Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaam Nasional Indonesia

Wednesday, 21 December 2016 (12:35) | 452 views | Print this Article

Pemikiran IKATAN SARJANA PENDIDIKAN INDONESIA (ISPI) Disampaikan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada 16 September 2016 di Jakarta.

ispi

Pengurus Pusat ISPI bersama Mendikbud RI

Pemikiran tentang Revolusi Mental yang digagas oleh Presiden Joko Widodo, dilihat dari perspektif pembentukan bangsa yang bermartabat dan beradab mengandung implikasi dikehendaki adanya perubahan mindset manusia Indonesia baik secara perorangan maupun secara kolektif sebagai bangsa, yang bermutu, bermartabat, beradab. Sebagai sebuah pembaharuan dalam mengubah mental atau mindset manusia Indonesia, implementasi revolusi mental memerlukan dukungan sistem yang jelas dalam sebuah line of command yang cerdas dari pusat sampai unit-unit kerja di daerah bahkan sampai ke dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Implementasi revolusi mental perlu didukung dengan sistem agar tidak tinggal sebagai wacana dan harapan. Perubahan mindset akan harus menyangkut strategi perubahan dan pengembangan kapital manusia, budaya sebagai hasil dan proses, kelembagaan pemerintahan dan birokrasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Arah pengembangan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat dan beradab telah digariskan dalam UUD 1945, dan salah satu strategi yang secara langsung akan menyentuh perubahan mindset sebagai sebuah proses (revolusi) mental adalah pendidikan yang harus diwujudkan dalam sebuah Sistem Pengajaran Nasional.

Tujuan pembentukan Negara sebagaimana ditegaskan dalam alinea empat Pembukaan UUD 1945 mengandung implikasi imperatif bagi pendidikan nasional yang harus menyiapkan seluruh lapisan bangsa, menyangkut proses alih generasi, yang cinta bangsa dan tanah air, peduli dan bertanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum, berkehidupan yang cerdas sebagai bangsa yang berjati diri yang mampu berkompetisi dan berkolaborasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dan bertanggungjawab di dalam memelihara dan membangun perdamaian dan kedamaian hidup ummat manusia. Pesan ini memberikan arahan bahwa pembangunan pendidikan, untuk menyiapkan generasi bangsa secara berkelanjutan, harus membuat bangsa ini memiliki kemampuan melihat ke dalam (inward looking) dan melihat ke luar (outward looking), yang akan membangun bangsa ini dalam keseimbangan antara Nasionalisme dan Internasionalisai atau globalisasi.

Mencermati gerak proses pendidikan di tanah air sejak merdeka sampai saat ini, ISPI memandang terdapat hal-hal yang masih kurang selaras dan konsisten dengan cita-cita awal pembentukan bangsa dan Negara sebagaimana dikehendaki oleh para Pendiri Negara ini. Perlu pemikiran ulang dan reformulasi menyeluruh mulai dari landasan filosofi, perundangan, kebijakan, politik pendidikan bangsa, dan nilai-nilai kultural jati diri bangsa. Berdasarkan pengamatan, telaahan, dan evaluasi ISPI selama ini, ISPI menyampaikan pemikiran dan rekomendasi tentang strategi dan kebijakan penyelenggaraan sistem pendidikan nasional menyangkut hal-hal berikut.

A. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun
1. Penyelenggaraan wajib belajar poendidikan dasar 9 tahun sepenuhnya dibiayai oleh Pemerintah. Ini berarti peserta didik: anak siapapun, di manapun, termasuk anak yang memerlukan pendidikan khusus, berhak mengikuti pendidikan tanpa membayar, dan memperoleh pelayanan pendidikan yang bermutu {Pasal 5 Ayat (1) UU No. 20/2003}.
2. Setiap sekolah harus segera dilengkapi dengan fasilitas pendidikan yang memadai, termasuk lapangan oleh raga (sesuai dengan pasal-pasal dalam Bab VII PP No. 19/2005) dan kepada peserta didik diberikan (atau dipinjamkan) buku pelajaran dan buku tulis, terutama untuk mereka yang datang dari keluarga yang secara ekonomi tidak mampu. Di samping itu untuk daerah terpencil seperti Papua perlu dirintis sekolah berasrama.
3. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun harus mengakses seluruh anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, anak tak beruntung, populasi khusus, yang harus dilayanai dengan diversifikasi program layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi masing-masing, dan sekolah harus menyiapkan diversifikasi layanan secara inklusif.
4. Sebagai persiapan memasuki pendidikan menengah pada tingkat pendidikan dasar harus dirancang dengan sistematis sehingga hanya lulusan pendidikan dasar yang bersifat wajib, yang memenuhi syarat memasuki pendidikan menengah, dan yang tidak memenuhi syarat untuk untuk masuk SMA dipersiapkan untuk memasuki SMK dan/atau latihan kerja (kursus) yang sifatnya jangka pendek untuk memasuki dunia kerja.

B. Pendidikan Menengah
1. Pendidikan menengah, terutama SMA/MA harus benar-benar menjadi lembaga yang fungsi utamanya adalah menyiapkan peserta didik yang paling berbakat secara akademik memasuki Perguruan Tinggi. Dengan demikian, Universitas/Institut benar-benar menjadi melting pot antara excelent young generation dengan excelent schoolars.
2. Pendidikan menengah kejuruan dikembangkan sesuai dengan prinsip link and match dan disesuaikan dengan perkembangan dunia kerja. Lulusan SMK yang akan melanjutkan ke tingkat pendidikan tinggi harus diarahkan sesuai dengan kemampuan dasarnya sehingga dapat tersalurkan ke politeknik, program diploma, dan program profesional lainnya.

C. Pendidikan Nonformal dn Informal

1. Pendidikan nonformal perlu mendapat perhatian khusus dan diberi penguatan akan fungsi dan perannya di dalam menyelenggarakan pendidikan dasar 9 tahun, pendidikan universal 12 tahun, pendidikan untuk semua, pendidikan vokasional dan karir, dan pendidikan kebangsaan. Pendidikan nonformal harus diposisikan sama dengan pendidikan formal sebagai proses dan upaya membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa pendidikan dan bangsa inovasi.
2. Pendidikan informal yang berlangsung di dalam keluarga adalah pendidikan pertama dan utama yang perannya tidak bisa digantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Pendidikan di dalam keluarga perlu mendapat perhatian Pemerintah untuk memberikan penyadaran dan pemahaman kepada orang tua akan tanggung jawab pendidikan anak.

D. Pendidikan Tinggi
1. Kebijakan Pemerintah harus menjamin dukungan penuh kepada otonomi perguruan tinggi, sehingga perguruan tinggi dapat melaksanakan misinya sebagai pusat pengembangan iptek, dan pusat penggerak pembangunan. Otonomi ini meliputi otonomi akademik, keuangan dan manajerial.
2. Pelaksanaan otonomi perguruan tinggi harus di dukung oleh peraturan perundang-undangan yang konsisten dan jelas terutama yang menyangkut peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan lintas departemen. Oleh karena itu diperlukan riviu menyeluruh tentang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan otonomi perguruan tinggi.
3. Anggaran yang diberikan pemerintah harus cukup sehingga dapat menjamin
a. Terjadinya proses belajar mengajar yang berkualitas, memadai dengan melengkapi infrastruktur yang memadai seperti perpustakaan, laboratorium baik untuk pendidikan maupun riset, bengkel kerja, ruang kerja dosen, insentif bagi para guru besar dann dosen yang memadai sehingga otonomi keilmuan dapat terlaksana.
b. Berkembangnya penelitian yang bermutu tinggi dalam upaya mendapatkan temuan-temuan baru dalam berbagai ilmu teknologi di perguruan tinggi untuk pembangunan kesejahteraan bangsa.
c. Untuk memberdayakan perguruan tinggi dan sekaligus meningkatkan peran perguruan tinggi dalam peningkatan efisiensi dan mutu kebijakan publik melalui penelitian, diperlukan riset pemerintah dari berbagai departemen perlu dikontakkan kepada universitas. Dengan demikian, tidak terjadi pemborosan biaya di departemen, di lain pihak dapat memajukan riset perguruan tinggi.

4. Mahasiswa yang berbakat dari keluarga yang secara ekonomis tidak beruntung, harus dapat diberikan beasiswa dan fasilitas sehingga mereka dapat belajar di perguruan tinggi.
5. Perguruan tinggi harus menjadi perekat bangsa. Oleh karena itu, sistem seleksi penerimaan mahasiswa baru nasional harus dapat menjangkau anak-anak daerah yang berbakat untuk belajar di perguruan tinggi terkemuka di provinsi mana saja, sehingga perguruan tinggi tidak berkembang menjadi perguruan tinggi kedaerahan.

E. Sistem Kurikulum
1. Depdikbud perlu merancang dan melaksanakan sistem kurikulum setiap jenjang dan jenis pendidikan jalur pendidikan sebagai sistem. Kurikulum ini harus meliputi; tujuan pendidikan jenis/jenjang pendidikan, struktur materi kurikulum yang paling esensial dan relevan untuk tercapainya tujuan pendidikan setiap jenjang pendidikan, model proses pembelajaran yang relevan baik secara epistimologi, psikologis dan sosial/moral dengan bahan ajar dalam kaitannya dengan Tujuan Utuh Pendidikan Nasional, sistem evaluasi yang relevan dengan tujuan dan proses pembelajaran yang relevan, serta sarana, prasarana dan sumber belajar yang diperlukan.
2. Untuk dapat melakukan langkah-langkah tersebut, Depdikbud perlu menetapkan fungsi dan peranan setiap jenis dan jenjang pendidikan sebagai terjemahan dari tujuan pendidikan nasional, memasyarakatkan sistem kurikulum yang akan dilaksanakan melalui sekolah-sekolah model yang dikelola oleh LPTK dan LPMP yang terpilih. Dalam konteks LPTK dan Pendidikan Guru, sekolah model dimaksud bisa berupa Sekolah Laboratorium yang sekaligus menjadi pusat inovasi pendidikan.
3. Proses belajar mengajar yang kering karena hanya di dorong oleh ujian nasional (examination driven curriculum) harus dihindari, karena tidak akan dapat mengembangkan seluruh kepribadian anak yang akan diperlukan untuk berkompetisi dan berkolaborasi dalam menghadapi tuntutan kemajuan dunia. Perhatian harus diberikan kepada pengembangan soft skill disamping hard skill yang pada saat ini lebih mendominasi proses belajar-mengajar. Asesmen otentik perlu mendapat perhatian sebagai alternatif dalam evaluasi pendidikan.

F. Pendidik dan Tenaga Kependidikan

1. Persyaratan minimal bagi calon mahasiswa pendidikan guru adalah lulusan SMA yang nilai matematikanya 7,0. Pemerintah perlu kembali dan segera mengambil langkah untuk menyelenggarakan program ikatan dinas dan pendidikan berasrama bagi calon guru, agar lulusan terbaik dari SMA dari keluarga yang kurang mampu, dapat ditarik menjadi mahasiswa calon guru.
2. Pendidikan prajabatan guru harus dilaksanakan sebagai pendidikan profesional yang utuh (bukan semata-mata S1 plus), seperti halnya pendidikan kedokteran. Sejak tahun pertama calon guru harus sudah mulai berkenalan dengan profesi kependidikan. Penguasaan disiplin ilmu harus dilaksanakan bersamaan (concurrent) dengan ilmu dan praksis pendidikan. Dengan demikian, pendidikan guru di mulai dari orientasi profesional dan di akhiri dengan kepemilikian kemampuan profesional.
3. Untuk menjamin mutu pendidikan guru, Pemerintah perlu bersikap tegas di dalam menetapkan perguruan tinggi (LPTK) yang berweang dan layak menyelenggarakan pendidikan guru. Jumlah LPTK yang sangat banyak dalam ragam mutu yang sangat lebar akan menimbulkan kesulitan pengendalian mutu pendidikan guru di tanah air.
4. Jaminan kesejahteraan bagi guru harus ditingkatkan meliputi perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan disamping gaji pokok dan tunjangan profesional, sehingga putra-putri terbaik bangsa akan mempunyai motivasi menjadi guru, dan guru akan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik profesional dapat berlangsung secara tenang dan penuh pengabdian.

G. Standar Nasional Pendidikan
1. Pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan pendidikan nasional serta akreditasi tingkat kelayakan sekolah di seluruh Indonesia. Evaluasi diperlukan untuk memperoleh gambaran nyata tentang mutu pelayanan pendidikan dalam sembilan komponen penyelenggaraan pendidikan yang tertuang dalam Pasal 2 PP No. 19/2005.
2. Pemerintah harus menyusun program dan melaksanakan secara konsisten program-program tersebut untuk memenuhi standar nasional pendidikan yang ditetapkan dalam PP No. 19/2005 dengan urutan prioritas; guru, sarana dan prasarana, isi dan proses, penilaian, pembiayaan, pengelolaan dan yang terakhir kompetensi lulusan.

H. Otonomi Pendidikan
Otonomi pendidikan seyogyanya hanya sampai pada tingkat provinsi (hal ini berarti harus merivisi UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah dan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas). Otonomi pendidikan diberikan kepada daerah, berdasarkan hasil evaluasi nasional berbagai komponen penyelenggaraan pendidikan, terutama guru, sarana dan prasarana, dan pembiayaan telah memenuhi syarat. Otonomi pendidikan harus dimaknai sebagai otonomi untuk mengelola pendidikan nasional di daerah, agar mampu memenuhi standar nasional yang ditetapkan dan memperkokoh rasa kebangsaan.

I. Anggaran Pendidikan
1. Pemerintah dan DPR perlu dengan sungguh-sungguh memahami makna yang tersurat dan tersirat dari pasal 31 tentang pendidikan dan melaksanakannya dalam wujud mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen APBN untuk penyelenggaraan pendidikan nasional.
2. Agar Pemerintah dan DPR dapat melaksanakan ketentuan seperti diamanatkan UUD 1945, model penyusunan anggaran harus mengikuti pola Anggaran Negara Kesejahteraan (Social Market Economy System) yang mengalokasikan sekurang-kurangnya 60 persen dari APBN untuk pendidikan, kesehatan, pertahahanan nasional, administrasi negara, dan infrastruktur dasar, dan tidak menganut model anggaran negara liberal yang menganut Open Market Economy.
3. Anggaran yang dialokasikan diprioritaskan untuk pelaksanaan Wajib Belajar Dikdas 9 tahun, beasiswa untuk mahasiswa berbakat, beasiswa pelajar SMA yang berprestasi dan secara ekonomi kurang mampu, ikatan dinas mahasiswa calon guru, dan insentif bagi guru dan dosen.

J. Tata Laksana (Governance), Manajemen, dan Kepmimpinan Sistem Pendidikan
Karena Pendidikan merupakan “bisnis” yang bukan hanya padat modal, tetapi juga padat karya dan padat moral serta melibatkan aset bangsa yang amat besar dengan taruhan (stake) yang besar pula (kemampuan bangsa untuk menjaga survival dan kemampuan berkompetisi), maka:
1. Sistem pengelolaan untuk seluruh jajaran dan jenjang dalam struktur sistem pendidikan nasional harus diletakkan atas dasar profesionalisme. Pengaruh politik Praktis yang hanya mementingkan keuntungan golongan atau pribadi, atau fanatisme kampus harus dihindarkan dan segera ditiadakan.
2. Pemilihan dan penunjukkan pengelola di seluruh jenjang struktur birokrasi sistem pendidikan harus didasarkan atas kemampuan dan komitmen moral seseorang untuk mengelola dan didasarkan atas merit sistem, bukan atas dasar KKN yang dalam jangka panjang amat merugikan bangsa dan negara.
3. Pendidikan adalah upaya yang hasilnya baru dapat dilihat pada masa ke depan yang cukup panjang. Oleh karena itu, pengambilan keputusan yang didasarkan atas kepentingan jangka pendek harus dihindarkan. Keputusan-keputusan yang diambil dalam pengelolaan pendidikan harus melalui pengkajian analisis dampak jangka panjang, dan bukan semata-mata kemauan pejabat pada saat menempati posisi mereka.
4. Sebagai akuntabilitas terhadap publik, pengelolaan sistem pendidikan harus dilakukan secara transparan, bebas KKN, terbuka, dengan mengembangkan dialog dengan stakeholders. Kritik bagaimanapun bentuknya harus dianggap sebagai masukan yang berguna, dan bukan dipersepsikan sebagai usaha merongrong kewibawaan, sehingga perlu dimusuhi.
5. Mengembalikan posisi dan peran keluarga dan masyarakat dalam partisipasi dan tanggung jawabnya secara bersama-sama dengan Pemerintah di dalam menyelenggarakan pendidikan. Kebersamaan bukan hanya dalam konteks sumber dana pendidikan melainkan dalam konteks pengembangan perilaku dan kepribadian siswa. Pada saat ini terjadi persepsi seolah-olah pendidikan ini menjadi monopoli sekolah. Persepsi ini harus diluruskan dan dikembalikan kepada persepsi yang benar, karena akan sangat membahayakan atmosfir pendidikan yang bisa mengarah kepada potensi konflik antara sekolah dan keluarga atau masyarakat.
6. Partisipasi masyarakat dalam bentuk Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan Daerah perlu direvitalisasi untuk memberikan penguatan kepada sistem manajemen, kepemimpinan, dan kolaborasi dengan berbagai pihak, dan partisipasi pembiayaan pendidikan untuk mewujudkan budaya pendidikan yang sehat. Dewan Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-undang yang sampai saat ini belum jelas keberadaannya seyogyanya perlu segera dibentuk dan diperankan dalam mengawal pendidikan nasional bersama-sama Pemerintah.

K. Kebudayaan dan Pengembangan Karakter

1. Perlu reformulasi dan revitalisasi sekolah sebagai pusat kebudayaan yang arahnya membangun kesadaran kultural pada peserta didik, memperkokoh jati diri kultural, membangun keunggulan lokal sebagai sumber inovasi dan kreativitas yang menumbuhkan daya adaptasi dan kompetisi, mewariskan nilai-nilai kehidupan, lingkungan, dan kesehatan, yang kesemuanya itu merupakan bahagian tak terpisahkan dan merupakan ciri dari kesuksesan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa kemaslahatan bagi bangsa dan ummat manusia.
2. Sekolah sebagai pusat kebudayaan diarahkan dan diwujudkan dalam atmosfir sekolah dan kelas yang sehat yang menjadi wahana bagi pembentukan dan penumbuhan nilai-nilai dasar karakter peserta didik. Pengembangan karakter menjadi tanggung jawab semua unsur di sekolah dalam kerjasama dengan orang tua dan masyarakat. Untuk tujuan dimaksud, di dalam setiap kegiatan baik kurikuler, ko-kurikuler, maupun ekstra kurikuler, harus perlu ada integrasi antara substansi dengan atmosfir yang dikembangkan sehingga pengalaman yang terbentuk pada pserta didik tidak sebatas pada akuisisi konsep tetapi sampai pada pengalaman dan tindakan nyata.
3. Dalam upaya mewujudkan pendidikan karakter dan menumbuhkan perilaku damai untuk mencegah munculnya perilaku kekerasan di kalangan para siswa, perlu diwujudkan proses pembelajaran, sistem manajemen, dan kepemimpinan sekolah yang mendukung terciptanya kultur dan atmosfir sekolah yang menumbuhkan kedamaian yang bebas dari perilaku kekerasan, bully, dan sejenisnya baik secara verbal maupun non-verbal. Harus diwujudkan proses pembelajaran, sistem manajemen dan kepimpinan sekolah yang menumbuhkan kedamaian, motivasi, kerja keras, tanggung jawab, kolaborasi, etika dan tatakrama, serta penciptaan lingkungan fisik sekolah yang aman, bersih dan nyaman.

L. Catatan Akhir

Ragam regulasi, kebijakan, program, dan kegiatan yang diluncurkan untuk perbaikan mutu pendidikan perlu divalidasi konsistensinya secara filosofis dan konstitusional, disertai dengan penyiapan sistem yang mendukung implementasi kebijakan dalam line of command yang jelas dari pusat sampai sekolah/ satuan pendidikan.

Jakarta, 16 Sptember 2016
Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia

Ketua Umum,                                                                               Sekretaris Umum,

 

Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd.                                               Prof. Dr. Ahman, M.Pd.

Tulisan lain yang berkaitan:

Tidak ada tulisan lain yang berkaitan!
Tulisan berjudul "Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Memajukan Kebudayaam Nasional Indonesia" dipublikasikan oleh Admin ISPI (Wednesday, 21 December 2016 (12:35)) pada kategori Kegiatan, Pemerintahan/kemendiknas. Anda bisa mengikuti respon terhadap tulisan ini melalui feed komentar RSS 2.0. Both comments and pings are currently closed.