Menyikapi Keputusan Pembatasan Kurikulum 2013
Wednesday, 10 December 2014 (20:37) | 241 views | Print this Article
Jawa Pos–Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan resmi memutuskan kurikulum 2013 (K-13) hanya untuk sebagian sekolah. Kebijakan itu memicu pro-kontra. Apa jadinya dunia pendidikan jika ada dua kurikulum yang berjalan bersama?
* * *
GANTI menteri ganti kurikulum. Begitulah yang nyaris selalu terbukti. Meski K-13 tidak full diganti, kebijakan Mendikbud Anies itu dinilai menimbulkan beban psikologis bagi sekolah. Betapa tidak, hampir semua sekolah di Surabaya telah menerapkan kurikulum baru tersebut. Namun, dengan kebijakan Anies, sebagian sekolah merasa terombang-ambing. Tak ikut kebijakan dinas pendidikan (dispendik) kota dalam meneruskan K-13 takut dianggap salah. Tetap meneruskan juga khawatir seperti memaksakan diri sekaligus tidak ada dukungan dari pusat.
Di satu sisi, penerapan K-13 membuat waktu guru tersita banyak untuk mengikuti berbagai pelatihan, menyusun rancangan pokok pembelajaran (RPP) baru, hingga membuat laporan penilaian yang begitu njelimet. Sebagian guru mungkin bisa menghela napas lega jika K-13 tidak lagi digunakan. Tapi, sebagian lainnya merasa bingung dengan kebijakan itu.
Kepala Dispendik Surabaya Ikhsan mengatakan, sejak tahun lalu Surabaya mempersiapkan dan menunjuk semua sekolah negeri untuk melaksanakan K-13. Sebagian sekolah swasta yang mandiri juga berinisiatif melaksanakan K-13.
Tahun ini semua sekolah negeri dan swasta sudah menerapkan kurikulum baru tersebut. Ikhsan mengklaim, pelaksanaan K-13 di Surabaya nyaris seratus persen. ”Karena itu, saya menganggap tidak ada yang berbeda meski ada keputusan Pak Menteri,” ujarnya.
Mendikbud, kata Ikhsan, meminta K-13 tetap diberlakukan di sekolah yang telah menjalankannya selama tiga semester. Sementara itu, di Surabaya seluruh sekolah negeri sudah menerapkan K-13 selama tiga semester. ”Jadi, keputusannya tidak berdampak. Insya Allah, sekolah negeri tetap melaksanakan kurikulum 2013 itu,” ungkapnya.
Meski begitu, lanjut Ikhsan, pihaknya tidak menutup mata. Dispendik akan meninjau ke lapangan untuk melihat sekolah mana saja yang sekiranya siap atau tidak melaksanakan K-13. Mungkin saja ada sekolah yang sudah menerapkan K-13 selama tiga semester, tapi ternyata merasa berat sehingga mengundurkan diri. ”Makanya kami mendata dulu. Jika ada sekolah yang sudah menerapkan K-13 selama dua tahun tapi tiba-tiba mundur, kenapa? Apa yang menjadi kendala? Kami siap memfasilitasi,” jelas mantan kepala bapemas KB itu.
Setelah mendata, dispendik melaporkan hasilnya ke Kemendikbud. ”Kami akan mengonsultasikan masalah ini. Saya yakin kementerian tidak saklek. Kalau memang kami siap melaksanakan K-13, masak tidak boleh,” katanya.
Jika memang ada sekolah yang tidak siap melaksanakan K-13, dispendik tidak akan memaksakan kehendak. Prinsipnya, sekolah yang siap menerapkan K-13 bisa jalan. Sebaliknya, dispendik akan memfasilitasi sekolah yang membutuhkan waktu untuk menerapkan K-13. ”Kalau mau kembali ke kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), kami fasilitasi,” imbuhnya.
Kesiapan Surabaya menjalankan K-13 bisa dilihat dari pelatihan yang sudah diberikan kepada guru. Bila gagal paham, mereka diberi media untuk berkeluh kesah, yakni klinik K-13. Guru yang sulit menyusun RPP bisa mencontoh melalui website dispendik. Buku-buku untuk semester 2 juga sudah didistribusikan ke sekolah. ”Karena itu, sebenarnya apa yang menjadi alasan sekolah bila tak siap,” tuturnya.
Jika ada sekolah yang memilih tidak melanjutkan K-13, bakal diapakan buku-buku semester 2 yang sudah dibagikan itu? Ikhsan berharap tidak ada sekolah negeri yang mengundurkan diri. Jika sekolah sulit menerapkan K-13, dispendik siap membantu.
Jika Surabaya sudah memantapkan pilihan, bagaimana dengan Jatim? Kepala Dikbud Jatim Harun mengatakan, dikbud akan memetakan jumlah sekolah yang siap meneruskan K-13 dan yang berhenti mengimplementasikannya. ”Kalau aturannya demikian, kami ikuti meski ada beban psikologis bagi sekolah,” ungkapnya.
Sejatinya, kata dia, implementasi K-13 di Jatim sudah mencapai 80 persen. Anggaran besar juga sudah digelontorkan untuk K-13. Tapi, apa mau dikata? Kemendikbud sepakat memberlakukan K-13 pada sekolah dalam jumlah terbatas.
Dikbud mempersilakan sekolah yang ingin kembali ke KTSP. Sekolah yang sudah 1,5 semester menerapkan K-13, tapi merasa berat dan ingin kembali ke KTSP, juga dipersilakan. Asal, alasannya rasional.
Harun memastikan, pemberhentian K-13 di sebagian sekolah tersebut tidak akan berpengaruh terhadap pelaksanaan unas. Sebab, K-13 belum diberlakukan pada siswa tingkat akhir. Pada tahun pertama 2013–2014, K-13 baru diujicobakan ke siswa SD kelas I dan IV, SMP kelas VII, dan SMA kelas X. Pada tahun kedua, yaitu tahun pelajaran 2014–2015, K-13 diterapkan pada siswa SD kelas I, II, IV, dan V. Selain itu, siswa SMP kelas VII dan VII serta SMA kelas X dan XI. Jika nanti unas tetap diadakan, siswa tingkat akhir itu tidak akan mengalami perubahan. Sistemnya sama dengan tahun lalu karena mereka masih menjalani KTSP. ”Jadi, nggak masalah. Siswa, wali murid, dan masyarakat tak perlu risau,” imbuhnya.
Di sisi lain, Sekjen Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Prof Ahman memaparkan berbagai dampak kebijakan Mendikbud Anies itu. Menurut dia, ketika ada dua kurikulum yang dijalankan, manajemen pendidikan pasti berjalan semakin membingungkan. ”Bagaimana mengorganisasinya nanti, mencetak rapor, model evaluasinya. Sangat disayangkan justru mengeluarkan dana,” ujarnya.
Belum lagi muncul stigma tersendiri di masyarakat. Misalnya siswa akan membedakan rekannya berdasar kurikulum. ”Kamu dari sekolah K-13, aku dari sekolah KTSP. Nah, ini kan membingungkan,” tegas Prof Ahman,
Dampak lain dirasakan saat pelaksanaan ujian sekolah dan UAS. Sekolah akan mengenal dua model sistem ujian. Hal tersebut bisa berdampak psikologis. Seolah-olah, lanjut Ahman, pemerintah tidak konsisten dengan keputusan awal.
Lebih lanjut, Ahman memikirkan nasib sekolah yang sudah ada penjurusan, namun tiba-tiba kembali ke KTSP. Sebab, KTSP mulai penjurusan kelas XI, sedangkan K-13 dimulai pada kelas X. Hal tersebut sangat berisiko bagi siswa yang mulai menentukan minat dan bakatnya. ”Akan ada pengorganisasian dan manajemen yang berbeda. Sekolah yang sudah jalan sekarang diubah lagi,” tambahnya.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Ahman memberikan berbagai saran. Menurut dia, pemerintah perlu menentukan berbagai sistem evaluasi pembelajaran, implementasinya, hingga model pelatihan guru. Kemendikbud sendiri dalam rilis yang diberikan mengatakan pihaknya saat ini sedang melakukan perbaikan mendasar terhadap Kurikulum 2013 agar dapat dijalankan dengan baik oleh guru, serta mampu menjadikan proses belajar di sekolah sebagai proses yang menyenangkan bagi siswa.
Bagi sekolah yang tetap menerapkan, Kemendikbud siap bekerja sama untuk mematangkan K-13 sehingga nantinya siap diterapkan secara nasional dan disebarkan dari sekolah yang menjadi uji coba itu. Hingga saat ini Kemendikbud mencatat ada 208 ribu sekolah di seluruh Indonesia yang sudah menerapkan K-13. (kit/der/c7/ayi)
Tulisan lain yang berkaitan:




