Kembali ke ”Khitah”
Sunday, 28 December 2014 (12:12) | 168 views | Print this Article
Oleh : Prof. Dr. Tri Marhaeni Pudji Astuti
Pengurus ISPI Jateng dan Guru Besar Antropologi Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes, Tim Penyusun Kurikulum 2013

Prof. Tri Marhaeni Pudji Astuti
”SETIAP ganti menteri, ganti kebijakan”. Apakah ”tesis” tersebut juga berlaku untuk Kurikulum 2013? Ternyata tidak! Justru Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengembalikan ke ”khitah” awal penggagasan Kurikulum 2013.
Mengapa demikian? Pada awal penyusunan —sebagai anggota tim penyusun— saya ingat persis bagaimana rencana pemberlakuan Kurikulum 2013. Kalimat yang selalu ditanamkan kepada tim adalah, ”Sekolah terpilih, kelas terpilih, sekolah yang sudah siap, terutama eks RSBI”.
Persoalan kurikulum menjadi titik fokus saya untuk mengevaluasi rancang bangun pendidikan Indonesia pada 2014, dan seperti apa embrio prospek pada 2015i. Kepemimpinan Presiden Joko Widodo dengan elan Revolusi Mental, menjadi ”pusat” untuk menggerakkan seluruh sendi potensi partisipasi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan.
Tak perlu gengsi dan merasa jatuh wibawa untuk melanjutkan kebijakan dari pendahulu, selama kebijakan tersebut memihak kepentingan rakyat. Mendikbud yang baru misalnya, memberlakukan kebijakan, ”Bagi sekolah yang baru satu semester melaksanakan Kurikulum 2013, silakan kembali ke Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dan bagi sekolah yang sudah melaksanakan tiga semester tetap melanjutkan Kurikulum 2013 sebagai sekolah percontohan dan pengembangan. Selanjutnya Kurikulum 2013 akan berlaku secara bertahap, terutama untuk sekolah-sekolah yang sudah siap”.
Kalimat ini perlu digarisbawahi mengingat banyak yang salah menafsirkan bahwa K13 dihentikan untuk kembali ke kurikulum lama. Kesalahan penafsiran itu merebak ke mana-mana, sampai para orang tua dan guru juga bingung.
Pernyataan Mendikbud justru menunjukkan konsistensi dengan kebijakan pendahulunya, yakni Kurikulum 2013 diberlakukan untuk sekolah terpilih. Justru Anies kembali ”khitah”, memberlakukan bertahap, terutama sekolah-sekolah yang sudah siap dengan pembenahan-pembenahan setelah melihat pelaksanaan selama ini.
Nasib Buku Ajar
Tidak perlu ada kata gengsi dan jatuh kualitas ketika melanjutkan kebijakan lama, selama memang rasional, dibutuhkan demi perbaikan dunia pendidikan dan penyiapan masa depan generasi penerus bangsa, dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Kemendikbud harus melakukan pembenahan total dengan semangat Revolusi Mental. Pembenahan terutama pada penyiapan sumberdaya: sarana, prasarana, pelatihan guru, serta buku pegangan guru dan siswa.
Penyiapan komponen tersebut harus serius mengingat banyak ditemui kekurangan yang berakibat ”pengkambinghitaman” Kurikulum 2013. Dari pemantauan dan evaluasi, ternyata yang belum siap adalah gurunya. Siswa dan orang tua cenderung ”manut dan mengikuti” kebijakan pemerintah, sementara guru banyak menggerutu, dan hal itu justru lebih memberatkan tugasnya.
Banyak faktor yang memengaruhi, namun pelatihan untuk guru harus dibenahi dari kedua belah pihak, baik yang dilatih maupun penyelenggaranya. Misalnya, sudah tidak zamannya lagi memadatkan pelatihan selama 7 atau 10 hari menjadi 5 hari dengan ”kesepakatan” peserta (guru) dan penyelenggara.
Kedua belah pihak harus mempunyai semangat ”ingin belajar, ingin berubah lebih baik”. Yang juga tidak boleh dilupakan oleh pemangku kebijakan, ”guru sudah terbiasa mengajarkan hal-hal baik”. Semangat K13, isi dan langkah-langkahnya pun bukan hal yang baru bagi guru. Persolannya, mereka dibebani dengan berbagai instrumen penilaian yang justru menyita waktu guru. Maka penyederhanaan instrumen penilaian harus dibenahi agar guru tidak terbebani secara administratif.
Pada awal gagasan dan sosialisasi Kurikulum 2013, rencana pencetakan buku ajar, termasuk buku pegangan guru dilakukan bertahap sesuai dengan pemberlakuan kurikulum di ”sekolah terpilih, kelas terpilih”. Maka selama satu setengah tahun ini pendistribusian buku tidak merata karena kebijakan berubah menjadi serentak sekolah seluruh Indonesia pada 2014. Sangat wajar distribusi buku tidak sesuai dengan jumlah siswa dan guru, karena antara rencana awal sistem pencetakan buku dan perubahan pemberlakuan Kurikulum 2013 tidak sinkron lagi.
Justru sekarang, kebijakan Mendikbud menjawab solusi kekurangan dalam pendistribusian. Buku yang sudah tercetak pasti akan mencukupi karena pemberlakuan kurikulum yang kembali ke khitah. Apakah persoalan selesai begitu saja? Tentu tidak.
Salah satu pemegang tender buku, Balai Pustaka merilis kesiapan mencetak semua buku sesuai pesanan. Mubazirkah jika Kurikulum 2013 dihentikan pemberlakuannya? Kekhawatiran itu tidak akan pernah terjadi. Katakanlah, andai kurikulum 2013 dihentikan sekalipun, buku tersebut tetap bermanfaat. Buku tetap bisa didistribusikan ke sekolah-sekolah sesuai pesanan, melengkapi koleksi perpustakaan.
Sebagai pengetahuan, buku tersebut layak dan sah-sah saja dibaca oleh siswa sebagai pengetahuan umum tentang Kurikulum 2013 dan bahkan akan menjadi buku pendamping untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman siswa. Itu andai Kurikulum 2013 dihentikan, apalagi tidak.
Apakah jumlahnya berlebih dan mubazir? Sudah pasti tidak, karena bisa disistribusikan ke sekolah dengan jumlah eksemplar berlebih sehingga tidak ada lagi ”rebutan buku paket” seperti di masa lalu. Siswa dari kelas berapa pun, di jenjang sekolah apa pun, akan mudah mendapatkan pengetahuan materi-materi sesuai Kurikulum 2013 di perpustakaan karena sekolah menyimpan cukup.
Lagi pula, pemberlakuan K13 secara bertahap justru akan memudahkan siswa dan guru karena buku pegangan sudah siap, tinggal didistribusikan. Tidak ada kata mubazir untuk buku pengetahuan.
Kita pacu semangat untuk tidak memperpanjang polemik pemberlakuan Kurikulum 2013. Berbekal passion Revolusi Mental, kita dukung pemerintah yang tidak merasa gengsi meneruskannya dengan ”kelas terpilih dan sekolah terpilih”. Pendidikan kita ke depan, setidaktidaknya pada 2015, akan membangun fondasi melalui konsistensi penjabaran konsep dan kebijakan para pemangku kepentingannya. (10)
Tulisan ini telah dimuat di Suara Merdeka cetak
Tulisan lain yang berkaitan:
