya sudah memberikan fasilitas ini, seperti di pesawat terbang, dan atau perusahaan besar. Berdasarkan hasil survei “the National Sleep Foundation”, 37% orang Amerika tidur pada siang harinya. Dimana 1/3 nya tidur dalam ruangan khusus yang disediakan perusahaan dan lebih dari 1/4 nya menyatakan mereka akan tidur di kantor jika diijinkan.
Kedua, ketidakseiringan fungsi dengan makna ruang menyebabkan hadirnya perselingkuhan fungsi ruang. Konflik yang terjadi selama ini, sesungguhnya lebih disebabkan karena ketidakselarasannya makna dan fungsi ruang dengan kesadaran kolektif terhadap kebutuhan pribadi manusia. Akibat dari kondisi ini, muncul pemaksanaan kekuasaan dari satu pihak kepada pihak lain. Seorang pemimpin perusahaan memandang orang yang tidur di waktu kerja, adalah sebuah pelanggaran budaya kerja, atau seorang pemimpin merasa tidak dihargai bila saat berpidato ada peserta yang tertidur. Padahal, bisa jadi, indikasi yang ada itu adalah adanya ketidkselarasan antara waktu, makna dan klaim kekuasaan terhadap ruang.
Tidur Sebagai Strategi Kebudayaan
Atkinson, et.all (351) tidur tampaknya berlawanan dengan keadaan terjaga, namun kedua keadaan itu memiliki kesaman. Kita berpikir saat kita tidur, seperti yang ditunjukkan oleh mimpi, walaupun jenis pikiran dalam tidur berbeda dari jenis yang kita lakukan saat terjaga. Menurut Atkinson, tidur tidak selamanya tenang, tidur tidak selamanya tanpa rencana, tidur tidak sepenuhnya tidak sensitif. Dalam kaitan ini jugalah, tidur tidak berarti tanpa makna budaya. Sebagaimana diulas dalam bagian sebelumnya, tidur mengandung makna budaya dari si pelaku. Praktek tidur adalah upaya manusia dalam memaknai ruang, dan memanfaatkan ruang untuk kepentingan dirinya sebagai manusia.
Dengan memperhatikan hal-hal yang dikemukakan sebelumnya, tidur dapat dimaknai sebagai —-meminjam istilah van Peursen (1988), strategi kebudayaan. Strategi kebudayaan dalam wacana ini, dimaknai sebagai aspirasi dalam mengaransemen, mensiasati, merekonfugirasi, mereposisi, mendefinisikan kebudayaan dengan perangkat dan kompleksitas pelakunya dalam budaya terkait (Simon, 2006:41) .
Selaras dengan hal ini, maka tidur adalah strategi kebudayaan dalam pemberdayaan fungsi ruang. Dengan demikian, ada tiga kategori strategi pemanfaatan ruang oleh manusia. Pertama, tidur sebagai proses adaptasi kebutuhan biologis. Aspek ini merupakan aspek kebutuhan dasar manusia. Setiap manusia memiliki kebutuhan biologis untuk istirahat.
Implikasi dari pemikiran ini, maka tertidur (atau kantuk) adalah sebuah kritik-dalam (deep critic) terhadap keadaan keterjagaan biologis. Setiap organ memiliki hak, dan tubuh memiliki hak istirahat. Kantuk adalah ‘demonstrasi’ biologis terhadap diri manusia itu sendiri. Kritik dalam tanpa melihat waktu dan ruang. Ketika hak biologis tubuh tidak tertunaikan, maka dia akan muncul dengan kekuasaannya untuk ‘menidurkan’ seseorang.
Kedua, tidur adalah kritik terhadap kekuasaan. Orang yang tertidur adalah protes terhadap kesewenang-wenangan pihak lain dalam klaim waktu, klaim ruang, dan klaim makna ruang-waktu. Selama ini, pemegang otorita dalam menata ruang, memaknai ruang dan menggunakan ruang ada pada pemilik kekuasaan atau kelompok elit tertentu. Pembagian ruang public lebih dipengaruhi oleh persepsi penguasa terhadap ruang, dan bukan hasil dialog dengan public. Peritiswa pengalihan fungsi lahan, dari lahan public ke gedung kantor atau pusat bisnis (ruang publik terbatas), seperti penghapusan lapangan olahraga demi pembangunan mall, merupakan contoh lain dari otoritas tataruang hanya ada pada pemilik kekuasaan.
