Peran Ilmu Pendidikan Dalam Membangun Kejujuran dan Kemandirian Menuju Bangsa yang Bermartabat
Saturday, 18 February 2017 (09:54) | 721 views | Print this Article
Pendidikan Sebagai Ilmu [1]
Tujuan utama ilmu adalah untuk memperoleh pengetahuan yang reliabel tentang perilaku alam dan perilaku manusia ( George F. Kneller. 1971: 334). Untuk tujuan dimaksud metode inkuiri digunakan sebagai metode khusus dalam ilmu, yang menggantikan metode intuisi, doktrin, dan akal lumrah (common sense), yang menghasilkan generalisasi dan teori yang bisa diuji berulang-ulang secara empirik. Inilah yang disebut dengan pendekatan ilmiah di dalam mencari kebenaran. Fakta-fakta yang dihimpun melalui metode inkuiri (observasi, pengujian hipotesis, deduksi dan validasi) akan menghasilkan generalisasi. Generalisasi yang teruji berulang-ulang secara konsisten akan membangun sebuah teori, yang selanjutnya teori akan digunakan sebagai landasan untuk memahami dan menguji berbagai fenomena atau fakta. Demikianlah berpikir keilmuan sebagai sebuah dialektika, yang akan selalu melahirkan tesis, hipotesis, dan antitesis.
Dilihat dari ragam temuan dan rentang teknik yang dihasilkan, salah satu model berpikir tentang penggolongan ilmu ialah pemilahan ilmu ke dalam ilmu fisik dan ilmu biologis ( George F. Kneller. 1971: 317). Namun demikian selagi alam ini sebagai satu keutuhan (wholeness), maka pemahaman dan pengujian atas fakta dan fenomena akan harus dijangkau oleh pendekatan intersains (seperti biofisik, biokimia) dan interdisplin (seperti sejarah dan filsafat ilmu). Ada kelompok ilmu lain yaitu ilmu-ilmu perilaku manusia yang mencakup psikologi, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan linguistik.
Berbicara tentang ilmu dalam konteks pendidikan perlu ditegaskan, sebagaimana disebutkan, bahwa pendidikan adalah proses membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya. Pendidikan berurusan dengan perilaku manusia yang sedang berkembang sehingga pendidikan memerlukan ilmu-ilmu perilaku manusia. Tetapi pendidikan juga berurusan dengan persoalan ke arah mana manusia dibawa, sesuatu yang bersifat normatif, sehingga pendidikan memerlukan filsafat untuk memahami hakikat manusia dan kehidupannya secara utuh.
Ilmu yang dianggap mampu menjelaskan atau memberikan gambaran cukup lengkap tentang perilaku manusia adalah psikologi; antropologi, sosiologi, biologi, dan bahkan linguistik memberikan gambaran sisi lain tentang perilaku manusia. Namun penjelasan dan pemahaman perilaku manusia yang digambarkan oleh psikologi tidak sampai kepada sebuah komposit pemahaman tentang manusia secara utuh melainkan lebih menyajikan rangkaian ragam gambaran tentang pemahaman perilaku manusia. Pemahaman seperti ini tidak memuaskan bagi kepentingan pendidikan karena hanya menjelaskan aspek keragaman manusia dan bukan keutuhan manusia. Dapatkah kita menyatukan gambaran parsial tentang manusia itu ke dalam satu kesatuan atau keutuhan? Jawabannya, bisa! Tapi tidak dengan menggunakan cara-cara ilmu pengetahuan belaka, melainkan harus menggunakan filsafat yang mampu mempersatukan temuan-temuan ilmiah yang terpilah-pilah itu dan menghubungkan konsep-konsep fundamental dari temuan itu secara koheren. Metode yang digunakan dalam filsafat adalah metode pemahaman, pernenungan, hermenuetic (Brenneman, Jr. 1982).
Hampiran filsafat selalu mempertimbangkan pertanyaan yang muncul sebelum dan sesudah hampiran keilmuan dilakukan. Pendekatan tradisonal keilmuan, misalnya, menganggap bahwa peristiwa itu ada penyebabnya (hukum kausalitas, hubungan sebab akibat), sementara penyebab itu sendiri sesungguhnya juga sebuah peristiwa. Bagi ilmu tidak ada peristiwa tanpa sebab. Akan tetapi bagaimana kita yakin akan hal ini? Apakah sebab dan akibat itu ada di dalam dunia ini sebagai kenyataan atau hanya merupakan wujud dari bagaimana cara manusia membaca peristiwa itu? Pertanyaan semacam ini tidak dapat dijawab oleh ilmu karena kausalitas bukanlah sebuah temuan ilmiah melainkan sebuah asumsi ilmu.
Asumsi yang disebutkan penting diambil oleh ilmu atau ilmuwan, yang dianggap sebagai sebuah kenyataan, karena tanpa asumsi semacam itu seorang ilmuwan tidak akan dapat melakukan penelitian, investigasi atau pengujian fakta atau fenomena. Ilmu berurusan dengan sesuatu (objek) sebagiamana sesuatu itu tampak dalam pengindraan, pemahaman, dan instrumen yang digunakan manusia. Akan tetapi apakah betul kenyataan yang ada dalam sesuatu itu sebagaimana tampak oleh pengindraan dan pemahaman manusia? Ilmuwan tidak dapat menjelaskan hal itu, karena kenyataan sesuatu itu ada di dalam dirinya sendiri, bisa berlawanan dari apa yang tampak, dan itu diluar batas (beyond, melintasi) verifikasi empirik.
Filsafat adalah hal yang alamiah dan sebuah keniscayaan bagi manusia. Berbicara tentang pengembangan manusia tidak mungkin terlepas dari filsafat. Tidak hanya filsafat dari sebuah cabang pengetahuan seperti seni, sains, dan sejarah melainkan mencakup semua displin dan membangun hubungan yang kokoh dari semuanya itu. George F. Kneller (1971: 201) menegaskan bahwa filsafat mengokohkan koherensi konseptual keseluruhan domain pengalaman.
Setiap upaya dan tindakan pendidikan selalu mengandung pertanyaan yang bermakna filosofis, baik bagi guru maupun peserta didik. “Pendidikan adalah persoalan tujuan dan fokus.” (Bereiter, 1973: 6). Mendidik berarti bertindak secara bertujuan dalam mempengaruhi perkembangan peserta didik sebagai satu kesatuan pribadi. “Mengapa saya mengajar?”, “Apa yang terbaik diajarkan?’, “Mengapa saya mengajar bahasa?”, “Mengapa saya belajar?”, “Mengapa saya belajar matematika?”. Itulah pertanyaan filosfis yang muncul dari guru dan peserta didik, pertanyaan yang terkait dengan hakikat manusia dan dunia, pengetahuan, nilai, dan hidup yang baik. Sayangnya untuk menjawab pertanyaan dimaksud tidak ada definisi tunggal tentang filsafat.
Ada tiga model pemahaman filsafat (George F. Kneller. (1971: 199-200) yang relevan digunakan untuk kepentingan pemahaman tentang hakikat manusia dan hidup sebagai landasan keilmuan pendidikan, yaitu filsafat: spekulatif, preskriptip, dan analitik.
Filsafat spekulatif, adalah cara berpikir sistematis tentang sesuatu yang ada. Dalam pandangan filsafat ini pikiran manusia berkehendak untuk melihat sesuatu objek sebagai suatu keseluruhan atau totalitas; bahwa keragaman itu membentuk suatu kebermaknaan totalitas. Filsafat spekulatif adalah sebuah proses menguak tabir keteraturan dan totalitas, yang diterapkan tidak hanya kepada hal-hal atau pengalaman khusus melainkan kepada upaya menemukan koherensi keseluruhan hazanah pemikiran dan pengalaman.
Filsafat preskriptif, terarah kepada upaya menemukan standar yang mapan untuk mengukur nilai (values), menimbang tindakan, dan mengapresiasi seni. Standar ini digunakan untuk menguji apa yang dimaksud dengan baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek. Standar ini mempertanyakan apakah kualitas itu bersifat inheren di dalam objek atau sebagai proyeksi pikiran manusia. Bagi psikologi eksperimen misalnya, ragam perilaku manusia bersifat netral, tidak baik maupun buruk secara moral; melainkan sebagai suatu bentuk yang sederhana sebagaimana dipelajari secara empirik. Namun lain halnya bagi pendidikan atau filsafat preskriptif; perilaku itu dilihat apakah mengandung faedah atau tidak, baik atau buruk, benar atau salah. Filsafat prespektif memikirkan dan menggali kaidah-kaidah dasar untuk menetapkan apakah tindakan itu berfaedah atau tidak dan mengapa harus melakukan hal itu.
Filsafat analitik, berfokus kepada kata dan makna; menguji makna seperti “sebab”, “pikiran”, kebebasan akademik”, “kesamaan kesempatan”, “adjustment”, “kemandirian” dengan keragaman makna dalam keragaman konteks. Filsafat ini menguji bagaimana ketidak konsistenan makna terjadi apabila makna yang tepat untuk satu konteks diterapkan di dalam konteks yang berbeda. Filsafat analitik cenderung skeptik, sangat hati-hati, dan cenderung tidak membangun sistem berpikir.
Sesungguhnya kepedulian filsafat tidak hanya kepada dunianya sendiri, melainkan juga kepada asumsi-asumsi dasar dari suatu cabang pengetahuan. Oleh karena itu lahirlah ragam filsafat seperti filsafat hukum, filsafat ilmu, dan filsafat pendidikan. Sebagaimana halnya filsafat umum, filsafat pendidikan mencari pemahaman pendidikan dalam hal entitasnya, penafsiran berdasarkan kaidah-kaidah umum yang akan menjadi panduan bagi penetapan tujuan akhir dan kebijakan pendidikan. Jika filsafat umum membangun koherensi temuan ragam ilmu, filsafat pendidikan menafsirkan temuan itu dalam hakikat pendidikan. Teori-teori ilmiah tidak serta merta berimplikasi pada pendidikan; tidak dapat langsung diterapkan dalam praktek pendidikan tanpa terlebih dahulu diuji secara filosofis.
Di dalam mengkaji persoalan-persoalan pendidikan, filsafat pendidikan tidak bisa lepas dari persoalan-persoalan yang dipertanyakan dalam filsafat umum, seperti: (a) hakikat hidup baik, ke arah mana pendidikan harus berbuat, (b) hakikat manusia, karena manusia adalah mahluk yang dididik, (c) hakikat masyarakat, karena pendidikan adalah sebuah proses sosial, (d) hakikat kenyataan akhir, yang bersifat metafisik, karena pendidikan membawa manusia kepada kebenaran hakiki yang menembus dunia fisik.
Filsafat pendidikan, sebagaimana halnya filsafat umum, bisa bersifat spekulatif, preskriptif, atau analitik. Pendekatan spekulatif dalam hal membangun teori tentang hakikat manusia, masyarakat, dan dunia yang dapat dijadikan landasan di dalam membangun keteraturan dan menafsirkan (apalagi jika terjadi pertentangan) data riset pendidikan dan ilmu-ilmu perilaku. Pendekatan preskriptif dalam hal penetapan tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan dan cara-cara umum yang digunakan di dalam mencapai tujuan dimaksud. Pendekatan analitik dalam hal mengklarifikasi pemikiran spekulatif dan preskriptif.
Perlu ditegaskan kembali bahwa pendidikan sebagai proses membawa manusia dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya mengandung makna bahwa pendidikan tidak bisa terlepas dari tujuan-tujuan normatif. Pendidikan harus selalu berurusan dengan baik-buruk, benar-salah. Pendidikan harus membawa manusia ke arah kehidupan yang baik dan benar. Oleh karena itu pendidikan harus berlandaskan kepada filsafat tentang hakikat keberadaan (eksistensial) manusia, hakikat hidup baik dan benar, dan internalisasi makna dalam universalitas dan konteks.
Tiga frase kunci dalam pengertian pendidikan yang disebutkan adalah kondisi apa adanya, kondisis bagaimana seharusnya, dan proses membawa. Kondisi apa adanya mengisyaratkan keadaan objektif manusia yang memiliki fitrah (potensi), kemerdekaan berpikir, dan hidup dalam konteks (kultural). Kondisi bagaimana seharusnya mengisyaratkan ke arah mana manusia secara normatif harus mengembangkan diri, untuk menjadi (becoming) dan berada (being). Proses membawa mengisyaratkan hubungan transaksional dan asimilasi untuk memfasilitasi pengembangan fitrah dan kemerdekaan berpikir manusia dalam kaidah-kaidah universal yang tidak lepas konteks ke arah yang normatif sesuai dengan hakikat manusia itu sendiri.
Ketiga frase kunci yang disebutkan mengandung makna dan implikasi akan perlunya pemahaman yang mendalam terhadap kondisi objektif manusia, kondisi bagaimana seharusnya manusia menjadi dan berada, dan bagaimana proses membawa itu dilakukan. Sesuai dengan hakikat ilmu, secara keilmuan, pendidikan memiliki fungsi untuk memahami perkembangan manusia, menjelaskan bagaimana perkembangan manusia terjadi, dan mengendalikan serta memprediksi kemungkinan-kemungkinan perkembangan manusia, dengan menggunakan cara-cara ilmiah (keilmuan) yang telah diuji secara filosofis kebenarannya untuk membawa manusia ke arah perwujudan hidup sesuai dengan hakikat hidup baik dan benar.
Diakui bahwa untuk membawa manusia ke arah bagaimana seharusnya seperti dimaksud diperlukan ragam alat (tools). Tools berfungsi sebagai ilmu bantu yang terdiri terutama dari ilmu-ilmu dasar (antropologi, sosiologi, psikologi) dan matematika. Ilmu pendidikan dibangun atas dasar filsafat yang menjadi sistem keyakinan dan landasan tujuan pendidikan dan ilmu-ilmu dasar sebagai ilmu bantu. Ilmu-ilmu dasar dikatakan sebagai ilmu bantu, karena ilmu-ilmu dimaksud digunakan untuk, memahami, menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan (perkembangan) perilaku manusia secara kontekstual yang koheren dengan filsafat hidup manusia sesuai dengan hakikat eksistensial manusia. Pangkal tolak ilmu pendidikan terletak pada pemahaman dan pemaknaan yang benar dan utuh tentang hakikat manusia dan hakikat hidup.
Ilmu-ilmu dasar yang menjadi ilmu bantu dalam pendidikan adalah antropologi, sosiologi, psikologi, dan matematika yang dilumatkan ke dalam filsafat pendidikan yang diangkat dari pemaknaan hakikat manusia dan hakikat hidup. Pemahaman antropologis diperlukan di dalam pendidikan untuk menjelaskan dan memahami perkembangan manusia dalam konteks kehidupan budaya. Setiap manusia hidup dan berkembang dalam konteks kehidupan budaya dan tidak dalam kevakuman budaya. Secara kultural perkembangan kontekstual itu terkait dengan tataran emik dan etik. Persoalan emik dan keragaman budaya mengandung implikasi akan pentingnya pemahaman perilaku dan perkembangan manusia dalam konteks keunikan budaya masing-masing. Sedangkan persoalan etik mengisyaratkan perkembangan dalam konteks universal yang harus terwujud dalam kehidupan manusia yang berlandaskan kepada hakikat dan nilai-nilai hakiki kehidupan manusia. Pendidikan menyeimbangkan emik dan etik, antara keunikan dan keuniversalan. Filsafat antropologi dan kebudayaan penting difahami sebagai landasan (keilmuan) pendidikan.
Pemahaman sosiologis penting bagi pendidikan untuk menjelaskan dan memahami relasi dan interaksi manusia di dalam kelompok, masyarakat, ras, bangsa dan antar bangsa serta seluruh dinamika proses dan perubahan yang terjadi di dalamnya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa pemahaman psikologis memberikan gambaran paling lengkap tentang perilaku manusia, namun tidak sampai kepada suatu komposit utuh tentang manusia. Oleh karena itu pemahaman manusia dari semua sisi ilmu bantu yang disebutkan, termasuk juga dari perspektif ekonomi dan linguistik, harus dikaji secara koheren dengan filsafat.
Dua frase, tentang kondisi apa adanya dan kondisi bagaimana sehaursnya, telah dicoba ditelaah makna dan implikasinya. Frase “proses membawa” mengandung makna sebuah situasi transaksional yang dibangun atas dasar pemahaman peserta didik (dengan menggunakan ragam ilmu bantu) dan tujuan pendidikan (berdasarkan filsafat pendidikan) sehingga tercipta sebuah kondisi optimum yang memfasilitasi perkembangan manusia ke arah kondisi bagaimana seharusnya. Proses pendidikan menyangkut pengembangan seluruh aspek kepribadian manusia. Pendidikan bertujuan membantu manusia mencapai realisasi diri, menemukan dirinya sendiri sebagai mahluk individual, sosial dan mahluk Tuhan. Sikun Pribadi (1971:225)menyatakan bahwa: “ The general aim of education is the facilitation of creating the personal maximum condition for self-realization.”
“Creating the personal maximum condition” yang dikemukakan Sikun Pribadi itu bermakna sebagai esensi dari tindakan dan proses pendidikan. Kondisi maksimum dimaksud tidak mungkin dikembangkan hanya menggunakan teknik-teknik psikologi atau teknik-teknik ilmiah semata tentang perilaku manusia tanpa diuji dan dilumatkan secara koheren dengan filsafat pendidikan. “Proses membawa” adalah situasi pendidikan yang melumatkan (blending) pemahaman atas kondisi apa adanya dengan kondisi bagaimana seharusnya untuk membantu peserta didik mencapai realisasi diri. Realisasi diri (self–realization) mengandung arti yang sangat luas karena menyangkut masalah kesadaran individu terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan sebagai life-space-nya. Masalah kesadaran diri (self-awareness) merupakan ciri hakiki yang fundamental dari manusia, karena kesadaran diri hanya dimiliki oleh manusia. Dikatakan oleh Schumacher (1978, h. 29) bahwa kesadaran diri adalah faktor yang membedakan secara nyata antara manusia dan hewan.
Adalah hal yang diyakini bahwa Agama sebagai sumber kebaikan dan kebenaran dari segala sumber kebaikan dan kebenaran. Tapi mengapa masih harus berfilsafat? Agama adalah ajaran hidup yang bersumber dari wahyu Tuhan yang harus difahami dan diinternalisasi dengan atas nama Tuhan, atas dasar keimanan dengan menggunakan rujukan nilai-nilai ke-Tuhan-an; namun demikian agama tidak bersifat dogmatis. Internalisasi dan asimilasi nilai-nilai ajaran agama perlu lumat dengan kecerdasan dan hati yang akan membangun filsafat hidup. Filsafat hidup ini akan menjadi, antara lain, sumber filsafat pendidikan.
Sampailah kepada pertanyaan: “Apakah pendidikan itu ilmu?”. Setelah melakukan penjelajahan singkat untuk memahami makna pendidikan dan keilmuan pendidikan, ilmu-ilmu terkait yang digunakan dalam pendidikan, serta telaahan falsafah yang relevan, dapatlah dirumuskan kaidah-kaidah dasar berikut.
- Pendidikan adalah upaya normatif yang membawa manusia untuk merealisasikan diri.
- Proses membawa adalah tindakan pendidikan, perbuatan mendidik, relasi dan transaksi pendidikan, dalam menciptakan situasi pendidikan sebagai kondisi maksimum untuk memfasilitasi manusia merealisasikan diri.
- Situasi pendidikan adalah kondisi maksimum untuk memfasilitasi realisasi diri yang dikembangkan dengan melumatkan pendekatan ilmiah (scientific bases) tentang perilaku manusia secara koheren dengan filsafat pendidikan.
- Situasi pendidikan, dengan demikian, menjadi keunikan wilayah kajian pendidikan yang akan membedakan pendidikan dari ilmu-ilmu lain yang menjadi ilmu bantu pendidikan di dalam memahami, menjelaskan, memprediksi, dan mengendalikan perilaku manusia.
Dari kaidah-kaidah yang disebutkan dapat ditegaskan bahwa Pendidikan adalah Ilmu. Pendidikan adalah ilmu normatif yang mengkaji situasi pendidikan. Pendidikan bukanlah ilmu fisik atau kealaman, bukan pula ilmu perilaku manusia dan biologi, sebagaimana penggolongan ilmu dibuat, melainkan sebagai ilmu normatif. Memang benar ilmu pendidikan bersifat hibrida karena dibangun dari ilmu-ilmu dasar, yang berkaitan dengan perilaku manusia, namun semua itu diuji koherensinya dengan filsafat, bersifat normatif dan melahirkan kajian unik wilayah pendidikan.
Kejujuran dan Kemandirian[2] sebagai Tujuan Pendidikan
Keharusan manusia untuk hidup jujur, secara langsung diperintahkan Allah swt dalam firman Nya: ” Wahai orang orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang orang yang jujur (QS. At-Taubah : 199). Betapa kejujuran ini menjadi nilai fundamental dalam kehidupan manusia tergambar dalam sebuah kisah di zaman Rasulullah saw.
Suatu ketika seseorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. Kemudian berkata kepada Rasul, ” wahai Muhammad aku ingin ikut ajaranmu, akan tetapi aku masih senang mabuk-mabukan, mencuri, berzina dan berbohong. Orang orang mengatakan engkau melarang kesukaanku itu. Sungguh, aku tidak sanggup meninggalkanya, apakah masih ada peluang bagiku untuk bersamamu?’ Nabi menjawab, jangan khawatir, Islam terbuka pada siapa saja. Kalau kamu masih ‘gemar’ dengan kebiasaanmu itu tidak apa apa tapi satu syarat yang harus kamu penuhi. ” Apa itu Muhammad” tanya laki laki itu penasaran. “Jujurlah jangan suka berdusta !!!. Dia terima persyaratan tersebut dan masuk Islam ” Gampang sekali agama Muhammad, syaratnya hanya jujur” gumamnya dalam hati.
Setelah keluar dari tempat Nabi, teman temannya menawarkan khamer . Dia berpikir, ” kalau aku minum dan Muhammad tanya bagaimana aku menjawabnya ? Jika bohong aku mengingkari janjiku, dan kalau jujur, Muhammad pasti akan menghukumku. Akhirnya dia enggan meminum khamer. Dalam perjalanan pulang, diapun bertemu sahabat karibnya yang menawarkan gadis cantik untuk berzina, keingingan dan keraguan kembali menderanya dan diapun memilih untuk menolaknya.
Keesokan harinya, laki-laki itu menghadap Rasulullah SAW. “ Wahai Rasaulullh alangkah Indah ajarannmu, ketika kamu menyuruhmu untuk tidak berdusta, maka pintu maksiat tertutup bagiku , tak ada lagi hasrat untuk melakukannya”. Laki laki itupun bertaubat dan Nabi SAW. hanya tersenyum bersyukur kepada Allah SWT.
Dalam kitabnya Ihya Ulumiddin Imam Ghozali menjelaskan bahwa kata as-sidqu (jujur) digunakan pada enam pengertian. Jujur dalam perkataan, jujur dalam niat dan kehendak, jujur dalam tekad, jujur dalam melaksanakan tekad, jujur dalam perbutan, jujur dala ketentuan agama. seperti jujur dalam zuhud ikhlas, ridho, tawakkal, cinta dan sebagainya, maka yang demikian itu sungguh telah menjalani maqom tersebut.
Dari ilustrasi yang digambarkan dapat ditarik makna bahwa kejujuran yang hidup dalam diri seseorang telah mewarnai cara berpikir dan merasa seseorang di dalam menetapkan pilihan untuk bertindak dan mewujudkan pilihan itu di dalam tindakan nyata secara konsisten. Konsistensi antara cara berpikir, pilihan dan keputusan yang diambil, dan tindakan nyata sesuai dengan pilihan dan keputusan merupakan esensi kejujuran. Jujur kepada diri sendiri, orang lain, dan Tuhan. Dalam kondisi semacam ini terjadi konsistensi antara cara berpikir, keputusan yang diambuil, dan tindakan yang dilakukan, secara sadar dan mandiri, tanpa paksaan dan tidak dalam kepura-puraan.
Perilaku yang muncul atas kejujuran adalah perilaku mandiri. Apakah kemandirian menjadi wilayah kajian ilmu pendidikan dan sebagai tujuan pendidikan? Secara fenomenologis pendidikan merupakan proses interaksi yang selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berada dalam proses menjadi untuk menemukan keberadaan dirinya. Pendidikan bertujuan membantu manusia mencapai realisasi diri, menemukan dirinya sendiri sebagai mahluk individual, sosial dan mahluk Tuhan. Kembali ditegaskan apa yang diungkapkan Sikun Pribadi (1971: 225) bahwa: “ the general aim of education is the facilitation of creating the personal maximum condition for self-realization.” Istilah realisasi diri (self realization) mengandung arti yang sangat luas karena menyangkut masalah kesadaran individu terhadap dirinya sendiri maupun lingkungan sebagai life-space-nya.
Walaupun pendidikan dapat dilaksanakan secara kelompok, hakikat pendidikan tetap merupakan upaya bantuan yang diberikan kepada individu-individu yang beragam. Diakui bahwa sampai batas tententu strategi upaya pendidikan secara kelompok mampu membawa manusia ke arah tingkat perkembangan tertentu. Akan tetapi karena hakikat manusia itu berada pada tahap kehidupan yang bermakna, dan bahwa pendidikan itu bertujuan meningkatkan kebermaknaan hidup manusia, yang dia alami secara individual, maka strategi upaya umum itu perlu dilengkapi dan dilanjutkan dengan strategi upaya khusus yang lebih intensif dan individual, dan upaya dimaksud adalah bimbingan dan konseling.
Ijinkan saya dalam orasi ini menyinggung kaitan pendidikan dan bimbingan dan konseling, dalam konteks pengembangan kemandirian individu. Bertolak dari prinsip yang disebutkan, keberadaan bimbingan dan konseling dalam pendidikan muncul sebagai konsekuensi logis dari hakikat pendidikan itu sendiri. Phenix (1964: 296) mengemukakan bahwa:
…person may not ordinary be ready for mature understanding of self and others, for moral insight, and for integrative perspective until they have passed beyond the usual period of formal general education. Such a conclusion points to the need for continuing general education throughout life, particularly in the field of applied psychology (especially guidance and counseling on an individual or group basis with an existential emphasis,…)
Berbicara tentang bimbingan dan konseling, sama dengan pendidikan, tidak akan lepas dari pembicaraan tentang hakikat manusia. Keberadaan bimbingan secara terintegarasi di dalam pendidikan mengandung arti bahwa upaya bimbingan dan pendidikan terarah kepada tujuan yang sama, yakni membantu manusia mencapai kemandirian, membantu manusia agar mampu menolong diri sendiri.[3] Mc Daniel et.al. (1961) mengemukakan seperti berikut.
What are the basic goals and objectives of counseling? Although the statement could be phrased in many different ways, we may say that the counseling process should result in assiting individual to become autonomous, self-directing, and self– disciplined. This a rather ambitious statement of objectives and is not limited to the counseling and guidance. It could well be set up as general goal of education.
Melalui proses pendidikan dan bimbingan individu dibantu untuk mengembangkan pemahaman dan pemaknaan terhadap pengalamannya, sehingga dia menemukan kehidupan yang bermakna. Pemikiran ini sejalan dengan asumsi yang mengatakan bahwa: “The self constantly strives for meaning, that is for understandirig of its experiences. There is a basic drive to organize experience into meaningful wholes: one of the highest value in life is to have meaning in one’s personal existence. Meanings are determined by the whole organismic reaction of person to his experiences. (Patterson,1966: 68).
Asumsi di atas mengandung arti bahwa pendidikan dan bimbingan bertolak dari suatu pandangan yang melihat manusia itu sedang berada dalam proses menjadi (becoming) untuk menemukan keberadaan dan kebermaknaan hidup (being). Implikasi pemikiran ini ialah bahwa tujuan tujuan bimbingan dan juga tujuan konseling tidak semata-mata bersifat terapeutik-klinis tapi lebih bersifat pneventif dan pengembangan. (Blocher. 1971 Dalam Beck. 1971: 5).
Dalam menghampiri masalah kemandirian, tujuan bimbingan yang bersifat “pengembangan” lebih penting dari pada tujuan terapeutik atau klinis. Ini bertolak dari asumsi bahwa kemandirian tumbuh dalam proses individuasi yang terwujud dalam interaksi yang sehat
antara individu dengan budaya atau lingkungarmya. Pandangan ini melihat bahwa perkembangan adalah proses perubahan yang berpola dan bergerak ke arah perilaku yang dikehendaki oleh individu maupun masyarakat dalam sistem nilai tertentu. Fungsi pendidikan dan bimbingan maupun konseling di dalam pemikiran seperti ini ialah menciptakan kemudahan bagi terjadinya perkembangan kepribadian individu secara normal. Hasil bimbingan dapat dinyatakan dalam bentuk penguasaan tugas-tugas perkembangan atau peningkatan perkembangan dari tingkat satu ke tingkat berikut yang lebih tinggi. Bertolak dari pemikiran di atas dan asumsi yang mengatakan bahwa kemandirian merupakan tingkat perkembangan dinamika kepribadian individu, maka cukup alasan jika kemandirian menjadi wilayah studi dan bahkan sebagai tujuan pendidikan maupun bimbingan dan konseling.
Apa esensi kemadirian itu? Apabila kembali kepada rumusan tujuan pendidikan yang diungkapkan Sikun Pribadi, nampak bahwa (Sunaryo Kartadinata, 1983) “… upaya pendidikan dalam membantu individu mengembangkan sistem penyesuaian diri yang adekuat berlandaskan kepada sifat—sifat manusiawi dari manusia-manusia yang terlibat di dalamnya, terutama anak didik.” Prinsip tersebut mengandung arti bahwa mendidik bukanlah memberi nasihat kepada anak, melainkan mendapatkan situasi yang penuh keakraban di mana dalam situasi tersebut terwujudnya nilai—nilai hidup dalam bentuk perilaku yang dapat mempengaruhi dan mendorong anak berbuat atas kesadaran dan kemauannya sendiri.
Berbicara tentang kemandirian akan merujuk kepada perkembangan diri, karena diri merupakan inti dari kemandirian. Banyak istilah dan konsep yang berkenaan dengan diri seperti: self–determinism ( Durkheim, 1925 ), autonomous morality (Piaget, 1932), ego integrity (Erikson, 1950), the creative self (Adler), self–actualization (Maslow), self–system (Sullivan), real self (Horney), self–efficacy, self–expansion, self–esteem, self–pity, self–respect, self–sentience, self– sufficiency, self–expression, self–direction, self–structure, self–contempt, self–control, self–righteousness, self–effacement (Hall dan Lindzey; Sullivan; Horney; Wylie).
Konsep tentang diri yang dikemukakan di atas tidak selalu merujuk kepada kemandirian. Konsep kemandirian merujuk kepada konsep autonomy. Ada berbagai sudut pandang dalam menjelaskan makna dan proses perkembangan kemandirian. Durkheim (1925) melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat (society centered). Pandangan ini disebut juga pandangan konformistik. Menurut Durkheim kemandirian (autonomy) merupakan elemen esensial ketiga dari moralitasitas yang bersumber pada kehidupan masyarakat. Kemandirian tumbuh karena ada disiplin (yaitu ada aturan bertindak dan otoritas), dan komitmen terhadap kelompok. Kedua elemen ini (disiplin dan kornitmen) merupakan prasyarat bagi kemandirian.
Dalam pandangan konformistik, kemandirian adalah konformitas terhadap prinsip moral kelompok rujukan. Kemandirian adalah penampilan keputusan pribadi yang didasari pengetahuan lengkap tentang konsekuensi berbagai tindakan serta keberanian menerima konsekuensi tindakan tersebut. Pemahaman terhadap hukum moralitas menjadi faktor utama yang mendukung perkembangan kemandirian. Faktor pemahaman inilah yang membedakan kemandirian atau self– determinism dari kepatuhan (submission). Dikatakan oleh Durkheim (1925/1973: 116) “We liberate ourselves through understanding; there is no other means of liberation.” Dengan pemahaman inilah manusia akan terhindar dari konformitas pasif. Dikatakan lebih jauh oleh Durkheim, (1925/ 1973 :115) “Thus to understand the world and to order our conduct as it should be in relationship to it, we only have to take careful thought, to be fully aware of that which is in ourselves. This constitutes a first degree of autonomy”.
Konsep kemandirian konformistik ini tampak pula dalam pikiran McDougal (Togan dan Busch, 1984) yang melihat perilaku mandiri itu sebagai “hallmark” dari kematangan; sebagai pendorong perilaku sosial. Dalam konsep MeDougal kemandirian adalah konformitas khusus, yakni konformitas terhadap kelompok yang terinternalisasi. Manusia itu selalu berkonformitas; perbedaan satu sama lain terletak dalam hal kelompok rujukan yang disukainya. Dalam pemikiran Durkheim maupun McDougal tampak bahwa polaritas antara kemandirian dengan konformitas adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Berbicara tentang kemandirian tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang hakikat manusia, karena perkembangan kemandirian adalah perkembangan hakikat eksistensial manusia. Pandangan yang berpusat pada masyarakat tentang kemandirian lebih menekankan bahwa lingkungan itu mempunyai kekuatan yang “super” terhadap kehidupan manusia. Seolah-olah manusia tidak bisa “berbuat” terhadap dunianya; padahal manusia adalah mahluk yang tidak semata—mata dipengaruhi lingkungan melainkan dia mempengaruhi, mengubah, bahkan menciptakan lingkungan; manusia adalah mahluk yang memiliki keragaman di dalam kesamaan. ( M.I. Soelaeman, 1988).
Bertolak dari pemikiran tentang hakikat manusia yang diuraikan di atas, maka kemandirian perlu dihampiri dari sudut pandangan lain dan tidak semata-mata dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat. Pandangan yang berpusat pada masyarakat akan membawa implikasi pada pendidikan sebagai proses transmisi budaya yang menekankan kepada proses penanaman harapan dan aturan masyarakat belaka.
Pemikiran tentang hakikat manusia menunjukkan bahwa proses perkembangan manusia harus dipandang sebagai proses interaksional dinamis. Proses ini mengimplikasikan bahwa manusia berhak memberi makna terhadap dunianya atas dasar proses “mengalami” sebagai konsekuensi dari perkembangan berpikir dan penyesuaian kehendaknya. Dalam pandangan ini kemandirian menjadi berpusat pada ego atau diri sebagai dimensi pemersatu organisasi kepribadian (Kohlberg, 1984).
Kemandirian bukanlah hasil dari proses internalisasi aturan otoritas, melainkan suatu proses perkembangan diri sesuai dengan hakikat eksistensi manusia. Kemandirian yang sehat adalah yang sesuai dengan hakikat manusia. Perilaku mandiri adalah perilaku memelihara hakikat eksistensi diri. Erich Fromm (1947) menyebut perilaku ini sebagai katahati humansitik.
“Interaksional” mengandung makna bahwa kemandirian berkembang melalui proses pengembangan keragaman manusia dalam kesamaan dan kebersamaan dan bukan dalam kevakuman dan kesendirian. Dalam kaitan dengan kesamaan dan kebersamaan ini, Maslow (1971) membedakan kemandirian tak aman (insecure autonomy) dari kemandirian aman (secure autonomy). Kemandirian tidak aman adalah kekuatan kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi ini sebagai kemandirian mementingkan diri sendiri (selfish autonomy). Sedangkan kemandirian yang aman ialah kekuatan untuk menumbuhkan cintakasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama dan tumbuh rasa percaya terhadap kehidupan. Kekuatan ini digunakan untuk menyenangi dan mencintai kehidupan dan membantu oanang lain. Inilah yang dimaksud oleh Maslow dengan kemandirian yang sehat.
Dalam konsep transendensi[4] (Maslow. 1971: 165) ditekankan bahwa autonomy dan homonomy adalah dua hal yang berhubungan dan tumbuh bersamaan. Dikatakannya bahwa:
“ … for as the person grows healthier and more authentic the high autonomy and the high homony grow together and tend finally to fuse and to become structured into a higher unity which includes them both. The dichotomy between autonomy and homonomy, between selfishness and unselfishness, between the self and non-self, between the pure psyche and outer reality, now tend to disappear, and be seen as a byproduct of immaturity and of incomplete development.
Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam kemandirian justru tenkandung aspek keterkaitan, yakni pengakuan dan kesadaran akan ketergantungan dalam berbagai faset kehidupan. Dikatakan oleh Chikering (1971: 74) bahwa “…recognition and acceptance of interdependence, is the capstone of autonomy.” Kata interdependence mesti ditafsirkan lebih luas, bukan berarti ketergantungan antar manusia (saja) melainkan ketergantungan antar berbagai motif dan nilai yang melandasi perilaku yang tampil dalam interkasi dengan orang lain. Keputusan dan tindakan tidak semata-mata didasarkan kepada kebutuhan dalam dimensi nuang dan waktu tetapi juga dalam dimensi nilai. Maslow (1971) menyebut kekuatan ini sebagai meta-motivasi perilaku.
Perkembangan kemandirian adalah proses yang menyangkut unsur-unsur normatif. Ini berarti bahwa perkembangan kemandirian adalah suatu proses yang terarah, dan karena perkembangan kemandirian adalah perkembangan yang sejalan dengan hakikat eksistensial manusia, maka arah perkembangan tersebut mesti sejalan dengan dan bertolak dari tujuan hidup manusia. Berbicara tentang tujuan hidup akan selalu terkait dengan dimensi ruang, waktu, dan nilal. (M.I. Soelaeman, 1988: 56-61).
Menjadikan diri atau ego sebagai inti perkembangan kemandirian, memberi arti bahwa perkembangan manusia terarah kepada penemuan makna diri dan dunianya. Bagaimana manusia memberi makna terhadap diri dan dunianya tentu akan sangat beraneka ragam, karena bengantung kepada bagaimana dia mempersepsikan diri dan dunia itu. Di sini tersirat arti bahwa memaknai itu adalah proses yang selektif, dan karena itu bangun kehidupan yang terbentuk dalam setiap diri manusia akan berbeda-beda. Dalam tataran makna yang lebih tinggi—Phenix (1964) menyebut makna sinoptik dan Maslow (1968) menyebut transendensi lingkungan (transcendence of environment)— hubungan antara individu dengan dunianya tidak lagi bersifat interaksi subyek-obyek melainkan merupakan hubungan antar-subyektivitas (intersubiectivity), yakni proses dialog dalam diri.
Sifat selektif dalam memaknai kehidupan menunjukkan bahwa apa yang dipersepsikan dan dimaknai oleh manusia ditentukan melalui proses memilih. Proses memilih tidak terlepas dari proses kognitif, dalam menimbang berbagai alternatif yang akan selalu terkait dengan sistem nilai, dan bukan proses yang bersifat reaktif atau impulsif Bagaimana proses kognitif terjadi, dan bagaimana menyesuaikan kehendak terhadap berbagai dimensi kehidupan akan mewarnai cara manusia memaknai dunianya. Implikasi yang tersirat di sini ialah bahwa hampiran kognitif terhadap kemandirian dapat digunakan apabila dipertautkan dengan berbagai dimensi kehidupan manusia.
Bagaimana proses perkembangan itu terjadi? Apabila hakikat manusia ditelaah kembali, ternyata pada saat dia lahir ke dunia dia berada dalam ketidak- berdayaan dan ketidak – tahuan tentang diri dan dunianya. Pada tingkat ini dia “menyatu” dengan dunia atau alam. Menyatu dalam arti dia belum tahu hubungan subyek-obyek. Dengan kemampuan berpikir, kemotekaran, dan imajinasinya manusia mampu mengenal perbedaan diri dengan lingkungan dan orang lain, dan keterpautan diri dengan lingkungan dan orang lain itu. Di sini dia menuju dan berada dalam proses peragaman (diferensiasi). Dalam tahapan ini mungkin dia sedikit demi sedikit berupaya melepaskan diri dari ikatan otoritas dan menuju kepada hubungan mutualistik mengembangkan kemampuan menuju spesialisasi tententu, mengembangkan kemampuan instrumental untuk mampu melakukan dan memenuhi sendiri aktivitas hidup. Chikering (1971) mengidentifikasikan tingkatan ini sebagai indipendensi emosional dan instrumental yang merupakan dua komponen dalam perkembangan kemandirian. Kedua komponen tersebut bersifat komplementer, yang secara bertahap akan mengarah kepada pengakuan dan penerimaan ke-saling bergantung—an di dalam kehidupan.
