Oleh : Prof. Dr. Darwis A. Soelaiman, MA.
Ketua ISPI Daerah Aceh dan Guru Besar di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Banda Aceh
Terenyuh rasanya membaca berita bahwa pendidikan di Indonesia terendah di dunia (Media Indonesia, 28/11/2012). Hasil survei Pearson, dari 50 negara yang dinilai, posisi pendidikan Indonesia berada pada peringkat 10 terendah di dunia bersama Brazil dan Mexiko. Untuk menilainya, survei tersebut memberi tekanan terutama pada kriteria apakah negara itu sudah memberikan status yang tinggi kepada guru, banyaknya lulusan yang mengenyam pendidikan tinggi, dan apakah negara itu sudah memiliki budaya pendidikan. Mutu pendidikan kita (termasuk Aceh) masih berada pada peringkat bawah dibandingkan negara-negara lain di dunia, bahkan di antara negara-negara ASEAN. Mengapa demikian?
Satu kriteria yang dipakai Pearson untuk menentukan tingkatan keberhasilan pendidikan di suatu negara adalah sejauh mana pendidikan membudaya dalam masyarakat negeri itu. Maksudnya sejauh mana masyarakat menganggap pendidikan itu penting, sejauh mana mereka peduli, merasa bertanggung jawab dan mau berpartisipasi di dalamnya. Kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam masyarakat kita memang terkesan masih lemah, apalagi bila diminta kepedulian dan partisipasinya.
Karena itu tidak heran kalau kita masih berhadapan dengan kenyataan banyaknya anak yang tidak/belum bersekolah, masih banyak orang tua yang menganggap bahwa pendidikan anaknya adalah urusan sekolah, bukan bagian dari urusan keluarganya, masih banyak yang berpandangan bahwa pendidikan sama dengan bersekolah sehingga makna pendidikan sudah tereduksi. Malah masih ada tokoh masyarakat yang mengatakan pendidikan itu tidak penting karena menurutnya tanpa bersekolah pun seseorang dapat juga menjadi anggota DPR atau menjadi bupati misalnya.
Pendidikan adalah budaya
Barangkali ada korelasi antara kenyataan seperti itu (belum membudayanya pendidikan) dengan kenyataan bahwa yang semakin “membudaya” justru perilaku yang bersifat negatif, seperti korupsi, narkoba, tawuran, keberingasan, dan berbagai gejala dekandensi moral. Artinya semakin gagal upaya kita membudayakan pendidikan (yang berimplikasi pada rendahnya mutu pendidikan) akan semakin “membudayanya” perilaku yang tidak mendidik. (Padahal, pendidikan adalah budaya sedangkan perilaku negatif itu bukan budaya).
Tumbuhnya perilaku negatif dalam masyarakat seperti tersebut di atas, saya kira amat erat hubungannya dengan perubahan nilai yang terjadi akibat globalisasi. Nilai-nilai materi, pragmatis, individualis dan sekularis semakin mendesak nilai-nilai spiritual-agamis dan nilai-nilai sosial yang sebelumnya hidup dan mentradisi dalam masyarakat, dan ini merupakan masalah pendidikan dan kebudayaan yang sangat esensial. Baik buruknya kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh pendidikan. Kenyataan rendahnya mutu pendidikan menunjukkan bahwa pendidikan kita selama ini gagal dalam membentuk kepribadian.
Pendidikan juga berarti sebagai proses pembudayaan, yang maksudnya selain transformasi nilai budaya (ilmu pengetahuan), juga bertujuan membuat seseorang menjadi pribadi yang berbudaya. Seorang pribadi yang berbudaya berarti ia mampu berperan mencipta budaya, mentransfer, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan. Kemampuan itu semua seharusnya melekat pada diri setiap orang yang berpendidikan, terutama guru atau pendidik, karena pada hakekatnya mereka adalah seniman atau budayawan, walaupun tugas pokoknya adalah mengajar dan membentuk pribadian anak didiknya.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat, tetapi sayangnya selama ini makna kebudayaan sudah tereduksi menjadi hanya dipandang sebagai kesenian, sehingga urusan pendidikan terlepas dari urusan kebudayaan. Dalam konteks membudayakan pendidikan ini, saya pandang adalah tepat rencana yang akan dilakukan oleh Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Anas M Adam, dengan melakukan tindakan internal, yaitu memperbaiki pendidikan yang dimulai dari dalam dinas itu sendiri, antara lain dalam bentuk pelatihan kepada staf dan pegawai (lihat: Advetorial, Serambi Indonesia, 29/11/2012).
Belum sistemik
Pendidikan belum sistemik, artinya pelaksanaan pendidikan belum berjalan menurut sistem yang telah dibuat. Masing-masing unsur dari sistem pendidikan kita masih berjalan sendiri-sendiri, tidak saling terkait sebagai suatu kesatuan dalam pelaksanaan fungsinya menuju pencapaian tujuan pendidikan. Antara kurikulum dengan pengajaran dan ujian sering tidak saling terkait sehingga hasil ujian siswa, ataupun hasil penataran guru tidak dipakai sebagai petunjuk untuk memperbaiki isi kurikulum dan metode pangajaran. Penyediaan sarana pendidikan seringkali tidak dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan, sehingga perpustakaan sekolah, misalnya, bukan saja masih memprihatinkan keadaannya di banyak sekolah, tetapi juga tidak banyak mendorong murid untuk meningkatkan budaya baca atau mendorong guru untuk meningkatkan mutu kompetensi akademiknya.
Rencana yang dibuat untuk pembangunan pendidikan setiap tahun, selain banyak yang kurang relevan dengan tujuan pendidikan, juga tidak berkesinambungan karena perencana seringkali hanya bertolak pada keinginan sesaat, bukan atas dasar hasil analisis mengenai apa yang belum atau yang telah dapat dicapai. Dengan kata lain pelaksanaan pendidikan belum berlangsung secara sistemik karena komponen pendidikan, dalam banyak hal belum saling terkait antara satu dengan yang lain sesuai sistem.
Sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan terletak pada sistem. Sistem pendidikan nasional sebagai sebuah cita-cita, menurut saya sudah baik, kelemahan lebih banyak terletak pada pelaksanaannya. Meski bagaimanapun baiknya sebuah sistem, tetapi pelaksanaannya tidak sesuai sistem itu, sudah tentu hasil aktual yang dicapai akan tidak baik. Sistem adalah das sollen, aktualnya adalah das sein. Dalam bidang pendidikan antara keduanya masih senjang sekali. Misalnya peningkatan mutu kompetensi guru dilakukan dalam satu program dengan tujuan peningkatan kesejahteraan mereka, yaitu dalam bentuk program sertifikasi. Akibatnya program sertifikasi itu tidak berhasil mencapai tujuan peningkatan mutu.
Sistem pendidikan Islami
Pendidikan belum Islami. Khusus untuk Aceh sistem pendidikan yang ingin dikembangkan ialah sistem pendidikan Islami (menurut visi dan misi Gubernur disebut pendidikan Dinul Islam). Pertanyaan yang sering timbul dalam masyarakat adalah bagaimana sistem pendidikan Islami itu? Sebenarnya sistem pendidikan Islami yang dimaksud itu belum jelas, karena belum tersusun sebagai sebuah sistem, masih merupakan keinginan yang belum tertulis, walaupun landasan formal untuk itu sudah tercantum di dalam sejumlah produk legislasi pemerintah Aceh.
Pendidikan di Aceh selama ini adalah implementasi sistem pendidikan nasional, baik yang diterapkan di sekolah maupun di madrasah. Karena itu, tidak heran kelemahan-kelemahan mendasar yang terjadi dalam upaya pelaksanaan sistem pendidikan pada tataran nasional akan berimbas pada implementasinya di daerah. Masalahnya ialah bahwa kalau Aceh ingin meningkatkan mutu pendidikan maka mutu yang dimaksudkan itu haruslah menunjuk kepada mutu yang Islami, sedangkan pendidikan nasional bukan sistem yang Islami. Karena itu dalam konteks pembicaraan mengenai mutu, saya kira keberadaan sistem pendidikan Islami itu harus menjadi prioritas untuk dipikirkan.
Sistem pendidikan Islami pada dasarnya adalah pendidikan yang berbasis nilai Islami, yang bersumber pada ajaran agama Islam. Nilai-nilai Islami itu harus membudaya dalam kehidupan sekolah dan madrasah (school culture). Kurikulum, pengajaran, administrasi sekolah, ruang kelas, lingkungan sekolah, peraturan dan kebiasaan di sekolah, kepribadian guru, siswa dan orang-orang di sekolah harus Islami sifatnya. Jadi ciri pendidikan Islami bukan terletak pada simbol-simbol fisik (adanya mushalla, berjilbab, shalat berjemaah, dll), tetapi pada sejauh mana kehidupan di sekolah dan madrasah dijiwai oleh nilai-nilai Islami. Selain itu kehidupan dalam keluarga dan dalam masyarakat juga harus Islami, karena ketiga lingkungan itu merupakan tri-pusat pendidikan.
Kompetensi guru masih rendah. Guru merupakan faktor penentu utama tinggi rendahnya mutu pendidikan di sekolah. Karena itu status seorang guru dan status profesi guru harus tinggi. Status guru di Indonesia dinilai masih belum tinggi, baik dilihat dari sudut fungsi dan peran guru, maupun dari sudut kesejahteraannya, sehingga secara keseluruhan sosok guru dan profesi guru masih kurang bermartabat. Ini semua tentu sangat tergantung pada kualitas kompetensi guru itu sendiri sebagai anggota profesi, di samping peran pemerintah dalam pembinaannya.