Menjadikan Sarjana Pendidikan Sadar Mutu

Thursday, 2 January 2014 (18:07) | 393 views | Print this Article


Oleh : Dra. Dyah Budiarsih, M.Pd
Pengawas TK/SD Kec. Purwokerto Timur, Kab. Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, Juara I Pengawas Berprestasi Tingkat Nasional Tahun 2012 dan Anggota ISPI

Dyah Budiarsih

“Selamat ya! Ibu sekarang sudah bergelar S.Pd” Kata seseorang terhadap temannya seorang guru, sehabis wisuda.

“Ah… ! Saya kuliah hanya untuk memenuhi syarat supaya tetap jadi guru sertifikasi. Sebenarnya saya sudah enggan berpikir…” jawab guru tersebut.

Sepenggal dialog di atas membuat bulu kuduk orang yang peduli pendidikan sedikit merinding. Betapa tidak, guru sertifikasi adalah guru yang sudah dianggap profesional, sehingga memperoleh penghargaan dari Pemerintah berupa tunjangan profesi satu kali gaji pokok setiap bulan. Kalau gaji pokok seorang guru Rp2.500.000,00 per bulan, maka ia akan mendapat gaji dan tunjangan profesi sebesar Rp5.000.000,00 dan masih ditambah tunjangan fungsional. Pendapatan yang tidak sedikit.

Tahun 1980 an beberapa guru mulai mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi. Walau jauh seperti bukan halangan bagi mereka. Jarak beratus kilometer ditempuh pada hari Sabtu Minggu dengan merogoh kocek sendiri. Mendapat ijin dari atasan merupakan hal yang sangat disyukuri. Tidak jarang suara sumbang terdengar “Ah… buat apa kuliah! Guru SD kan cukup SPG!” ada lagi “Buang-buang uang saja, kuliah jauh, capai lagi!…” Beberapa gelintir sarjana dengan perjuangan tersebut tanpa mendapat bantuan sepeser pun dari Pemerintah. Namun rasanya bangga, belajar penuh semangat seperti mahasiswa murni lainnya. Sayang tidak begitu banyak jumlahnya.

Era berikutnya, Guru SD minimal D2. Mereka sebagian besar mendapat bantuan atau proyek. Mereka berbondong-bondong mengikuti tutorial di tempat masing-masing. Sebab sebagian besar guru SD mengikuti tutorial di Universitas Terbuka. Mereka tidak tahu rasanya masuk kampus sesungguhnya. Tapi masih ada sebagian guru yang melanjutkan menjadi sarjana walaupun tanpa bantuan dan iming-iming. Sementara itu setiap tahun FKIP di Perguruan Tinggi meluluskan sarjana pendidikan murni yang sebagian besar mengabdikan dirinya di sekolah-sekolah.

Tahun 2005 muncul Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen yang mewajibkan semua guru berkualifikasi akademik S-1. Berbondong-bondong guru mengikuti pendidikan sarjana dan sebagian besar di UT. Sampai tahun 2010 masih banyak guru bandel yang tidak mau berpikir, sehingga pemerintah tidak sabar. Muncullah program PPKHB atau percepatan guru menjadi sarjana (sarjana “instan”). Hanya dalam 1 tahun guru dari D-2 dapat meraih sarjana. Beasiswapun mengalir kepada guru yang kuliah.

Rasanya kurang pas jika seorang yang mendapat embel-embel S.Pd, M.Pd atau Dr tetapi tidak mencerminkan cara bertindak dan berpikir sebagai sarjana pendidikan. Terlepas dari cara perolehan embel-embel tersebut, sampai saat ini sudah banyak sarjana pendidikan. Tetapi banyaknya sarjana pendidikan tidak sebanding dengan banyaknya karya yang dihasilkan. Berbagai jenis pelatihan telah dilakukan pemerintah agar guru mau dan mampu menulis. Tetapi masih belum nampak signifikan. Hal ini terbukti dengan jumlah guru sarjana di Jawa Tengah ada 164.072 orang, sedangkan yang telah berhasil naik pangkat IV/b ke atas hanya 676 orang atau hanya 0,41 % guru yang mau membuat karya tulis pengembangan profesi (www.lpmpjateng.com, tanggal 15 Mei 2011 pukul 20.14).

Contoh di Jawa Tengah tersebut mungkin tidak jauh berbeda dengan propinsi lain di Indonesia. Sangat ironis, guru bahasa mengajarkan peserta didik agar dapat menulis karangan atau laporan karya ilmiah remaja, tetapi sang guru tidak pernah melakukan. Pada intinya, sarjana pendidikan saat ini masih kurang mampu mengeluarkan ide-idenya menjadi sebuah karya yang dapat dibaca atau ditiru orang lain. Mereka hanya terbelanggu oleh sistem yang beredar. Mereka melakukan pekerjaan hanya sekedar untuk mencari uang atau gaji. Jarang ada perubahan atau inovasi, yang ada hanya meniru nenek moyang atau meniru teman. “Susah-susah amat! Toh guru kreatif dan tidak kreatif mendapat tunjangan dan gaji yang sama” Begitu komentar beberapa guru yang sudah mendapat embel-embel S.Pd atau bahkan M.Pd. Rata-rata mereka enggan membaca buku apalagi membuka internet. Padahal membaca sama saja dengan menjelajah dunia, beribu ilmu bisa didapat. Apalagi berpikir, sepertinya suatu pekerjaan yang sangat berat. Seandainya mereka sadar bahwa Tuhan telah memberi karunia otak untuk berpikir, jika Tuhan mencabut kemampuan otak mereka bagaimana?

Sarjana pendidikan telah memperoleh bekal ilmu-ilmu pendidikan di bangku kuliahnya. Buku-buku referensi yang disodorkan para dosen mestinya mendorong sarjana pendidikan mempelajari lebih lanjut, sehingga dapat diperoleh pandangan baru atau wawasan baru yang dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Ketika guru yang sarjana pendidikan mengajar, mestinya tidak hanya meniru guru-guru jaman dahulu yang hanya ceramah dan tugas saja. Guru jaman sekarang harusnya dapat mempelajari metode-metode baru berdasarkan teori yang diperoleh. Guru belajar kemudian menerapkan kepada peserta didiknya.

Proses pembelajaran yang selalu mendapat perbaikan, akan mengakibatkan sempurnanya sebuah proses pembelajaran. Jika pembelajaran yang bagus ditulis dan dibaca orang lain, maka orang lain akan menirunya. Dengan demikian diharapkan seluruh proses pembelajaran di semua sekolah akan menjadi lebih baik karena adanya kolaborasi antar guru.

Cara guru menyebarluaskan ilmu dan pengalamannya tersebut dapat dilakukan pada pertemuan KKG (Kelompok Kerja Guru) atau MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang selama ini menjadi salah satu tempat untuk membuat guru menjadi profesional. Dapat juga disebarkan lewat internet. Jika ada sarjana pendidikan yang bekerja tidak sebagai guru, dapat menjadi pengamat pendidikan. Ia dapat memberikan kritik yang membangun bagi dunia pendidikan. Sarjana pendidikan yang telah menjadi pejabat struktural mempunyai kesempatan yang lebih luas dalam mengembangkan dunia pendidikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan diharapkan dapat membangkitkan semangat untuk mengembangkan dunia pendidikan.

Selain itu, sarjana pendidikan diharapkan juga menjadi penggerak peningkatan mutu pendidikan non formal dan informal di lingkungan mereka berada. Selama ini tidak ada yang peduli terhadap masyarakat kita. Banyak anak drop out, banyak kekerasan dalam rumah tangga, orangtua yang tidak dapat mendidik anaknya, tetangga yang tidak peduli, dan lain-lain. Sebenarnya masyarakat kebanyakan melakukan kesalahan karena ketidaktahuan. Seandainya ada yang memberi sosialisasi tentang UU Perlindungan Anak, UU Perkawinan, dan sebagainya, tentu mereka menjadi tahu dan biasanya mereka patuh.

Harapan tersebut belum sepenuhnya terwujud. Kita tidak menutup mata bahwa sebagian sarjana pendidikan telah menunjukkan eksistensinya dengan mengantarkan asuhannya menjadi jawara-jawara baik di tingkat nasional maupun internasional (baca juara olimpiade, komputer, robot, dll). Namun jumlah tersebut belum sebanding dengan banyaknya peserta didik di Indonesia. Semakin banyak sarjana pendidikan yang muncul, semakin banyak guru yang menjadi sarjana pendidikan, tetapi prestasi tetap tidak berubah. Justru semakin banyak berita tawuran, terorisme, ketidakadilan, korupsi, pelanggaran disiplin, dan lain-lain. Apakah kondisi negara kita akan tetap seperti ini? Lalu bagaimanakah solusinya?

Sarjana pendidikan mempunyai tanggung jawab moral terhadap maju mundurnya pendidikan di Indonesia. Ilmu para sarjana pendidikan berbeda tiap jenjangnya. Sarjana pendidikan jenjang S-3 lebih banyak ilmunya dibanding S-2, jenjang S-2 lebih banyak dibanding S-1, dan S-1 lebih banyak dibanding D-2. Semakin banyak ilmu yang dimiliki, maka sarjana pendidikan diharapkan peka dan sadar terhadap kondisi mutu pendidikan di Indonesia. Bagaimana supaya mereka sadar mutu?

Kita mulai dari calon sarjana pendidikan di Perguruan Tinggi yang memiliki FKIP. Dosen di PT tersebut dalam mendidik calon sarjana pendidikan diharapkan selalu memberikan contoh dan tugas tentang kepekaan terhadap situasi atau kondisi pendidikan di sekelilingnya. Tidak hanya di sekolah tetapi juga di masyarakat, karena pendidikan ada formal, non formal, dan informal. Minimal setiap bulan adakan diskusi hasil pengamatan terhadap lingkungan. Forum diskusi tersebut diharapkan menghasilkan solusi atau cara mengatasi permasalahan yang dikemukakan. Nah, sesuai Tri Dharma Perguruan Tinggi, ada pengabdian pada masyarakat, maka langkah selanjutnya adalah melaksanakan solusi yang telah dibahas, dengan pelaksana dosen dan mahasiswa. Kalau selama 4 tahun mahasiswa dilatih dan dibiasakan peka terhadap lingkungannya, maka setelah lulus akan menjadi kebiasaan.

Bagi sarjana pendidikan yang telah menjadi guru di semua jenjang, dapat diharuskan peka dan sadar mutu terhadap pendidikan di lingkungannya dengan cara memberikan tugas tambahan sebagai pendidik masyarakat. Tugas ini misalnya mendidik ibu-ibu dalam membimbing anak-anaknya di rumah, mengajak masyarakat sekitar ikut peduli terhadap pendidikan anak-anak sekitar sehingga tidak ada anak putus sekolah, membimbing masyarakat sekitar dalam gerakan suka membaca, dan lain-lain. Tugas tambahan ini diberi insentif oleh Pemerintah setelah dibuktikan dengan bukti-bukti kegiatan yang diketahui ketua RT/RW setempat. Dengan demikian ada kontribusi positif bagi keberadaan guru di daerah tersebut.

Sarjana pendidikan yang pada saat ini menjadi anggota Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) dapat memberikan kontribusi dalam sadar mutu pendidikan di Indonesia. ISPI jangan dibentuk sebagai organisasi yang kepengurusan dan keanggotaannya hanya digunakan untuk mendapatkan poin. Tetapi buatlah agenda kegiatan yang rutin seperti diskusi tentang kondisi lingkungan pendidikan kita, lalu bahaslah bagaimana solusinya. Jika anggota ISPI yang beragam jabatan berkumpul, maka akan lebih mudah mencari solusi. Sadarkan agar anggota ISPI merasa malu terhadap kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Pengalaman penulis sebagai anggota ISPI Jawa Tengah tahun 1993 (Kartu Anggota No. 64/ISPI JATENG/1993), sampai kartu anggota berakhir tidak pernah ada kegiatan yang dapat diikuti oleh penulis. Sehingga ketika akan membayar iuran lagi menjadi enggan.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat digunakan sebagai cambuk bagi kita para sarjana pendidikan Indonesia menjadi sadar mutu. Indonesia menjadi maju dan dunia mengakui eksistensi bangsa Indonesia yang dapat bersaing dengan bangsa maju lainnya. Semoga!

Tulisan lain yang berkaitan:

imgDyah Budiarsih : Pengawas Jangan Hanya Sebagai Penonton (Monday, 17 February 2014, 2,266 views, 11 respon) Oleh : Deni Kurniawan As’ari Redaksi web ISPI dan Humas ISPI Atas : Dyah Budiarsih saat menerima piagam penghargaan juara 1 Pengawas...
imgTantangan Sarjana Pendidikan di Era Globalisasi (Saturday, 25 January 2014, 450 views, 0 respon)   Oleh: Doddy Novarianto Staf Pendidik SMAN 1 Ngantang,  Malang, Jawa Timur   Doddy Novarianto Itulah kenyataan yang sedang di hadapi dan...
imgBukan Sarjana Muda—-Kisah Seorang Guru yang Menjadi Sarjana di Umur 50 Tahun (Sunday, 29 September 2013, 464 views, 0 respon) Oleh : Zulkarnaen Arsi dan Achi-tm Penulis Bisa jadi sarjana jaman sekarang mungkin sekilas terlihat mudah. Namun dalam kenyataannya, banyak sekali...
imgPeran Sarjana Pendidikan dalam Peningkatan Mutu (Tuesday, 4 September 2012, 705 views, 0 respon) oleh Nurul Nitasari, S. Pd Alumnus Universitas Negeri Semarang “Mau ke mana para sarjana setelah lulus kuliah?” pertanyaan itulah yang menjadi...
imgPeranan Guru dalam meningkatkan Budi Pekerti siswa (Monday, 23 January 2012, 2,485 views, 0 respon) Oleh: Nina Rahayu Nadea Guru SMP Pasundan 7 Bandung Guru merupakan sosok yang sangat diperlukan dalam lingkup pendidikan. Kenapa? Karena guru...
Tulisan berjudul "Menjadikan Sarjana Pendidikan Sadar Mutu" dipublikasikan oleh Admin ISPI (Thursday, 2 January 2014 (18:07)) pada kategori Artikel, Karya Tulis. Anda bisa mengikuti respon terhadap tulisan ini melalui feed komentar RSS 2.0. Responses are currently closed, but you can trackback from your own site.