Oleh : Maswito
Kasubag Perencanaan dan Program Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Tanjungpinang, Kepri dan Pengurus ISPI Pulau Bintan, Kepri
“Sesungguhnya guru merupakan profesi yang sangat mulia. Ia memiliki peran yang tidak sedikit dalam membimbing dan mengarahkan anak didiknya ke arah yang akan dituju. Yakni terbentuknya anak didik yang memiliki keilmuan dan karakter yang dilandasi iman dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selanjutnya mampu memberikan warna bagi pembentukkan karakter bangsa Indonesia ke depan. “
Pesan nan indah tersebut disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhamamd Nuh ketika melaksanakan dialog bersama tokoh masyarakat, pelaku pendidikan beberapa waktu lalu di Jakarta. Menurut Muhammad Nuh, di tangan para guru inilah maju mundurnya bangsa ini ke depan. Karena itu katanya pantas dan wajar jika kesejahteraan guru mendapatkan prioritas utama.
Sebuah pernyataan yang sangat menarik dan sarat dengan makna. Kalau seluruh guru mahfum atas tugas yang mulia tersebut, tentu dia (guru) akan bersungguh-sungguh melaksanakan tugasnya karena itu merupakan amanat yang diterimanya atas dasar pilihannya untuk memangku jabatan sebagai guru. Amanat tersebut wajib dilaksanakannya dengan penuh tanggungjawab. Selanjutnya, bila amanat itu telah menyatu dalam dirinya, maka sebagai wujud pengejawantahan ia harus mempunyai kinerja yang baik dan profesional, objektif, dan memiliki integritas yang tinggi. Atas dasar-dasar syarat normatif inilah, seorang guru bisa mempunyai harga diri yang tinggi, baik di mata anak didiknya maupun orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Itulah sebabnya dalam Konggres Ke-16 PGRI tahun 1989 lalu di Jakarta ada sepuluh butir kode etik guru yang harus dijunjung tinggi oleh guru-guru Indonesia. Kesepuluh kode etik tersebut didasari dua prinsip. Pertama, keamanan dan integritas profesi itu sendiri. Artinya, suatu profesi akan dihargai oleh masyarakat apabila anggota-anggotanya menjalankan pekerjaan sesuai dengan kompetensinya. Kedua, tulus ikhlas dalam memberikan pelayanan. Artinya dalam menjalankan profesinya tidak semata-mata untuk mengejar kepuasan finansial atau penghargaan profesi, tetapi juga didorong oleh cita-cita luhur untuk memberikan layanan altruistis yaitu layanan yang diberikan secara tulus dan ikhlas kepada anak bangsa.
Lantas timbul pertanyaan bagaimana seorang guru menginterpretasikan dua prinsip tersebut? Jawabannya adalah guru harus menjalankan aktifitas profesinya tidak berorientasi pada dunia semata dengan menjalankan ilmunya sebagai alat untuk mencapai harta, kebanggaan atas orang lain, tetapi dalam menjalankan tugasnya ia harus memiliki integritas yang tinggi, empati, dan mampu beretika sesuai dengan norma sosial dan hukum yang berlaku sehingga tidak menjatuhkan harga dirinya di depan anak didiknya dan di mata orang banyak.
Guru Ideal
Idealnya, seorang guru harus mempunyai harga diri dan mampu mengejewantahkan suatu kinerja yang baik dalam menjalankan profesinya tersebut. Bila ingin digugu dan ditiru oleh anak didik dan masyarakat sekelilingnya, dia terlebih dahulu harus membuktikan bahwa dirinya baik serta memiliki budaya malu yang tinggi jika ingin melihat anak didiknya baik dan berakhlak mulia. Sejatinya seorang guru harus memiliki budaya malu yang tinggi karena dengan syarat normatif inilah sang guru dapat mengontrol dirinya.
Untuk itu, di samping mengajarkan ilmu kepada anak didik, seorang guru harus harus dapat dijadikan tauladan bagi anak didiknya. Mengapa? Sebab seorang guru adalah figur sentral yang akan dicontoh dan ditauladani oleh anak didiknya di sekolah. Guru menurut Mac Millan adalah “Someone who other people respect and go to for advice abouth a particular subject.” Guru adalah seorang yang dihormati dan tempat meminta nasehat untuk permasalahan-permasalahan tertentu.
Guru bukan hanya pengajar (teacher), namun harus didefinisikan secara lebih luas lagi, karena memang seorang guru yang ingin berhasil harus lebih dari sekedar mengajar (teach). Bagi Dani Ronnie M (2005), guru adalah seorang yang mengajar dengan hatinya, membimbing dengan nuraninya, mendidik dengan segenap keikhlasan dan menginspirasi dan menyampaikan kebenaran dengan rasa kasih. Tatkalah pentingnya adalah hasratnya untuk mempersembahkan apapun yang dia karyakan sebagai ibadah terhadap Tuhannya.
Dani dalam bukunya “Seni Mengajar dengan Hati” (Don’t Be A Teacher Unless You Have Love To Share) menjelaskan ada lima peranan sang guru.
1. I’m A God’s Creature (Profesi guru merupakan ibadah).
2. I’m A Teacher (Yang mengajar dengan hati).
3. I’m A Guide (Yang membimbing dengan nurani).
4. I’m An Educator (Yang mendidik dengan segenap keikhlasan).
5. I’m An Insirer (Yang menginspirasi dan menyampaikan kebenaran dengan rasa kasih).
Selanjutnya berdasarkan kajian Pullias dan Young (1988), Manan (1990), serta Yellon dan Weinstein (1997) mengindentifikasikan sedikitnya 19 peran guru. Yakni, guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu, model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa ceritera, aktor, emansipator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator.
Kita prihatin jika ada oknum guru yang melakukan perbuatan tidak terpuji untuk memperkaya diri sendiri dengan mengabaikan budaya malu. Sebagai figur tauladan guru seharusnya menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang merusak citra guru itu sendiri. Guru seharusnya menjauhkan diri dari situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan sesuatu yang dapat menjatuhkan kita di mata anak didik dan orang banyak.
Citra Guru
Citra seorang guru menurut Ketua IPBI Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, A Rivai (2004) seharusnya bagai pohon kelapa, yang tidak satu pun di antara struktur dan anatominya yang tersisa. Semuanya bermanfaat. Buahnya bisa menjadi penyedap makanan bahkan bisa diolah menjadi minyak makan. Batangnya bisa dipakai sebagai tiang rumah dan jembatan. Sabutnya bisa menjadi keset atau kerajinan tangan lainnya. Batoknya bisa menjadi bara pemanas. Daunnya bisa menjadi sarang ketupat. Bahkan janurnya bisa menjadi hiasan atau dekorasi pesta bagi kebahagiaan manusia yang akan melakukan pesta perkawinan dan sebagainya. Ringkasnya, seorang guru selain orang tua harus menjadi figur sentral yang akan dicontoh dan jadi suritauladan. Berbagai atribut yang melekat pada diri guru, sebut saja pahlawan tanpa tanda jasa haruslah diperankannya dengan baik dan benar agar kehadirannya dapat dihargai oleh siapa saja.
Kepada guru di mana pun berada, diharapkan berharap jika masih ingin digugu dan ditiru oleh anak didik, dan masyarakat sekelilingnya, seorang guru idealnya harus punya harga diri dan mampu mengejewantahkan suatu kinerja yang baik dalam dalam menjalankan profesinya tersebut. Seorang guru sudah selayaknya bersedia membimbing dengan nuraninya. Sungguh, berjuta anak dan para pembelajar di luar sana dahaga akan cahaya arahan, pijakan, dan contoh teladan. Mari kita bimbing mereka. Namun jangan sekali-kali tarik hidung mereka dan memaksa mereka minum. Biarkan mereka minum dengan suka cita. Siapun mereka, mereka tetap manusia yang punya harga diri. Bukan sapi yang siap disembelih. Mereka luar biasa. Mereka memiliki hati, yang di dalamnya ada batu mulia yang siap digali. Mereka punya hak untuk sukses dan meraih mimpi! Setiap orang punya mimpi. Jangan biarkan mimpi itu mati!
Guru sudah sepatutnya sanggup memercikan cahaya kebenaran kepada pembelajarnya. Membagi nilai-nilai yang terus menerus digali. Berbagi, berbagi dan terus berbagi. Karena memang cahaya itu abadi. Tak pernah berkurang meskipun telah banyak disebarkan. Tak pernah mati meski pun generasi terus berganti. Sungguh, cahaya itu harus terus dinyalakan. Jangan sampai sirna dari hati sang pengajar, seorang guru yang hebat!
Albert Schweitzer berpesan: “Kadang-kadang cahaya kita mati tapi dinyalakan lagi oleh seorang manusia lain. Kita semua berutang terima kasih yang paling dalam kepada mereka yang telah menyalahkan lagi cahaya ini.”
Sementara E. Mulyasa (2007) mengingatkan mengingatkan guru harus menghindari tujuh kesalahan yang selama ini sering terjadi dalam proses pembelajaran. Kesalahan tersebut adalah mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, menunggu peserta didik berprilaku negatif, menggunakan destruktif discipline, mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan induvidu peserta didik, merasa diri paling pandai dikelasnya, didak adil (diskriminatif)), serta memaksakan peserta didik.
Terakhir saya ingin berpesan mari menjadi guru yang bercahaya! Guru yang membimbing dengan nuraninya! Yang membuat anak didik melakukan sesuatu tanpa disuruh! Tidak berharap apapun dari mereka, namun membangkitkan pengharapan mereka! Pengharapan akan masa depan yang mempesonakan!