Walaupun dalam tahap peragaman ini manusia sudah memiliki kemampuan instrumental, tapi dia belum sampai kepada kemandirian karena aksentuasi penampilan dirinya baru dalam aspek – aspek kehidupan tertentu. Proses peragaman dan spesialisasi ini sebenarnya baru merupakan proses pemilikan (having) akan pengetahuan, keterampilan, teknologi, dan masih harus berlanjut ke tingkat being sebagai dimensi kehidupan yang lebih penting , yakni upaya memantapkan jati diri (Fuad Hassan, 1986). Tingkat peragaman ini harus berlanjut ke tingkat integrasi, atau tingkat mendunia (Driyakara) yakni tahap mendekatkan diri kepada dunia yang dihidupi dan dihadapi, dan bukan mengasingkan diri sehingga timbul kemandirian tak aman (Maslow).
Demikianlah bahwa konsep kemandirian itu sebagai konsep totalitas kepribadian dan kehidupan manusia yang harus paralel dengan tujuan hidup manusia. M.I. Soelaiman (1985: 519- 525) menggambarkan bagaimana interaksi dan dinamika perkembangan manusia itu berlangsung menuju kehidupan yang terintegrasi. M. I. Soelaiman mengungkapkan lima karakteristik inheren dan esensial, yang saling berinteraksi, dalam kehidupan dan kepribadian manusia.
Dikatakan bahwa dalam kehidupan ini manusia menampilkan:
(1) kedirian, yang menunjukkan pengukuhan dirinya dan bahwa dirinya itu berbeda dari yang lain. Akan tetapi kedirian itu tidak pernah berlangsung dalam kemenyendirian melainkan dalam:
(2) komunikasinya dengan berbagai pihak baik dengan lingkungan fisik, orang lain, diri sendiri, maupun dengan Tuhannya. Komunikasi manusia dengan berbagai pihak ini menunjukkan adanya:
(3) keterarahan dalam diri manusia yang menyatakan bahwa hidupnya ini bertujuan. Proses penwujudan dan pencapaian tujuan ini menghendaki adanya:
(4) dinamika yang menyatakan bahwa manusia memiliki pikiran, kemampuan dan kemauan sendiri untuk berbuat dan berkreasi, dan tidak menjadi objek yang dipolakan atau digerakkan oleh (orang) lain. Keempat fenomena itu tampil secara terintegrasi dalam keterpautannya dengan:
(5) sistem nilai, sebagai elemen inti dari tujuan dan cara hidup.
Dapatlah ditegaskan bahwa kemandirian adalah sebuah proses perkembangan, terbentuk melalui proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya. Pendidikan dan bimbingan bertugas mengembangkan atau menyiapkan lingkungan yang mampu memperkaya kehidupan kemandirian individu dalam hubungannya dengan kehidupan orang lain dan dunianya. Esensi tujuan pendidikan dan juga bimbingan dan konseling adalah memandirikan individu; kemandirian (autonomy) adalah tujuan pendidikan dan bimbingan.
Kemandirian yang sehat akan tumbuh melalui interaksi yang sehat antara individu yang sedang berkembang dengan lingkungan dan budaya yang sehat pula. Di sinilah letak esensi upaya pendidikan untuk menciptakan lingkungan perkembangan yang dilandasi kaidah-kaidah ilmu pendidikan. Dalam konteks pengembangan kemandirian, tujuan pendidikan dan bimbingan tidak sebatas sebagai proses pemecahan masalah yang hanya bersifat kekinian, melainkan terarah kepada penyiapan individu untuk dapat menghadapi persoalan-persoalan masa depan dan menjalani kehidupan sebagai anggota masyarakat maupun sebagai mahluk Allah Yang Maha Kuasa. Pendidikan dan Bimbingan bertugas memfasilitasi individu menguasai perilaku jangka panjang yang diperlukan di dalam kehidupannya, dalam mengambil keputusan sosial-pribadi, pendidikan, dan karir.
Dalam konteks pembelajaran, ”menciptakan situasi pendidikan” merupakan strategi upaya mendidik yang memfasilitasi individu mempelajari perilaku jangka panjang. Ini berarti bahwa pembelajaran harus merupakan upaya mendidik. Pembelajaran yang mendidik, yakni pembelajaran yang tidak hanya berorientasi penyampaian substansi materi ajar melainkan menciptakan situasi pendidikan yang memfasilitasi individu mencapai kemandirian. Di dalam dunia bimbingan dan konseling dikenal adanya layanan dasar yang berorientasi pengembangan perilaku jangka panjang yang memandirikan individu. Bimbingan dan konseling berorientasi memandirikan, yakni Bimbingan dan Konseling Memandirikan. Sebuah konsep bimbingan dan konseling yang konsisten dan sejalan dengan konsep ilmu pendidikan. Pembelajaran yang Mendidik dan Bimbingan dan Konseling yang Memandirikan adalah dua modus strategi upaya memfasilitasi perkembangan individu yang harus didukung oleh manajemen dan kepemimpinan pendidikan.
Bangsa Bermartabat dan Misi Pendidikan
Pendidikan di setiap negara bertujuan menyiapkan siswa menjadi waga negara yang baik. Dalam konteks kekinian, di era global, pendidikan tidak semata-mata menyiapkan individu menjadi warga negara yang baik tapi menyiapkan mereka menjadi warga dunia, yang mampu berkomunikasi dan berkolaborasi antar bangsa dan mengembangkan serta memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan manusia. Peran pendidikan (Griffin: 2012) bergeser dari peran yang beorientasi defisit ke peran yang berorientasi perkembangan.
Misi negara yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia adalah bahwa ”… Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”, sebagaimana termuat dalam Alinea 4 Pembukaan UUD 1945. Dua misi pertama, berorientasi ke dalam yakni untuk menguatkan eksistensi bangsa dan negara dan mensejahterakan rakyat, dan dua misi terakhir berorientasi keluar, dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia, yakni membangun kehidupan bangsa yang cerdas dan menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Keempat misi yang disebutkan harus ada dalam setiap kepala dan pikiran manusia Indonesia, cara kerja dan cara hidup sebagai warga negara. Keempat misi negara ini mesti diterjemahkan ke dalam misi setiap sektor pemerintahan dan menjadi misi pemerintahan, termasuk misi pendidikan.
Bisa terjadi ragam pemaknaan terhadap misi dimaksud namun semuanya harus terarah kepada penguatan eksistensi dan martabat bangsa dan negara . Melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mengandung makna menumbuhkan daya tahan bangsa dan negara dari segala ancaman. Daya tahan bangsa tidak sebatas daya tahan sekuriti melainkan daya tahan ideologi, jati diri, dan budaya. Strategi proxy war dan perang a simetris merupakan ancaman paling membahayakan terhadap keutuhan dan eksistensi bangsa karena bisa menimbulkan perang saudara dan penyimpangan ideologi.
Kesejahteraan (dalam arti well-being) mengandung makna kecakapan untuk meningkatkan hidup lebih baik dan dengan menempatkan hati dan pikiran untuk kesehatan emosional dan spiritual, yang didukung oleh kecukupan material agar manusia bisa melakukan pilihan untuk memelihara eksistensi dan keberlanjutan diri. Keadaan well being bisa dalam arti intrapersonal, interpersonal dan struktural yang akan menjadi rangkaian peluang untuk dipilih manusia dalam memelihara eksistensi dan keberlanjutan diri.
Well being merupakan sebuah keadaan dan proses perkembangan yang harus didukung oleh sumber-sumber kapital yang terkait dengan (1) kehidupan sosial, budaya, ekonomi yang menyediakan peluang yang bersifat mendukung terhadap pilihan yang paling mungkin dibuat manusia untuk merealisasikan diri; (2) ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan melalui riset yang berorientasi kemaslahatan masyarakat, (3) budaya yang dikembangkan menjadi sebuah warisan baik sebagai proses maupun produk, dan (4) tata kelola pemerintahan yang efisien, melindungi kekayaan fisik maupun non fisik, ketersediaan dan kecukupan bisnis, ketenaga kerjaan, dan sistem remunerasi.
Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah “…membangun karakter, membangun watak, dan membangun kepribadian dan martabat bangsa. Perlu disadari, bahwa yang ditegaskan dalam hal ini adalah, kecerdasan kehidupan bangsa bukan kecerdasan orang per orang, demikian pula halnya dengan karakter bangsa, bukan karakter orang per orang, martabat bangsa bukan martabat orang per orang. Kendatipun benar bahwa kecerdasan, karakter, dan martabat yang disebutkan akan melekat pada diri orang per orang namun kecerdasan bangsa, karakter bangsa, martabat bangsa bukanlah sebuah agregat dari kecerdasan, karakter, dan martabat perorangan; di dalamnya mesti ada perekat, yaitu nilai-nilai kultural, kesadaran kultural dan oleh karena itu pendidikan harus membangun kecerdasan kultural (cultural intelligence).” (Sunaryo Kartadinata: 2012: 7)
Turut serta memelihara ketertiban dan perdamaian dunia menjadi tugas dan tanggung jawab universal dari seluruh umat manusia. Perdamaian dan kedamaian bukan semata-mata dalam arti ketiadaan perang, kerusuhan, dan konflik dalam kehidupan manusia melainkan lebih kepada tata pikir (mind set) dan tindakan manusia untuk hidup damai dan membangun kedamaian. Tata pikir dan kehidupan damai ini mesti terwujud dalam kehidupan sekolah dan bahkan kelas. Perilaku kekerasan (violent behavior) yang terjadi di masyarakat baik secara verbal, fisik, maupun struktural merupakan refleksi dari ketidak damaian kehidupan. Perilaku konsumerisme, eksploitasi lingkungan, cara-cara “persuasi” untuk mengabil keuntungan pribadi secara tersembunyi semua merupakan perilaku kekerasan non fisik yang cukup membahayakan. Dalam kehidupan sekolah, tindakan bully baik antar siswa maupun guru kepada siswa adalah perilaku kekerasan yang harus dihentikan
Bangsa bermartabat adalah bangsa yang cinta tanah air, sejahtera lahir bathin, cerdas dalam memilih dan mengambil keputusan, cinta damai dan kedamaian, kerja keras dan berorientasi mutu, jujur, bertanggung jawab, dan mengedepankan kemaslahatan bagi kehidupan manusia yang dilandasi oleh dan merupakan perwujudan dari keimanan dan ketakwaan kepada Allah Yang Maha Kuasa. Sosok dan nilai-nilai bangsa bermartabat ini mesti melandasi misi guru ketika dia hadir di dalam proses pembelajaran dan kehidupan sekolah. Guru hadir ke sekolah dan kelas dengan misi.
Mengajar dengan Misi: Membangun Atmosfir Pembelajaran
Dalam seting persekolahan upaya pendidikan diwujudkan terutama dalam proses pembelajaran. Pembelajaran adalah upaya pendidikan yang harus dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pendidikan. Hakikat ilmu pendidikan dan tujuan pendidikan yang dijelaskan terdahulu mengandung makna bahwa di dalam pembelajaran terkandung unsur tujuan jangka panjang (teleologis) dan suasana yang menfasilitasi perkembangan. Kejujuran dan kemandirian sebagai aspek tujuan pendidikan adalah perilaku jangka panjang yang terbentuk di dalam suasana pembelajaran yang mendidik. Sosok dan nilai-nilai bangsa bermartabat yang digambarkan perlu difahami dan dicerna sebagai sumber inspirasi bagi guru di dalam merumuskan misi pembelajaran. Bahan ajar yang diajarkan kepada siswa tidak semata-mata dimaksudkan untuk dikuasai siswa secara baik, sebagai pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga berfungsi sebagai wahana pengembangan perilaku jangka panjang yang lumat di dalam atmosfir pembelajaran.
Guru sadar akan misi yang dibawanya kedalam kelas, dan dia memfasilitasi siswa mencapai misi dimaksud dengan cara mempelajari substansi ilmu pengetahuan dalam atmosfir pembelajaran yang memfasilitasi perkembangan perilaku sesuai dengan misi yang hendak diwujudkan. Substansi pelajaran, perilaku yang terkandung dalam misi, dan nilai-nilai kehidupan menjadi lumat dan dipelajari siswa secara serentak di dalam proses dan atmosfir pembelajaran. Pembelajaran merupakan sebuah kiat dan bukan semata-mata ilmu, namun pembelajaran dirancang dan dilaksanakan dengan menggunakan landasan keilmuan, yakni ilmu pendidikan.
Dalam konteks pembelajaran, ilmu pendidikan menjadi landasan keilmuan kiat mengajar (a scientific bases of the art of teaching), dan guru hadir di kelas tidak hanya untuk membelajarkan siswa menguasai pengetahuan dan keterampilan dari bahan ajar yang dipelajari tapi dia (guru) hadir dengan misi untuk membawa siswa mencapai tujuan-tujuan jangka panjang. Misi merupakan idealisme dan spirit seorang guru, sebuah cita-cita jangka panjang seorang guru yang ada di dalam dirinya untuk membawa siswa ke kehidupan masa depan yang baik dan benar, baik sebagai pribadi, warga negara sebagai generasi penerus bangsa, dan sebagai mahluk Tuhan Allah Yang maha Kuasa. Misi seorang guru lahir dari pemahaman dan pemaknaan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, nilai-nilai budaya, dan misi negara, yang lazimnya dituangkan dalam rumusan Tujuan Utuh Pendidikan Nasional.
Tujuan Utuh Pendidikan Nasional, yakni tujuan individual, tujuan kolektif, dan tujuan eksistensial. Tujuan individual yaitu tujuan yang harus dicapai oleh setiap peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya. Tujuan kolektif adalah tujuan yang harus dicapai dalam wujud kecerdasan kehidupan bangsa, dan tujuan eksistensial adalah tujuan yang harus terwujud dalam karakter bangsa yang bermartabat yang memiliki daya saing dan ketahanan hidup yang kokoh. Dalam perspektif pendidikan yang digambarkan, membangun manusia Indonesia yang bermartabat melalui upaya pendidikan adalah mewujudkan tujuan utuh pendidikan nasional, sehingga dengan demikian setiap kebijakan, regulasi, praktek penyelenggaran, manajemen, dan evaluasi pendidikan harus secara konsisten beranjak dari mind set utuh pendidikan yang terarah kepada pencapaian tujuan utuh pendidikan nasional. (Sunaryo Kartadinata: 2012: 7)
Esensi pendidikan yang ditegaskan dalam UU Sisdiknas memposisikan peserta didik sebagai “pemikir”[5] yang harus aktif mengembangkan potensi diri dan mencari makna dari dunianya. Implikasinya, pembelajaran harus membangun nilai-nilai diskusi, kolaborasi, dan memaknai pengetahuan secara kultural yang berbeda dari pengetahuan secara personal, membangun “intersubyektivitas” yang memungkinkan orang faham akan apa yang terjadi pada orang lain. Ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka ujian, seperti halnya ujian nasional, adalah sebuah kemunduran, karena dengan demikian pembelajaran akan menjadi sebuah proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan. Paradigma ini menempatkan peserta didik sebagai pebelajar imitatif dan belajar dari ekspose-ekspose didaktis belaka yang akan berhenti pada penguasaan fakta, prinsip, dan aplikasinya. Paradigma ini tidak konsisten dengan esensi pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas dan bahkan mengingkari hakikat manusia itu sendiri. (Sunaryo Kartadinata: 2012: 6)
Sebuah atmosfir pembelajaran, yang berorientasi perkembangan, mengandung unsur-unsur struktur, transaksi, dan penguatan. Struktur adalah penyajian tantangan kepada siswa yang mendorong siswa untuk berpikir, berbuat, menguji, mengalami. Tantangan yang disajikan hendaknya mengandung kebaruan (novelty) sehingga mendorong siswa untuk mencari ragam alternatif pemikiran baru. Transaksi adalah interaksi sosiopsikokultural guru-siswa maupun siswa-siswa. Proses dialog, berbagi (sharing), mensintesis pengetahuan dalam konteks, kolaborasi, respek, mengharagi keragaman pikiran dan sikap, dan perilaku lainnya sebagai sebuah proses mengembangkan alternatif respon terhadap tantangan yang disajikan. Penguatan merupakan respons dan internalisasi atas alternatif pikiran, tindakan, dan apresiasi siswa terhadap tantangan.
