Guru dan Menulis Buku
Saturday, 4 January 2014 (17:28) | 345 views | Print this Article
Oleh : Johan Wahyudi, S.Pd., M.Pd.
Guru Penerima Beasiswa Unggulan Kemendikbud Program Doktor (S3) PBI, UNS

Johan Wahyudi
Akhir-akhir ini, kita sering mendengar dan membaca berita tentang kasus plagiasi karya ilmiah. Setelah kejadian Kulonprogo, Bantul, Riau, Klaten, dan Universitas Parahyangan, kita dikejutkan lagi dengan kejadian kasus serupa. Tidak tanggung-tanggung, kejadian plagiasi ini terjadi di kampus megah dan ternama: Institut Teknologi Bandung (ITB). Diduga sebuah disertasi seorang doktor merupakan hasil plagiasi karya ilmiah orang lain. Kita prihatin dan sangat menyayangkan kejadian itu. Semata bertujuan untuk meraih gelar dan pengkat, oknum guru dan pendidik itu menempuh cara instan: memalsu dan menjiplak karya ilmiah orang lain.
Untuk tenaga guru, proses kenaikan pangkat dari golongan IV-a ke IV-b dan seterusnya memang diharuskan untuk menyertakan karya ilmiah. Ini sesuai dengan Keputusan Mendikbud No. 025/O/1995, bahwa seorang guru berpangkat Pembina (IVa) dapat dinaikkan pangkatnya setingkat lebih tinggi dengan syarat (1) menyertakan analisis hasil evaluasi belajar atau bimbingan dan konseling, (2) menyusun program perbaikan dan pengayaan atau tindak lanjut pelaksanaan bimbingan dan konseling, dan (3) menyertakan pengembangan profesi dengan angka kredit sekurang-kurangnya 12 (dua belas). Pada umumnya, syarat satu dan dua tidak menjadi kendala karena dapat dimanipulasi. Namun, syarat ketigalah yang menjadi momok paling ditakuti para guru. Ini disebabkan istilah pengembangan profesi selalu diartikan sebagai karya ilmiah. Persepsi ini yang seharusnya diluruskan.
Dalam lampiran Kepmendikbud tersebut jelas-jelas dinyatakan bahwa ada lima komponen yang dikategorikan sebagai pengembangan profesi. Kelima komponen itu adalah melaksanakan kegiatan karya ilmiah/ karya ilmiah di bidang pendidikan, menemukan teknologi tepat guna, membuat alat pelajaran/ alat peraga atau alat bimbingan, menciptakan karya seni, dan mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum. Jadi, sebenarnya para gurulah yang harus kreatif agar tidak terjebak dalam pikiran sempit.
Selama ini, guru mengartikan pengembangan profesi hanya sebatas Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Karya ilmiah itu bermacam-macam bentuknya, seperti artikel, esai, jurnal, buku, dan penelitian. PTK hanyalah salah satu bentuk karya ilmiah. PTK memang harus ditulis oleh guru atau pengajar karena berbentuk penelitian reflektif terhadap proses pembelajaran. PTK bertujuan untuk mengetahui perubahan perolehan hasil belajar setelah diterapkannya sebuah metode, strategi, media, maupun pendekatan. Karena itu, anggapan itu harus diubah sehingga kesalahan konsep dapat diminimalisasi. Dalam proses menghasilkan karya ilmiah itu, seorang guru harus menjunjung tinggi etika keilmuan. Ini disebabkan guru merupakan pemegang garda terdepan dalam mendidik generasi. Jika guru tidak lagi memedulikan etika, siswa yang dihasilkan pun tidak beretika.
Mengubah Mind Set
Kasus plagiasi harus diselesaikan secara tuntas. Pihak yang terlibat harus diberi sanksi berat karena telah mencoreng dunia pendidikan dengan noda ketidakjujuran. Penulis mendukung upaya semua pihak yang berusaha menelaah kasus ini sehingga dapat diketahui akar dan daunnya. Tindakan tercela itu jelas-jelas telah mencoreng dunia pendidikan secara keseluruhan.
Di balik itu, ada hikmah luar biasa yang dapat dipetik. Para guru harus mengubah mind set atau pola pikirnya. Bahwa untuk naik pangkat harus melalui ujian yang tidak ringan. Bukankah nasihat itu yang selalu disampaikan kepada para siswanya? Guru harus menjadi teladan bagi sang murid. Mereka harus menjadi guru profesional yang bermoral. Guru yang menjunjung tinggi sikap profesional dengan kemampuan untuk menunjukkan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai pendidik. Bukankah untuk ini pemerintah memberikan tunjangan profesi satu kali gaji pokok? Sungguh penghargaan dengan jumlah angka yang sangat besar.
Para guru pun harus menjunjung moral. Mereka tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga menjadi pendidik. Mengajar itu mudah dan dapat dilakukan setiap orang. Mengajar hanyalah kegiatan sekadar menyampaikan sesuatu secara tersistem. Berbeda dengan mendidik. Kegiatan mendidik bertujuan untuk membentuk karakter peserta didik. Kegiatan mendidik akan terlaksana dengan baik jika pendidiknya dapat menjadi teladan bagi peserta didik. Artinya, mereka harus menjadi contoh dengan sikap yang beretika atau bermoral. Jika ini tidak diindahkan, wajarlah siswanya tidak bermoral laik gurunya. Guru wajib bersikap santun dalam profesinya. Seorang berilmu boleh salah, tetapi tak boleh berbohong.
Jika memang persyaratan kenaikan pangkat mengharuskan guru untuk mempunyai karya pengembangan profesi, kondisi ini perlu disikapi secara profesional. Guru harus bersikap proaktif dengan menganalisis kelima komponen di atas untuk keperluan tersebut. Tentu ada beberapa komponen dapat dijadikan sebagai karya pengembangan profesi. Jika toh itu tidak dapat dilakukan, guru dapat berkolaborasi dengan rekan sejawat demi peningkatan kualitas diri. Peluang untuk menjadi guru berpangkat tinggi sangatlah banyak. Namun, hendaknya pangkat tidak dijadikan tujuan sehingga segala cara akan ditempuh. Pangkat tinggi harus diperoleh karena prestasi atau akibat sebuah tindakan terpuji.
***
Tulisan lain yang berkaitan:




