Penulis: Lalu Hamdian Affandi, M.Pd
Dosen S1 PGSD FKIP Universitas Mataram (Unram) Nusa Tengggara Barat
Kita semua menyepakati bahwa pendidikan menjadi bantalan vital pengembangan kualitas sumber daya manusia. Hasil penelitian Bank Dunia terhadap 150 negara di dunia, sebagaimana dikutip oleh Prof. Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, menunjukkan bahwa keunggulan suatu Negara ditentukan oleh inovasi (40%), networking (25%), teknologi (20%), dan sumber daya alam (10). Jika kita mengasumsikan perkembangan inovasi dan teknologi dimotori melalui proses-proses pendidikan, kita akan sampai pada kesepakatan yang semakin mantap bahwa pendidikan adalah tulang punggung utama kemajuan sebuah bangsa.
Secara sederhana, sebagaimana dinyatakan oleh Prof. HAR. Tilaar, pendidikan merupakan proses humanisasi dan hominisasi. Proses humanisasi merupakan proses pengenalan diri sebagai manusia. Pengenalan diri itu diarahkan pada potensi diri dan selanjutnya melalui kegiatan pendidikan difasilitasi pengembangan dan aktualisasinya. Pada saat yang sama, proses pendidikan juga melakukan kegiatan hominisasi, yaitu kegiatan pembudayaan yang tidak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan sosial dan budaya siswa.
Dalam prakteknya, kita sering terjebak pada pemaknaan pendidikan hanya sebagai kegiatan schooling (persekolahan) saja. Padahal sejatinya, ketika pendidikan dimaknai sebagai kegiatan humanisasi dan hominisasi, maka pendidikan terjadi setiap saat di setiap tempat. Sepanjang seseorang mampu menterjemahkan stimulus tertentu untuk kemudian membentuk perilaku berdasarkan stimulus itu.
Melihat fenomena ekspansi media massa ke setiap sudut rumah kita, kita pun sebenarnya banyak dididik oleh media massa itu. Seperti yang sering didengung-dengungkan oleh beberapa pakar pendidikan, media massa, khususnya televisi sudah tidak menjadi tontonan lagi, melainkan lebih jauh lagi ia telah berubah menjadi tuntunan. Isi dan cara penyajian informasi yang ada di media massa, selanjutnya memengaruhi cara pandang kita terhadap dunia dan pada gilirannya memengaruhi cara bertindak kita.
Sekolah Kognitif
Salah satu tujuan pendidikan yang termaktub dalam UU. No. 20 tahun 2003 adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penetrasi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia pendidikan memang tidak bisa dihindari. Saking kuatnya penetrasi itu, banyak dari kita yang lupa bahwa fungsi sejati dari sekolah adalah media transformasi, bukan hanya ilmu pengetahuan, tetapi juga nilai dan norma-norma sosial yang menjadi rambu-rambu berperilaku kita.
Persoalan yang satu ini pun hampir semua kita sepakat bahwa pendidikan di sekolah tidak boleh hanya diorientasikan pada penguasaan ilmu pengetahuan saja, apalagi hanya sekedar menghafal rumus-rumus matematika atau fisika. Lebih dari itu, pendidikan di sekolah juga hendaknya mampu menjadi jembatan regenerasi nilai-nilai yang pada akhirnya membentuk karakter siswa.
Anehnya, ketika ada siswa yang cerdas tapi kurang ajar tidak diluluskan sekolah, banyak pihak, terutama orang tua siswa yang “mencak-mencak” mengajukan protes kepada pihak sekolah. Hal ini menjadi ironis di tengah upaya regenerasi nilai melalui sekolah. Akhirnya, kita terperangkap oleh keyakinan yang kita buat ; bahwa sekolah adalah lokomotif transformasi nilai dan karakter siswa.
Entah karena dorongan masyarakat atau memang karena missorientasi, pemerintah seolah tidak begitu mempedulikan nilai karakter siswa dalam kegiatan penilaian akhir jenjang pendidikan. sebut saja ujian nasional sebagai titik terakhir yang harus dilewati siswa untuk mendapat pengakuan lulus. Dalam ujian nasional, jelas-jelas yang diuji adalah kemampuan menguasai mata pelajaran yang diajarkan di sekolah ; rumus, definisi, model analisis, nalar, atau apa pun namanya yang hanya menggunakan kemampuan kognitif siswa. Kita mungkin masih bisa berkilah dengan mengatakan bahwa UN bukan satu-satunya standar kelulusan. Masih ada factor lain yang juga menentukan kelulusan seperti nilai ujian sekolah, nilai rapot selama sekolah, dan lain-lain. Persoalannya kemudian, bagaimana menghasilkan nilai-nilai selain ujian nasional? Setali tiga uang dengan ujian nasional, penilaian terhadap hasil belajar yang ada di dalam ujian sekolah dan nilai raport pun hanya menyosor ranah kognitif.
Kondisi di atas diperparah dengan upaya sekolah untuk menciptakan kesan bahwa guru-guru di sekolah berhasil melakukan pendidikan. cara yang paling jamak adalah dengan mendesain program pembelajaran agar siswa mampu menjawab soal-soal kognitif yang nantinya akan diberikan pada saat ujian nasional, ujian semester, ujian kenaikan kelas, maupun ulangan harian. Ujung-ujungnya kognitif pula.
Yang semakin membuat miris adalah, sekolah tidak pernah menyentuh persoalan-persoalan perilaku siswa. Selama ini banyak sekali keluhan yang telah dilontarkan masyarakat terhadap praksis pendidikan. rata-rata mengeluhkan kualitas karakter siswa ; penghargaan terhadap nilai-nilai susila yang rendah; kecenderungan untuk hidup senang tapi malas berusaha; kecenderungan berhura-hura; kurang menghormati orang tua.
Keluhan masyarakat pada dasarnya adalah representasi praksis pendidikan di sekolah kita. Siapa pun mengetahui bahwa pendidikan di sekolah lebih banyak diorientasikan pada penuangan teori-teori dan rumus pengetahuan oleh guru kepada siswa. Para pakar pendidikan menamakan proses ini dengan pengajaran, bukan pendidikan. secara teoritis, pengajaran hanya berkaitan dengan transformasi pengetahuan ; menyampaikan materi pelajaran, melakukan evaluasi, dan menindaklanjuti hasil evaluasi dengan pengayaan atau remedial.
Idealnya, seperti yang dinyatakan oleh Tilaar di atas, pendidikan tidak hanya memberikan bekal berupa pengetahuan. Tetapi juga membekali siswa dengan kemampuan menggunakan pengetahuan itu sesuai dengan nilai dan norma yang hidup di tengah masyarakat untuk menghasilkan kehidupan yang baik. Tak ubahnya seperti seorang anak yang diberi pisau. Dia memahami pisau itu apa, namun tak memiliki kemampuan untuk menggunakan pisau itu. Inilah realitas nyata praksis persekolahan. Tidak lebih dari sekedar mengajar ; menuangkan ilmu pengetahuan ke dalam kepala siswa.
Selebritis wana be
Kekosongan muatan nilai dari kegiatan pendidikan di sekolah kemudian membuat siswa mencari sandaran pada sesuatu di luar sekolah. Sandaran itu bisa nasehat dan contoh dari orang tua, kelompok sebaya, maupun media massa berupa televisi, majalah, radio, atau Koran. Kondisi ini adalah sesuatu yang wajar, karena dalam usia-usia tertentu seorang anak manusia membutuhkan figure untuk dijadikan model berperilaku.
Sayangnya, sandaran –atau lebih tepatnya kerangka rujukan- berperilaku itu lebih banyak didominasi oleh media massa. Melalui media massa, khususnya televisi, banyak anak mengetahui banyak hal tentang standar baik buruk, benar salah. Pada saat yang sama, mereka juga melihat orang tua dan orang-orang di sekelilingnya menderima sindrom selebritis wana be. Sebagian besar kita –kalau tidak mau dikatakan semua, memimpikan memiliki kehidupan yang sama dengan selebritis : gaya berpakaian, gaya berbicara, pola makan, potongan rambut, bahkan merek pakaian dalam yang kita pakai.
Di era teknologi informasi, media massa semisal televisi telah berkembang bukan hanya sebagai lenyaji informasi, melainkan lebih jauh lagi televisi berkembang menjadi penjaja nilai-nilai global yang serba materialistis, hedonis, dan pragmatis. Dengan mempopulerkan selebritis tertentu, televisi mengorbitkan di dalam benak pemirsanya tata kehidupan yang ideal dan dicita-citakan oleh bangsa modern.
Begitu dalam media massa merasuk ke dalam kehidupan kita sehingga akhirnya ia menjadi guru kedua namun yang utama dalam kaitannya dengan konsep kehidupan ideal yang kita inginkan. Padahal, menurut analisis beberapa ahli, televisi tidak pernah lepas dari ideology-ideologi tertentu yang menguasai modal dalam perusahaan capital televisi. Dari analisis ini kita dapat memahami bahwa isi dan cara penyajian televisi telah “terkontaminasi” kepentingan-kepentingan pemilik modal.
Celakanya, kepentingan pemilik modal itu tak selalu sesuai dengan nilai dan norma kesantunan social yang dianut sekelompok masyarakat. Bahkan ada kesimpulan yang mungkin terlalu simplistic yang menyatakan bahwa isi dan cara penyajian di televisi tidak pernah lepas dari blood and breast –darah dan dada. Mungkin ada benarnya juga ketika kita melihat program-program yang disajikan oleh banyak televisi di Negara kita. Pagi-pagi kita sudah disuguhi tontonan unjuk rasa anarkhis sebagai sarapan. Setelah itu acara beralih pada pemberitaan selebritis popular yang hanya “jual tampang” dan kemolekan tubuh. Menjelang siang, kita disuguhi informasi tentang kejadian-kejadian “aneh” di negeri ini ; tentang korupsi, intrik politik, kekerasan dan tindak criminal. Menjelang sore kita dicekoki kisah-kisah fiktif penuh intrik dan tipu daya untuk memuluskan jalan pemuasan nafsu seseorang melalui sinetron.
Situasi yang direpresentasikan televisi seolah menjadi pembentuk pikiran dan cita-cita yang utama dalam kehidupan kita. Mereka yang tampil di televisi kemudian “menghipnotis” kehendak kita untuk mengikuti apa yang mereka lakukan. Akirnya, tidak ada jalan keluar selain mengikuti arus nilai dan norma yang ditawarkan oleh televisi.
Ironisnya, “hipnotis” televisi itu merambah terlalu jauh ke dalam sendi-sendi konsep diri siswa. Mereka lebih mengidolakan selebritis dari pada tokoh-tokoh lain yang notabene merepresentasikan nilai-nilai kehidupan yang ada di tengah masyarakat. Mereka lebih banyak bercita-cita menjadi selebritis melalui cara-cara yang instan dan –terkesan- konyol. Lebih jauh, perusahaan-perusahaan terentu juga sangat “jeli” melihat peluang ini. Maka lengkaplah “konspirasi” selebritis wana be itu melalui seabrek audisi dan pencarian bakat. Siswa kemudian tak lagi bergairah ke sekolah, mereka lebih bergairah mengikuti audisi dan pencarian bakat tersebut.
Penilaian otentik bagi siswa
Pertarungan antara sekolah melawan media massa memang tak bisa dihindari. Selamanya, atas nama kebebasan berekspresi, media massa akan secara berkesinambungan mencekoki siswa dengan gambaran-gambaran idea kehidupan yang serba glamor ala selebritis. Di satu sisi, sekolah belum bisa menyentuh aspek-aspek nonkognitif sehingga siswa memiliki filter dalam menghadapi gempuran media massa yang kian gencar.
Agar sekolah tidak tergerus dan kalah “pamor” dibandingkan dengan media massa, diperlukan perombakan total dalam system pembelajaran. Salah satu hal yang paling mendesak untuk dirombak adalah metode, materi, dan prosedur evaluasi pembelajaran, di samping aspek-aspek lain tentunya. Isu seputar metode mengajar guru yang tak kunjung berubah menjadi sangat penting dalam upaya memenangkan pertarungan melawan media massa.
Selama ini, kita selalu mendengar banyak guru yang hanya mengajar dengan metode ceramah. Padahal, teknologi pembelajaran telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Mulai dari pendekatan inquiry yang mendidik siswa untuk aktif mencari tahu dan bekerja sama. Cooperative learning yang menekankan pada aspek-aspek kerja sama antar siswa. Serta metode-metode lain yang bisa membawa perubahan pada metode pembelajaran di kelas.
Penulis meyakini bahwa metode pembelajaran mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam upaya pembentukan karakter. Metode pembelajaran tertentu merangsang kreatifitas siswa dan kemampuan siswa untuk berdiskusi. Sementara metode pembelajaran lain hanya menempatkan siswa pada posisi pasif dan menerima. Metode terakhir tentu tidak kondusif bagi upaya menanamkan nilai-nilai kehidupan yang nantinya menentukan kesuksesan hidup siswa.
Seirama dengan metode, materi pembelajaran juga sudah saatnya dirombak. Upaya pemerintah kea rah itu sebenarnya sudah lama terlihat melalui pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jenis kurikulum yang terakhir adalah kurikulum yang sekarang sedang diberlakukan pemerintah. Dalam KTSP, guru diberi ruang yang sangat leluasa untuk merancang pembelajaran dan menentukan materi pembelajarannya.
Artinya, pemberlakuan KTSP memberi peluang bagi guru untuk bukan hanya menyampaikan materi tentang ilmu pengetahuan, melainkan juga ada peluang bagi guru untuk menyisipkan muatan-muatan nilai dalam proses pembelajarannya. Perombakan materi dan penggunaan metode pembelajaran dengan cirri student centres paling tidak bisa menjadi solusi alternative untuk membendung gempuran nilai-nilai global yang cenderung destruktif melalui saluran-saluran media massa.
Terakhir, penilaian hasil belajar seyogyanya tidak hanya terpaku pada aspek kognitif semata. Sebab, kecerdasan kognitif tanpa dibarengi oleh penghalusan perasaan seringkali malah membuat manusia tega menggunakan kecerdasannya untuk mengelabui orang lain. Karena itu, penilaian secara komprehensif terhadap proses dan hasil belajar, serta pola tindak siswa di luar sekolah perlu digalakkan.
Penilaian otentik menghendaki agar penilaian terhadap siswa tidak hanya menyentuh apa yang disaksikan guru di sekolah, melainkan juga merangkum keseluruhan perilaku siswa di sekolah dan di luar sekolah. Tentu upaya ini membutuhkan jalinan komunikasi yang akrab antara pihak sekolah dengan masyarakat di luar sekolah.
Melalui penilaian otentik, perilaku siswa bisa dikontrol. Prestasi yang didapat siswa di dalam lomba apa pun dihargai sebagai hasil belajar. Begitu pun sebaliknya, perilaku menyimpang siswa di rumah misalnya, dinilai sebagai kegagalan belajar. Prasyarat utama untuk menerapkan penilaian otentik adalah keberanian sekolah memasukkan nilai-nilai nonkognitif ke dalam criteria kelulusan, kenaikan kelas, dan pemberian nilai sekolah lainnya.
Akhirnya, mendidik tidak akan berhasil ketika hanya berkutat pada upaya transformasi teori dan rumus ilmu pengetahuan. Pendidikan asebagi media pembentukan karakter hanya akan menemukan kata sukses ketika ia mampu merambah lebih dalam dan lebih jauh ke kehidupan social siswa di luar sekolah. Tentu hasil pendidikan juga tidak dinilai dengan hasil belajar kognitif saja, melainkan juga perilaku keseharian siswa di luar sekolah.
Comments 1