Menyimak uraian yang dijelaskan tampak bahwa sosok guru ideal dan profesional tidak cukup sekedar menguasai kompetensi tapi juga harus memahami dan menguasai misi. Kompetensi merupakan perangkat perilaku yang terinternalisasi baik secara kognitif, psikomotorik maupun afektif yang secara konsisten terwujud dalam unjuk kerja (professional). Kompetensi menggambarkan mutu penguasaan tindakan yang diambil atas dasar serangkaian pilihan dan keputusan yang akuntabel. Kompetensi merupakan representasi dari rongga profesi yang beririsan dengan rongga pribadi. Irisan dan keterpaduan antara rongga profesi dengan rongga pribadi akan membentuk jati diri professional. Seorang guru yang telah memiliki jati diri professional akan menjadikan nilai, tugas, kehidupan, dan tanggung jawab seorang guru sebagai nilai intrinsik dan spirit. Dia akan bekerja tidak sekedar memenuhi standar, yang terwujud dalam etos kerja, melainkan kerja atas dasar spirit dan idealisme yang selalu mendorong dirinya untuk berinovasi secara kreatif, dan disitulah misi tumbuh. Lintasan belajar sebagaimana dimaksud membawa guru dari kompetensi menuju (pembentukan) jati diri dan misi. Misi merupakan titik terdalam dari lintasan belajar (learning trajectoty) guru yang akan mewujudkan pekerjaan guru sebagai pekerjaan yang hidup (work live) dan bukan pekerjaan rutin dan mekanistik.
Akhirnya, ijinkan saya mengakhiri orasi ini dengan penegasan bahwa pendidikan tidak mungkin diselenggarakan dengan baik dan utuh tanpa menggunakan ilmu pendidikan. Ilmu pendidikan adalah jati diri LPTK yang harus dikembangkan melalui riset, pendidikan guru harus menghantarkan para calon guru tidak sebatas menguasai kompetensi melainkan menumbuhkan spirit untuk mengembangkan jati diri dan misi, guru adalah pemegang kunci keberhasilan pendidikan melalui penciptaan atmosfir pembelajaran sebagai kondisi maksimum untuk realisasi diri siswa, yang harus didukung oleh sistem manajemen dan kepemimpinan pedagogis.
Rujukan
Bereiter, Carl. (1973). Must We Educate?. Englewood Cliffs New Jersey: Prentice—Hal, Inc.
Blocher, Donald H. (1971). “Issues in Counseling: Elusive and Illusional”, dalam Beck, Carlton E. (ed.), (1971). Philosophical Guidelines for Counseling. Dubuque, Iowa: W.MC. Brown Company, 2 – 6
Brenneman, Jr. Walter L. (1982). The Seeing Eye Hermeneutical Phenomenology in the Study of Religion. (n.p) The Pennsylvania State University Press
Chikering, Arthur W. (1971). Education and Identity. San Francisco: Jossey-Bass Inc., Publisher
Durkheim, Emile. Wilson, Everet K dan Schnurer Herman (trans.). (1925/1961). Moral Education: A Study in the Theory and Application of the Sociology of Education. New York: The Free Press
Erikson, E.H. (1953/1963). Childhood and Society. New York: W.W. Norton & Co. Inc.
Fromm, Erich.(1947). Man for Himself: An inquiry into the Psychology of Ethics. New York: Fawcett Premier
Fuad Hassan. (1986). “Mendekatkan Anak Didik pada Lingkungan, Bukan Mengasingkannya”. Prisma 2,. 39 – 44
Hall, C.S. & Lindzey, G. (1981). Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons
Horney, Karen. (1942). Self—Analysis. New York: W.W. Norton & Company, Inc.
ESENSI SEBUAH KEJUJURAN (pembelajaran ROSULULLOH)
Kneller, George F. (ed). (1971). Foundations of Education. New York : John Wiley and Sons
Kohlberg, Lawrence.(1984). Essays on Moral Development II: The Psychology of Moral Development. New York: Harper & Row, Publisher, Inc.
Loevinger, Jane. (1964). “The Meaning and Measurement of Ego Development”. American Psychologist, 195 – 20$
_______. (1979). Stages of Ego Development”. dalam Mosher, Ralph L. (ed.), (1979).. Adolescents’ Development sand Education, Berkeley: HcCutchan Publishing Co. 110 — 122
Maslow, Abaraham. (1968). Toward A Psychology of Being. New York: D. Van Nostrand Co.
______.(1971). The Farther Reaches of Human Nature. New York: The Viking Press
McDaniel, H.B.et al. (1961). Readings in Guidance, New York: Holt, Rinehart and Winston
Naisbitt, John. (1982). Megatrends: Ten New Directions Transforming Our Lives. New York: Warner Books, Inc.
Patterson, C.H. (1966). Theories of Counseling and Psyhotherapies. New York: Harper & Row, Publisher
Phenix, Philip H. (1964). Realms of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General Education. New York: McGraw-Hill Book Co.
Piaget, Jean. (1932). terjemahan Gabain, Marjorie.(1965). The Moral Judgment of the Child. New York: he Free Press
Sikun Pribadi.(1971). In Search of A Formulation of The General Aim of Education. Bandung: LPPD IKIP
Schumacher, E.F. (1978). A Guide for the Perplexed, London: Sphere Books Ltd.
Soelaeman, M.I. (1985). Suatu Pendekatan Fenomenologis terhadap Situasi Kehidupan dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah. Disertasi, Bandung: IKIP
_______.(1988). Suatu Telaah Tentang Manusia – Religi – Pendidikan. Jakarta: P2LPTK
Sullivan, Harry Stack. (1953). The Interpersonal Theory of Psychiatry, New York: W.W. Norton & Company, Inc.
Sunaryo Kartadinata. (1983). Kontribusi Iklim Keluarga dan Sekolah Terhadap Adekuasi Penyesuaian Diri. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana: IKIP Bandung
______. (1988). Profil Kemandirian dan Orientasi Timbangan Sosial Mahasiswa Serta Kaitannya Dengan Perilaku Empatik dan Orientasi Nilai Rujukan. Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana: IKIP Bandung
______.dkk (1999). Quality Improvement and Management System Development of School
Guidance and Counseling Services. URGE Project, Ditjen Dikti
______.dkk. (2003). Pengembangan Model Analisis Tugas-tugas Perkembangan dalam
Peningkatan Mutu Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Riset Unggulan Terpadu, LIPPI
Wylie, Ruth C. (1974). The Self—Concept:A Review of Methodological Considerations and Measuring Instrument. London: University of Nebraska Press
[1] Diangkat dari Sunaryo Kartadinata (2010), “Pendidikan sebagai Ilmu”, dalam Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling Sebagai Upaya Pedagogis. UPI Press
[2] Kajian tentang kemandirian diolah ulang dari Sunaryo Kartadinata (2010). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya Pedagogis. UPI Press
[3] Kemampuan menolong diri sendiri (self-help) merupakan salah satu dari sepuluh arah transformasi kehidupan di dalam dunia modern. (John Naisbitt. 1982)
[4] Konsep transendensi Maslow merujuk kepada konsep perkembangan. Self-transcendence bukanlah self-obliteration (penghapusan atau peleburan diri), melainkan proses prkembangan kekuatan kemandirian dan pencapaian identitas diri.
[5] Dalam konsep Jerome Bruner. 1996. (http://www.scottlondon.com/reviews/bruner.html) ada empat model pedagogi mutakhir dalam cara memandang dan memperlakukan siswa dalam proses pembelajaran, yang merefleksikan sebuah kultur pendidikan, yaitu sebagai: 1) pebelajar imitatif, 2) pebelajar ekspose didaktis, 3) pebelajar pemikir, dan 4) pebelajar “berilmu” (knowledgeable).
Tulisan lain yang berkaitan:




