Oleh Teguh Trianton (Guru SMK Widya Manggala Purbalingga)
Hubungan bahasa dengan Sastra Indonesia pada dasarnya serupa dua sisi mata sekeping uang logam. Keduanya saling ketergantungan, tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri. Sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna dengan bahasa sebagai mediumnya Prodopo (1995). Bahasa sendiri tidaklah netral, sebab sebelum jadi anasir dari bangunan karya sastra, bahasa telah memiliki arti tersendiri (meaning) berdasarkan konvensi bahasa tinggkat pertama melalui pembacaan heuristik.
Sumbangan sastra sendiri terhadap khasanah bahasa Indonesia tidak perlu diragukan lagi. Konvensi-konvensi sastra dengan sendirinya memberikan sokongan yang besar bagi perkembangan bahasa.
Dalam pendidikan, nilai estetik dan putik sastra selama ini diyakini mampu memompa dan membangun karakter manusia. Bahkan mendiang Presiden Amerika Serikat John F Kenedy (JFK) begitu yakin bahwa sastra mampu meluruskan arah kebijakan politik yang bengkok. Sehingga politikus yang mati tertembak ini mengatakan, ‘Ketika Politik Bengkok Bengkok Sastra akan Meluruskanya’.
Begitu pentingnya sastra bagi kehidupan sehingga Seno Gumira Ajidarma (1997) kemudian mengafirmasi pernyataan JFK dengan membuat adagium ‘Ketika Jurnalisme Dibungkam maka Sastralah yang akan Berbicara’. Sastrawan yang juga jurnalis ini tidak main-main dengan statementnya, kumpulan Cerpen ‘Saksi Mata’ (1994) terbitan Bentang Budaya Yogyakarta adalah ‘saksinya’. Seluruh cerpen dalam kumpulan ini merupakan ‘pembocoran’ fakta peristiwa kekerasan yang terjadi di Dili – Timor Lorosai saat itu.
Dalam banyak kesempatan sastra menjadi bahasan yang tak pernah kering, mulai ihwal pembabakan dalam sejarahnya, rendahnya kritik dan apresiasi, hingga polemik seputar tema serta mainstream arah pergerakan perkembangan sastra mutakhir.
Pada tahun 2001, Sastrawan sekaligus Kritisi Sastra, Agus R Sarjono bahkan sempat menuturkan bahwa telah terjadi disorientasi dalam Pengajaran Sastra di sekolah (Sarjono, 2001). Diungkapkan, gagalnya pengajaran sastra di sekolah lebih banyak terjadi akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari hakekat yang melandasi lahirnya pengajaran sastra ini.
Oleh karena itu, sudah selayaknya pengajaran sastra harus mempertanyakan ulang seluruh landasan meng-ada-nya jika tidak ingin jatuh pada persoalan yang sama berupa gagalnya pengajaran sastra yang tak kunjung selesai (2001 : 14).
Selama ini, meski polemik, seminar dan lokakarya telah digelar bertahun-tahun untuk menyelesaikannya, namun pengajaran sastra sangat awam, hanya membahas strukturnya saja (intrinsik dan ekstrisik) secara awam. Sastra dianggap sebagai sesuatu yang lahir dari kekosongan budaya dan otonom, sehingga dianggap tidak ada intertekstualitasnya dengan teks-teks lain, diskursus lain.
Begitu pentingnya sastra, hingga perguruan tinggi membuka fakultas sastra. Di tiap daerah berdiri komunitas-komunitas sastra, kampus menjadi kantong-kantong ‘basis’ kehidupan sastra. Bahkan sistem pendidikan kita memasukan sastra sebagai muatan pelajaran dalam kurikulum. Meski masih mendompleng pada mata pelajaran Bahasa Indonesia, namun setidaknya sastra diajarkan pada siswa di sekolah.
Kondisi ini kemudian memaksa kita untuk menelan kegalauan. Kondisi pengajaran sastra masih mengecewakan , dan ini dirasakan oleh sastrawan, pemerhati atau kritisi sastra, masyarakat, siswa dan bahkan guru sendiri (Sarjono, 2001: 207-208). Ini adalah kondisi pada tahun 1980-an, yang didasarkan pada sejumlah penelitian yang saat itu dilaksanakan.
Namun kondisi ini agaknya masih terus berlangsung hingga sekarang. Bahkan kondisi pengajaran sastra di sekolah saat ini tak jauh berbeda atau justru kian memprihatinkan.
Dalam tulisan berbeda, Ahmadun Yosi Herfanda (2007) menggambarkan kondisi terkini pengajaran sastra di sekolah. Dalam makalahnya diungkap bahwa pengajaran sastra di sekolah sampai saat ini belum berjalan secara maksimal. Indikator utama yang memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMU terhadap karya sastra.
Bahkan dalam aspek pengetahuan sastra saja, mereka umumnya juga masih sempit, tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia selebriti. Ironis, mereka, misalnya, umumnya lebih mengenal siapa Britney Spears atau Westlife di negeri Paman Sam daripada Ahmad Tohari di negeri sendiri.
Kondisi Pengajaran Sastra di SMK
Diskursus dan kontestasi seputar pengajaran sastra yang selama ini menguat baik dalam forum seperti diskusi, atau seminar, dan muncul di media masa selalu mengambil contoh kondisi pada Sekolah Menengah Atas (baca: sekolah umum). Sementara jarang sekali, atau bahkan belum ada kritisi sastra dan pendidikan yang menyoroti problem pengajaran sastra di sekolah menengah kejuruan (SMK).
Pembangunan pendidikan ke depan diorientasikan pada upaya peningkatan jumlah sekolah kejuruan dengan perbandingan 70:30 dari jumlah SMA. Kondisi saat ini 60 : 40. Artinya perbandingan jumlah siswa SMK juga akan lebih banyak dari siswa SMA/MA. Artinya, penggambaran-penggambaran tentang kondisi pengajaran sastra pada sekolah di Indonesia justru masih jauh dari kondisi yang sebenarnya. Dalam pandangan Saya, jika melihat perbandingan tersebut bukan tidak mungkin kondisi pengajaran sastra di sekolah di Indonesia justru lebih parah lagi.
Pada SMK; sastra yang notabene bagian tak terpisahkan dari bahasa dan bangunan pendidikan budaya serta budi pekerti dan karakter ini, ternyata sama sekali tidak mendapatkan porsi. Tentu saja ini merupakan problem serius yang harus segera di selesaikan, jika pendidikan memang hendak diarahkan untuk membangun karakter bangsa dengan memanusiakan manusia .
Mengingat dalam kurikulum SMK tahun 2004 yang saat ini masih dianut, mata pelajaran Bahasa Indonesia sepenuhnya diarahkan pada satu tujuan yaitu penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar untuk tujuan komunikasi di dunia kerja.
Memang dalam deskripsi pemelajaran Bahasa Indonesia SMK terdapat istilah penggunaan Bahasa Indah. Terminologi ini secara sadar dipilih untuk menggantikan istilah sastra. Hal ini disebabkan oleh dua alasan pokok yaitu pertama, untuk mencegah kesan ‘menakutkan’ bagi siswa dan guru terhadap sastra, dan kedua, istilah bahasa indah merupakan ancangan yang tepat untuk memasuki dunia sastra. Oleh karena itu bahasa indah seperti kata-kata mutiara, ungkapan-ungkapan, dan iklan tertentu mulai diperkenalkan pada peringkat Semenjana.
Kemudian, pada peringkat Madya siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan, bentuk-bentuk bahasa indah, dan memahami maknanya. Hal ini dapat dicapai antara lain melalui kegiatan penugasan di dalam dan di luar modul. Dan pada peringkat Unggul para siswa dibimbing untuk menggunakan atau untuk memproduksi bahasa indah dalam berbagai kesempatan, seperti dalam membuat catatan harian, majalah dinding, berpantun, musikalisasi puisi, dan drama.
