Oleh : Dr. H. Rochmat Wahab, M.A. (Sekretaris II ISPI Pusat dan Rektor UNY)
Secara historis, 1399 tahun yang lalu, Muhammad dilantik sebagai seorang Rasul Allah yang ke-25. Kondisi masyarakat Arab pada saat itu penuh dengan kebodohan dan ketakberadaban, karena eksistensi dan martabat manusia berada pada posisi yang rendah, bahkan lebih hina daripada binatang. Di sana sini terjadi pembunuhan hidup-hidup terhadap anak-anak dan para wanita (karena tidak sanggup berperang). Di tengah-tengah berkecamuknya pergulatan manusia yang tak beradab, Allah swt dengan sifat rahman dan rahim-Nya menetapkan Muhammad sebagai Rasulullah untuk rahmat bagi seluruh alam…
Dalam mewujudkan misinya sebagai rahmatan lil ’aalamin, setidak-tidaknya ada empat hal penting. Pertama, rahmat diwujudkan dalam bentuk tegaknya tauhid. Ketika ilah-ilah yang tak terhitung jumlahnya, baik yang dzahir maupun batin, bahkan yang kini berbentuk matiarialisme, kapitalisme, pragmatisme dan hedonisme, menjadi pusat penyembahan hampir semua masyarakat Arab, maka suatu langkah yang sangat patut mendapatkan apresiasi terhadap keberanian Rasulullah saw untuk menegakkan kembali kalimat tauhid, yang dipelopori oleh Nabi Ibrahim a.s sebagai revolusioner aqidah terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan. Allah swt berfirman :”Allaahu laa ilaaha illaa Hua (QS Al-Baqarah, 2:256). Inilah rahmat pertama dan utama yang patut kita syukuri dan juga untuk seterusnya. Jika kita hanya menyembah Allah swt saja, dan menafikan ilah-ilah lain, maka selamatlah kita dari sifat kemusyrikan.
Kedua, rahmat diwujudkan dalam bentuk ukhuwwah. Ketika manusia dilahirkan dan diturunkan oleh seorang Adam dan Hawa, sehingga menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, maka yang menjadi kewajiban dan sekaligus kebutuhan manusia adalah saling mengenal dan membantu (Q.S Al-Hujurat:13). Demikian juga bahwa sesungguhnya di antara para mukmin adalah bersaudara, maka damaikanlah di antara mereka (Q.S. Hujurat:10). Atas dasar itulah maka menjada kebutuhan kita untuk membangun perdamaian, baik anatar manusia (tanpa mengenal perbedaan SARA), terlebih-lebih sesama Muslim. Jika terjadi perbedaan, maka perbedaan seharusnya diselesaikan dengan atas nama Tuhan, bukan atas nama kepentingan pribadi maupun golongan. Ingat Hadits Rasulullah saw “Al-jamaa’atu rahmatun walfurqatu ‘adzaabun”, artinya bersatu itu karunia, dan bercerai itu siksa. Jika kita bisa bersatu, mengapa kita memilih bercerai berai, konflik, dan permusuhan. Ingat bahwa hidup berdamai merupakan cara hidup yang membahagiakan dan menyelamatkan.
Ketiga, rahmat diwujudkan dalam bentuk kemulyaan diri. Allah swt berfirman “Dan sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.(Q.S. Al-Isra’, 17:70). Menyadari kedudukan insan yang mulia tersebut, maka tidak sepatutnya insan itu mencari rezki dengan menghalalkan segala cara, apakah dengan mengorbanan binatang atau orang lain sebagai tumbal untuk meraih rezki yang lebih banyak. Demikian pula mempercepat pemerolehan rezki dengan melakukan korupsi dan cara lain yang kurang terpuji. Untuk menjaga martabat insan, maka seharusnya rezki diraih dengan cara yang sehalal dan sebaik mungkin (halalan thayyiban).
Keempat, rahmat diwujudkan dalam bentuk tujuan hidup yang berkesinambungan. Tujuan hidup bukanlah semata-mata meraih kebahagian di dunia yang ditandai dengan kekayaan, kekuatan, dan kekuasaan. Ingat apa yang menjadi orientasi hidup kita adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah swt berfirman “Rabbanaa aatina fid dun-ya hasanah wa fil aakhirati hasanah, waqinaa adzaaban naar” (Q.S. Al-Baqarah, 2:201). Tidak sedikit dijumpai orang suka berpikir instan, realistis, dan pragmatis, sehingga yang mereka perjuangkan hanya kebahagiaan sesaat. Untuk dapat hidup yang membahagiakan secara berkenjutan, maka setiap langkah dan perjuangan perlu berprespektif akhirat. Karena itu kebahagiaan dan keagungan di dunia harus dipandang sebagai amanah dan sekaligus sebagai media untuk meraih kebahagiaan yang lebih hakiki di akherat kelak.
Walaupun begitu agung misi Rasulullah saw diutus di bumi ini, ternyata sangat banyak manusia yang belum dapat menangkapnya. Akibatnya, manusia lebih tertarik menuhankan ilah-ilah lain, misalnya materialisme dan kapitalisme, daripada men-tauhidkan Allah swt. Manusia juga lebih banyak mengedepankan sifat-sifat keakuan (ananiyah) yang cenderung menimbulkan konflik, daripada sifat –sifat kebersamaan (jam’iyyah) yang dapat menjamin perdamaian.
Selanjutnya Manusia cenderung banyak mencari rezeki dengan menghalalkan segala cara, baik yang dilandasi dengan gaya hidup yang hedonistik, karena itu untuk lebih bermartabat sebagaimana manusia yang tercipta sebagai makhluk yang termulia, perlu mencari rezeki dengan cara yang baik dan halal. Demikian juga manusia dewasa ini cenderung bersifat pragmatis dan instant, sehingga setiap perbuatannya diharapkan dpat dinikmati segera di sini dan sekarang juga. Padahal kebahagiaan berkelanjutanlah (dunia dan akhirat) yang perlu diraih.
Setelah menelaah secara mendalam hakekat rahmat bagi seluruh alam, maka kita dapat meyakini bahwa siapapun yang bisa menangkap esensinya, maka dia akan mampu memanusiakan dirinya, baik hubungannya dengan Tuhannya, dirinya sendiri, orang lain, dan masa depannya. Dengan demikian dia menjadi insan religius, insan kooperatif, insan bermartabat, dan insan visioner.
*Dr. Rochmat Wahab, MA adalah Rektor Universitas Negeri Yogyakarta.
Comments 5