Wacana ini menyandarkan diri pada asumsi bahwa tidur adalah hak biologis manusia, kebutuhan manusia, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, setiap manusia berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia untuk istirahat atau untuk tidur, termasuk didalamnya memiliki otirtas dalam menggunakan dan memaknai ruang. Manusia tidak bisa dipaksa untuk terjaga selama 24 jam. Manusia butuh istirahat dan perlu istirahat (Lafargue, 1907, Colbert, 2007:83).
Setiap orang berhak untuk mengatur diri dalam memanfaatkan ruang-waktu sesuai kebutuhan tidurnya. Setidaknya, setiap manusia berhak untuk mengklaim ruang waktu untuk kebutuhan tidur. Pada konteks itulah, setiap individu memiliki otoritas penuh terhadap diri, dan penunaian hak tidur. Sebagai sebuah hak, tidak boleh ada pihak lain yang melakukan pemaksaan kekuasaan tentang makna ruang dan fungsi terhadap setiap orang.
Orang yang tidur, secara tidak langsung mengklaim diri berkuasa terhadap dirinya, dan ruang yang dijadikan tempat tidurnya. Dengan tidur dan tertidur pulas, sesungguhnya hal itu menunjukkan bahwa dirinya merasa berkuasa (nyaman, tenang dan berwenang) terhadap diri dan lingkungan tempat tidurnya. Wajar kiranya, bila kemudian Andri Wongso (2008) mengatakan bahwa Tidur tidak bisa dilepaskan dari masalah kekuasaan.
Terkait dengan masalah ini, Andri Wongso (2008) mengulas hubungan budaya tidur dengan kekuasaan sangat jelas .
Sangat jelas. Di era Orde Baru misalnya, hampir mustahil menjumpai kepala daerah tertidur saat Presiden perpidato. Apa soalnya? Kekuasaan. Di hadapan Presiden yang sedang berpidato, untuk mereka pula, betapapun pidato itu mungkin membosankan, kantuk adalah soal yang berbahaya. Apalagi tertidur. Jadi, tidur, meskipun erat kaitannya dengan kantuk, ia tidak cuma berbuhubungan dengan soal kantuk semata. Karena Orde Baru telah membuktikan, bahwa belum pernah ada orang tertidur saat Prisiden berpidato. Orang yang paling mengantuk sekalipun, kalau perlu akan menjewer sendiri matanya agar tetap terjaga.
Fenomena kedua ini, menjadi bagian penting untuk menegaskan bahwa tidur di tempat publik harus dimaknai sebagai kritik terhadap ketidaktepatan pemaknaan ruang oleh pihak lain terhadap setiap individu. Ketidaknyamanan seseorang terhadap orang yang tidur di tempat yang sedang kita tinggali, merupakan persentuhan perbedaan persepsi kekuasaan diri terhadap makna ruang tersebut. Satu pihak mengklaim ruang itu sebagai ruang publik, sedangkan pihak lain menganggapnya sebagai ruang pribadi yang bisa digunakan untuk istirahat.
Terkakhir, dan ini merupakan kritik terluar dalam wacana ini, yaitu tidur sebagai kritik terhadap pemaknaan ruang. Tidur di ruang publik adalah bentuk nyata dari pemberontakan manusia terhadap makna-makna ruang. Selama ini, fungsi dan makna ruang, sudah dianggap sebagai sesuatu yang permanen dan tidak mengalami perubahan. Jalan raya, statisun, tempat kerja, atau lembaga pendidikan seolah dijadikan tempat yang steril dari ’fungsi tidur’. Oleh karena itu, pemanfaatan ruang publik tak terkendali atau ruang publik terkendali sebagai tempat tidur, kerap dianggap sebagai sebuah pelanggaran norma.
Klaim budaya yang bersifat represif ini, terjadi pula dalam makna waktu. Dalam kultur kita, siang hari adalah waktu kerja, dan malam hari waktu tidur. Konsepsi seperti ini, sudah tentu tidak relevan lagi dengan konteks peradaban ini. Konflik budaya di lapisan bawah (di masyarakat) sering kali lahir dari perilaku pemaksaan makna waktu tidur (waktu kerja).
Pada bagian inilah, tidur atau tertidur di ruang publik merupakan bentuk nyata pengambil alihan kekuasaan. Ketika melakukan demonstrasi mahasiswa, mahasiswa kerap menggunakan strategi tidur atau tetiduran di ruang-ruang publik, seperti di jalan raya, terminal, atau gedung-gedung pemerintahan. Hal itu pun, tiada lain adalah usaha perampasan ulang makna kekuasaan dari pemilik kekuasaan kepada publi. Tidur adalah simbol pengambil alihan ruang dari penguasa kepada demonstran atau publik. Semakna dengan hal ini, tidur di siang hari bukan berarti adalah pemalasan atau pengangguran. Tidur di siang hari adalah strategi kebudayaan dalam membangun makna dan fungsi baru terhadap ruang dan waktu.
Dari strategi kebudayaan ini, setidaknya ada dua gerakan budaya yang seolah bergerak berlawanan, yaitu satu sisi ada usaha republikasi ruang publik, yaitu sebagai pengambilalihan makna ruang publik dari klaim para penguasa menjadi milik publik tanpa batas kelompok, dan sisi lain yaitu privatisasi ruang publik, artinya bahwa setiap individu memiliki hak yang sama terhadap pemanfaatan ruang publik. Republikasi dan privatisasi terus berdialektika dalam membangun makna ruang publik dalam kehidupan manusia modern.
Penutup
Analisis ini mengarah pada satu kesimpulan bahwa perubahan makna ruang yang tidak diiringi dengan penataan ruang, potensial menjadi penyebab lahirnya ruang-ruang kehidupan manusia yang tidak sehat. Perubahan ruang publik menjadi ruang private (ruang publik terbatas) dan kemudian malah diklaim oleh penguasa, melahirkan adanya gerakan protes dari masyarakat. Kealpaan kita dalam menata ruang, dan mengembangkan makna ruang-waktu, potensial menjadi penyebab lahirnya pola komunikasi dan interaksi yang tidak sehat.
Tidur dan tetiduran di ruang publik merupakan ekspresi budaya manusia untuk melakukan perlawanan terhadap makna-makna ruang publik yang sudah terkooptasi oleh kekuasaan menjadi ruang publik. Oleh karena itu, sepakat dengan Peter Kraftl and John Horton (2008), perlu ada penyediaan ruang-ruang private untuk memenuhi hak asasi manusia. setidaknya, dari wacana ini ada dua rekomendasi penting, yaitu (a) setiap lembaga, dan khususnya pemerintah, perlu melakukan regulasi terhadap kebutuhan ruang private manusia demi meningkatkan kinerja dan produktivitas kerjanya, salah satu diantaranya yaitu memberikan waktu dan ruang untuk istirahat, (b) dibutuhkan adanya demokratisasi makna ruang dan waktu.
Demokratisasi makna ruang dan waktu ini, akan menjadi bagian terpadu dalam membangun peradaban manusia, dan kearifan manusia dalam memakani perilaku atau budaya manusia kontemporer.
Sekilas Penulis:
Pengajar di AKPER/AKBID Aisyiyah Bandung, STIKOM Bandung dan MAN 2 Kota Bandung. Pendidikan sarjana dari Juruan Pendidikan Geografi UPI Bandung (1997), dan Program Magister pada jurusan Sosiologi Antropologi UNPAD (2007). Karya tulis yang sudah dipublikasikan yaitu Menjadi Speechwriter Profesional (Bandung : Nuansa Cendikia, 2007), Sosiologi Kesehatan (Jakarta : Medika Salemba, 2008)