Sayangnya, dari tiga tingkat penguasaan komunikasi; standar atau kualifikasi Semenjana, Madia dan Unggul, sesungguhnya pengajaran sastra hanya mendapat setengah dari sub kompetensi dasar yang harus dikuasai pada level Unggul, yaitu pada kompetensi dasar apresiasi teks seni.
Padahal secara keseluruhan dalam tiga standar kompetensi tersebut terdapat 32 kompetensi dasar yang harus dikuasai yang merupakan sub pokok bahasan. Masing terdiri atas 12 kompetensi dasar tingkat Semenjana, 14 kompetensi dasar di tingkat Madia, dan 5 kompetensi dasar di tingkat Unggul .
Sementara pada SMA/MA, ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; (1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. (4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. (5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Dan (6) menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia .
Kunci Permasalahan
Dalam banyak tulisan, sejumlah kritikus sastra terlanjur menjatuhkan vonis bersalah pada guru sastra atas rendahnya apresiasi siswa terhadap karya sastra . Dalam pandangan kritisi sastra, kian merananya pengajaran sastra di sekolah lebih banyak disebabkan oleh dua faktor yang bermuara pada guru. Pertama, guru sebagai sosok pengajar dianggap kurang memiliki kompetensi dan basis pengetahuan sastra yang mumpuni. Kedua, guru dinilai tidak kreatif dalam proses pembelajaran (pengajaran) sastra di sekolah sehingga cenderung membosankan. Ini terjadi karena guru dinilai tidak memiliki strategi jitu.
Meski belum ada pemetaan terbaru, namun untuk dua penilaian tersebut, sesungguhnya Saya cenderung sepakat. Bahkan di lapangan, memang acap kali dijumpai seorang guru sastra (Bahasa dan Sastra Indonesia) yang enggan meng-upgrade pengetahuan mereka tentang seluk-beluk sastra kontemporer.
Namun yang menjadi permasalahan mendasar dalam pandangan Saya, sesungguhnya adalah sistem pendidikan kita. Kurikulum pendidikan yang saat ini dianut tidak pernah memberikan ruang gerak yang leluasa pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan masih melenceng jauh dari hakekat tujuan pendidikan itu sendiri. Inilah yang sesungguhnya terjadi di lapangan.
Pendidikan diselenggarakan hanya untuk menciptakan tukang, dan mengejar angka partisipasi kasar (APK) semata . Sehingga mata pelajaran humaniora seperti sastra, bahasa, seni dan budaya hanya diletakan di pinggiran, dianak-tirikan, bahkan dianggap tidak berguna sama sekali. Pengetahuan tentang sastra termasuk apresiasi sastra, dinomorduakan dan dianggap hanya sebagai hiburan. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan guru bermalas-malasan dalam mengajarkan pengetahuan tentang sastra.
Dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif dan menciptakan strategi jitu. Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu mencitakan pembelajaran yang berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan, serta tidak ketinggalan jaman .
Namun sayangnya, guru dihadapkan pada seperangkat silabus dan standar kompetensi lulusan (SKL) tertentu yang telah ‘dipatenkan’ secara nasional yang berkiblat pada dogma yang dianggap sangat sakral berupa seperangkat kurikulum. Inilah kunci pokok permasalahanya. Silabus dan SKL inilah yang menghegemoni kreatifitas guru sastra. Sehingga dengan sendirinya pembelajaran sastra di sekolah kian terpingginggirkan.
Sistem pendidikan di Indonesia acap kali memaksa sekolah sebagai penyelenggara pendidikan dan guru ujung tombak mengingkari hakekat pendidikan. Target perolehan nilai tertentu yang harus dicapai dengan standar penilaian ujian nasional, memicu pengingkaran tujuan pendidikan yang sebenarnya. Sehingga tak urung memaksa guru bahasa menomorduakan sastra.
Yang timbul kemudian adalah pragmatisme pendidikan. Sehingga terjadi distorsi tujuan dan fungsi fundamental pendidikan. sekolah bukan lagi jalan liberasi dan humanisasi, tapi justru dibebani tujuan dan fungsi politis, ideologis, birokratis, korporatis, dan ekonomis. Sekolah telah menjadi praktek penindasan kaum kapitalis, dehumanisasi. Kondisi ini jauh-jauh hari yaitu pada tahun 1970 telah dikritik habis oleh Paulo Freire, dengan mengatakan pendidikan telah jadi bentuk kapitalisme yang licik (Escobar, dkk. Ed: 1998) .
Sekolah hanya menghasilkan tukang. Parahnya, kualitas akademik tukang-tukang ini hanya ditentukan oleh standar UN. Akibatnya terjadi penganak-tirian terhadap materi-materi tertentu, dan pelajaran-pelajaran tertentu yang tidak menunjang capaian ketuntasan belajar versi UN. Semua mata pelajaran yang tidak ada hubungannya dengan ujian nasional dianggap tidak perlu.
Duz, ujian nasional menjadi tujuan akhir pendidikan, sementara pendidikan karakter, kebebasan berpikir, budi pekerti, berkreasi, mengolah emosi, rasa dan perasaan tidak pernah dianggap penting. Semua termarginalkan oleh target pencapaian nilai ujian nasional (UN).
Barangkali kita sempat berpikir, bukankah sastra sebagai bagian dari mata pelajaran bahasa Indonesia di sekolah juga termasuk salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Ya, namun materi atau soal-soal UN sama sekali tidak berhubungan dengan kemampuan apresiasi siswa. Meski di dalamnya terdapat beberapa item soal yang berhubungan dengan sastra, namun lagi-lagi soal tersebut hanya berupa hapalan dan ingatan. Tidak pernah berhubungan dengan kemampuan apresiasi, olah rasa, emosi dan perasaan. Apalagi menyoal ihwal sastra kontemporer.
KTSP
Lalu bagaimana dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)? KTSP konon dibuat untuk memberikan ruang gerak yang sebebas-bebasnya pada pihak sekolah, secara otonom untuk menyusun strategi dan menetapkan target pendidikan yang hendak dicapai (Mulyasa, 2006). KTSP menjanjikan pada guru untuk melakukan berbagai inovasi pendidikan .
Namun dalam kenyataanya KTSP juga tidak mampu memberikan ruang yang cukup bagi guru untuk lebih inovatif dalam proses pembelajaran pada peserta didik. Hal ini terjadi karena lagi-lagi KTSP juga masih turunan dari kurikulum (KBK) yang telah memberikan batasan-batasan tertentu.
Dalam konteks pembelajaran sastra, KTSP sama sekali belum memberikan otonomi pada guru untuk memilih secara bebas dan bertanggungjawab materi-materi (karya-karya) mana yang sesungguhnya sesuai dengan perkembangan kondisi kontemporer. Target memenuhi standar ketuntasan UN sering kali mengalahkan hakekat KTSP. Disamping, memang KTSP tidak benar-benar memberikan ruang gerak yang bebas bagi guru dan sekolah.
Alih-alih KTSP menjadi solusi atas kebuntuan dan probelm pembelajaran sastra di sekolah, ternyata malah setali tiga uang dengan KBK yang hanya berorientasi pada pencapaian nilai UN.
Sebuah Tawaran
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyatakan kesanggupan pemerintah untuk memenuhi besaran anggaran pendidikan hingga 20 persen dari APBN merupakan kabar baik, sekaligus tantangan dalam pengelolaan. Di luar kepentingan politis menjelang Pemilu 2009, pidato kenegaraan dan keterangan pemerintah atas rancangan undang-undang tentang APBN 2009 beserta nota keuangannya di depan rapat paripurna DPR RI tanggal 15 Agustus 2008 lalu menunjukan optimisme dan keseriusan pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan.
Namun demikian, orientasi pembangunan pendidikan harus jelas. Selama ini arah pembangunan pendidikan telah keluar jauh dari rel dan mengingkari hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Ini terjadi terutama pada sekolah kejuruan (SMK/MAK) yang jelas-jelas diarahkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di pasar industri.
Ini terlihat jelas dalam penjabaran tujuan SMK. Sesuai dengan ketentuan dalam UU Sisdiknas, SMK adalah salah satu subsistem dari sistem pendidikan nasional. Tugas utama SMK adalah untuk mempersiapkan lulusannya memasuki dunia kerja, mengisi keperluan tenaga kerja terampil tingkat menengah. SMK diadakan untuk tujuan; (1) Memberi bekal pengetahuan, sikap dan keterampilan sebagai bekal bagi lulusannya untuk memasuki dunia kerja. (2) Memberi bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan dasar bagi lulusannya sebagai bekal dasar untuk mengembangkan kualitas dirinya secara berkelanjutan melalui pendiddikan formal, pendidikan nonformal, atau secara informal.
Inilah bentuk kurikulum yang dalam pandangan Darmaningtyas (2004) dianggap sebagai kurikulum yang menghilangkan rasa seni . Cikal bakal kurikulum semacam ini menurutnya telah ada sejak berlakunya Kurikulum 1994. Pendidikan diarahkan untuk penguasaan teknologi menjawab kebutuhan industri, sementara nilai-nilai seni sebagai bagian dari kodrat manusia dihapus begitu saja.
Kurikulum macam ini juga berpotensi mengalienasi manusia dari permasalahan kehidupan yang sebenarnya. Pendidikan tidak pernah mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan hidup yang sesungguhnya. Pendidikan baru mampu menjawab tantangan dan permasalahan dunia industri.
Kondisi semacam ini telah terjadi sejak tahun 80-an. Rendra (1980) dalam sajaknya mengungkapka; Matahari terbit/ Fajar tiba/ Dan aku melihat delapan juta anak-anak tanpa pendidikan// Aku bertanya/ tetapi pertanyaan-pertanyaan/ membentur meja kekuasaan yang macet/ dan papan tulis-papan tulis pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan .
Barangkali kita lupa, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berangkat dan berkembang ide kreatif dan inovasi serta pembaharuan. Sehingga hanya orang-orang yang memiliki kreatifitaslah yang mampu menguasai teknologi. Kreatifitas merupakan bagian dari seni yang telah ada pada kedirian manusia. Sehingga bagaimana mungkin manusia akan menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan jika potensi seni yang ada dalam diri tidak pernah dilatih .
Memang saat ini kurikulum kita telah mengakomodir pendidikan seni yaitu dengan kembalinya mata pelajaran seni dan budaya menjadi mata pelajaran di sekolah formal. Namun, lagi-lagi mata pelajaran ini harus termarginalkan oleh tujuan jangka pendek pendidikan kita berupa pragmatisme sempit tentang bagaimana meraih nilai minimal ketuntasan sesuai standar UN. Sehingga pelajaran seni dan budaya juga bernasib sama dengan pengajaran sastra.
Yang harus dilakukan saat ini adalah mengembalikan arah tujuan pendidikan pada hakekatnya. Hakekat pendidikan menurut ayat pedagogi kritik pendidikan Pennycook (2004) dalam Alwasilah (2008: 149-151) antara lain; pertama, Pendidikan memproduksi bukan hanya pengetahuan tapi juga Politik. Kedua, Etika seyogyanya dipahami sebagai sentralnya pendidikan, guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan tapi juga mengajarkan benar dan tidak benar dalam konteks budaya lokal serta perbandingan dengan budaya lain. Kemudian Pendidikan bertoleransi terhadap perbedaan pada siswa dan guru dalam segala aspek (ras, etnis, bahasa, gender, dll). Dengan kata lain, Pentingnya pendidikan multikulturalisme diajarkan di sekolah (Khisbiyah. Ed : 2004).
Yang terjadi di lapangan, biasanya guru dan sekolah menganggap kurikulum sejenis kitab suci yang harus dilaksakan, sehingga pendidikan berjalan kaku dan serba wajib. Kondisi semacam ini menuai kritik, pada ayat lain disebutkan bahwa Kurikulum tidak boleh dimaknai sebagai teks suci yang tidak memungkinkan lahirnya interpretasi dan perbedaan-perbedaan pada tataran pelaksananya.
Pendidikan bukan hanya mengkritisi bentuk ilmu pengetahuan yang ada saja, tetapi meronta mencari, merumuskan dan menawarkan bentuk-bentuk baru ilmu pengetahuan. Pendidikan melakukan formulasi ulang terhadap klaim kebenaran yang telah berlaku untuk menemukan kebenaran versi dan interpretasi yang lebih parsial dan khusus dari ilmu pengetahuan, teknologi, kebenaran dan alasan kebernalaran. Pendidikan bukan hanya mewadahi wacana untuk mengkritisi kemapanan, tapi menawarkan visi ke depan. Dan Guru melihat dirinya sebagai ‘tranformative intellectual’ yaitu inteltual yang memiliki komitmen kuat untuk melakukan tranformasi sosial demi perbaikan.
Dengan merenungkan beberapa ayat pedagogi tersebut, Saya berharap institusi pendidikan (sekolah), pemerintah melalui departemen pendidikan, juga guru tidak ragu untuk merumuskan kembali atau merevitalisasi tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Tidak menganak-emaskan materi atau mata pelajaran dan ilmu pengetahuan tertentu dengan alasan karena tidak diujikan secara nasional (UN). Wallahu’alam
Daftar Bacaan
Ajidarma, Seno Gumira. 1994. Saksi Mata. Yogyakarta: Bentang Budaya.
__________________ .1997. Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung; Rosdakarya.
Anonim, Pengajaran Sastra Harus Menyenangkan Kompas, Senin, 18 Februari 2008
Darmaningtyas. 2004. Pendidikan yang Memiskinkan. Yogyakarta: Galang Perss.
Escobar, Miguel, Dkk, (Ed). 1998. Dialog Bareng Paulo Freire, Sekolah Kapitalisme Yang Licik.Yogyakarta: LkiS.
Herfanda, Ahmadun Yosi. 2007. Menuju Format Baru Pengajaran Sastra, Makalah Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, 10 April 2007.
__________________, Pengajaran Sastra Berpusat pada Karya Sastra. Harian Republika, Minggu, 29 April 2007.
Khisbiyah, Yayah, (Ed). 2004. Pendidikan Apresiasi Seni; Wacana dan Praktik untuk Toleransi Pluralisme Budaya. Surakarta: Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial, UMS.
Rahardjo, Toto, et, al. 2001. Pendidikan Popular;Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar kerjasama Read Book.
Rendra, W.S., 1980. Potret Pembangunan dalam Puisi.Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.
Sarjono, Agus R. 2001. Sastra Dalam Empat Orba. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Mawardi, Bandung. ‘Pengajaran Sastra Kian Merana’. Solopos, Minggu, 20 Juli 2008.
Mulyasa, E, Dr. M.Pd., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
oke lah kalau begituuu>
[Reply]
heeeeeeeeeeeeeeeeeeeehhhhhhhhhh gitu ea
[Reply]
rany Reply:
November 9th, 2010 at 10:32 pm
heeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeh ea
[Reply]
Untuk menambah referensi penulisan anda, semoga
web ini dapat membantu Pengembangan Bahasa
[Reply]